Pages

Sunday, August 16, 2015

Makalah Karya Seni Suku-Suku Yang Ada Di Sumut

A .KARYA SENI BATAK TOBA

            Etnik Batak Toba merupakan salah satu dari banyak etnik yang bermukim di Provinsi Sumatera Utara. Etnik yang mendiami wilayah yang relatif luas, mulai dari daerah di sekitar tepian Danau Toba dan Pulau Samosir, hingga ke dataran tinggi Silindung dan Pahae ini, memiliki budaya yang unik dengan ragam kesenian yang menarik. Sehingga, budaya Batak Toba cukup banyak mendapatkan perhatian, baik oleh para akademisi maupun wisatawan.
            Beragam kesenian tersebut, mulai dari seni tari, seni musik, seni kerajinan, seni sastra, hingga seni rupa, hidup menyatu dalam adat istiadat dan sisi religi masyarakat Batak Toba. Semua kesenian tradisional tersebut menjadi bagian kehidupan mereka, bahkan hingga saat ini. Meskipun dunia sudah berkembang semakin modern, ragam kesenian tradisional itu tetap bisa bertahan, bahkan malah menjadi bagian penting dalam dunia pariwisata.
             Untuk mengetahuinya lebih lanjut, berikut ini pembahasan mengenai lima ragam seni yang hidup dan terus bertahan dalam tatanan budaya Batak Toba tersebut.
1.      Seni Tari
Tari Tortor menjadi salah satu kesenian yang paling menonjol dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba. Manortor (menari, bahasa Batak Toba) merupakan lambang bentuk syukur kepada Mulajadi Nabolon, dewa pencipta alam semesta, dan rasa hormat kepada hula-hula dalam konsep kekeluargaan mereka. Oleh karena itu, tari ini biasanya dilakukan dalam upacara ritual, ataupun dalam upacara adat, seperti acara pernikahan.
2.      Seni Musik
Sejumlah alat musik juga menjadi bagian dalam pelaksanaan upacara ritual dan upacara adat dalam kebudayaan orang-orang Batak Toba. Dua jenis ansambel musik, gondang sabangunan dan gondang hasapi merupakan alat musik tradisional yang paling sering dimainkan. Menurut mitologi etnik Batak Toba, kedua alat musik tersebut merupakan milik Mulajadi Nabolon, sehingga harus dimainkan untuk menyampaikan permohonan kepada sang dewa.
3.      Seni Kerajinan
Martonun, atau keterampilan dalam membuat kais ulos dengan alat tenun tradisional, merupakan salah satu seni kerajinan dalam tradisi adat Batak Toba, yang hingga saat ini masih bisa dijumpai di pedalaman Pulau Samosir dan daerah-daerah lainnya di sekitar Danau Toba. Masyarakat Batak Toba melakukan berbagai seni kerajinan sesuai dengan peran dan fungsinya dalam struktur adat dan religi yang mereka percaya.
4.      Seni Sastra
Ada banyak seni sastra yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, meliputi sastra lisan dan sastra tulisan. Beragam cerita rakyat, seperti terjadinya Danau Toba dan Batu Gantung, menjadi legenda yang sampai saat ini masih bisa kita dengar. Pantun-pantun yang disebut umpasa juga ada dalam kebudayaan Batak Toba, yang menjadi kearifan lokal etnik tersebut. Semua seni sastra itu memiliki makna filosofis dalam kehidupan mereka.
5.      Seni Rupa
Seni pahat dan seni patung menjadi keterampilan utama dalam seni rupa tradisional yang hidup di Batak Toba. Ukiran-ukiran yang terdapat gorga atau ornamen rumah adat mereka, menjadi bukti keindahan dari seni pahat masyarakat Batak Toba. Sedangkan, seni patung bisa dilihat dari banyak peralatan tradisional, seperti sior dan hujur (panah), losung gaja (lesung besar), serta parpagaran dan sigale-gale (alat untuk memanggil kekuatan gaib).

B.FUNGSI KARYA SENI BATAK TOBA
            Simbol-simbol dalam bentuk ragam hias tersebut tidak hanya berupa kumpulan garis atau gambar (visual) yang ditata artistik secara turun temurun, namun di dalamnya juga terkandung pedoman hidup yang diharapkan dapat dikejawatahkan dalam menjalani kehidupan di muka bumi dan diikuti oleh generasi demi generasi secara turun temurun. Untuk memahami peranan tenun pada kedua masyarakat yang terjadi, digunakan penelitian kualitatif, menggunakan teori-teori sejarah, antropologi, sosiologi, semiotika dan estetika. Studi ini juga membandingkan hakikat seni tenun di kedua wilayah tadi. Sehingga diharapkan fenomena peranan tenun tersebut dapat terungkap. Temuan pokok dalam penelitian ini adalah bentuk, fungsi dan, makna yang terkandung di balik susunan ragam hias kain ulos maupun gringsing tersebut adalah makna yang diketahui dan dimiliki bersama oleh anggota warga budaya pendukungnya, karena senantiasa dikomunikasikan dan disosialisasikan melalui berbagai wahana seperti upacara adat atau yang lazim menurut tradisi masyarakat yang bersangkutan. Bahwa ulos lebih berorientasi kehidupan manusia secara horizontal, sedangkan gringsing Tenganan Bali Aga lebih mengingatkan agar seseorang selalu mengamalkan ajaran Hindu melalui upacara-upacara ritualnya sekaligus sebagai fungsi yang menonjolkan nilai estetisnya. Sebagai benda hasil karya seni, ulos dan gringsing dalam batasbatas tertentu apabila ditinjau dan konteks historis, ulos dan gringsing dapat dikatakan sebagai kesenian sekuler diharapkan dapat.
C. KEUNIKAN KARYA SENI BATAK TOBA
            Kesenian suku Batak merupakan satu dari banyaknya kesenian suku-suku yang dimiliki Indonesia. Kesenian suku Batak tentu saja hanya dimiliki oleh mereka yang berasal dari suku Batak. Keunikan dan keanekaragaman kesenian disuguhkan oleh masyarakat yang tinggal di Sumatera bagian Utara, Sumatera bagian Timur dan Tapanuli ini.
            Membicarakan kebudayaan atau kesenian yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia seperti tidak pernah ada habisnya. Pasti akan selalu saja ada hal baru yang menarik untuk diperbincangkan. Kebanggaan pun seolah takada habisnya. Begitupun ketika membicarakan kesenian suku Batak yang merupakan salah satu kesenian asli Indonesia.
            Dalam kesenian suku Batak, Ulos berbentuk selendang yang dibuat menggunakan alat tenun bukan mesin, merupakan tradisi seni kriya yang diwariskan turun-temurun. Ulos bukan lagi sekadar kesenian suku Batak, tapi sudah menjadi identitas suku Batak itu sendiri.        
D.PROSES KARYA SENI BATAK TOBA
            Seni Batak toba terkenal  dengan teknik pahat,ukuir dan pahat,Martonun, atau keterampilan dalam membuat kais ulos dengan alat tenun tradisional, merupakan salah satu seni kerajinan dalam tradisi adat Batak Toba, yang hingga saat ini masih bisa dijumpai di pedalaman Pulau Samosir dan daerah-daerah lainnya di sekitar Danau Toba. Masyarakat Batak Toba melakukan berbagai seni kerajinan sesuai dengan peran dan fungsinya dalam struktur adat dan religi yang mereka percaya.







A.KARYA SENI NIAS
            Dikomandoi oleh Johannes Maria Härmmerle, pengurus MPN berusaha mengamankan koleksi dan bangunan museum sejak hari pertama pascabencana. Sosok bule ini tampak menonjol di antara orang-orang yang sore itu pada pekan pertama bulan April berkumpul di halaman Kantor Museum Pusaka Nias. Mereka baru saja membersihkan paviliun tempat pajang koleksi yang porak-poranda akibat gempa.

Ketegasan dan keriangan yang selalu menyertai setiap tindakan serta ucapan pastor asal Jerman itu tidak mampu menutupi kesedihan akibat rusaknya koleksi museum. Dalam bahasa Indonesia yang lancar ia menceritakan nasib malang yang menimpa koleksi benda-benda tinggalan budaya Nias yang berumur ratusan tahun itu.

PRIA yang lahir 9 Juli 1941 dan masih tampak bugar ini menceritakan berbagai jenis tinggalan budaya berusia ratusan tahun yang tersimpan di Museum Pusaka Nias. Museum ini memiliki sekitar 6.500 koleksi tinggalan budaya Nias.

Memang secara umum masih dapat diselamatkan dari bencana gempa, tetapi tak urung terdapat ratusan koleksi yang rusak. Total kerugian materi mencapai puluhan miliar, tetapi diyakini kerugian akibat hilangnya nilai-nilai historis dan budaya tak terhitung.

Jenis-jenis koleksi MPN, antara lain, tinggalan megalitik berupa arca menhir, menhir, dan altar batu. Tinggalan megalitik tertua diperkirakan berasal dari 500-600 tahun lalu. Koleksi lainnya yang berusia sekitar 100 tahun lalu meliputi pahatan patung kayu, alat musik, peralatan dapur dari kayu maupun dari gerabah, pakaian dari anyaman rerumputan, kulit kayu, dan sejumlah barang berfungsi religius maupun peralatan sehari-hari lainnya.

Museum yang dikelola yayasan swasta terlepas dari pemerintah setempat ini didirikan tahun 1991. Johannes Maria Härmmerle, seorang pastor warga negara Jerman, merintis berdirinya museum ini sejak tahun 1972, berbarengan dengan kegiatannya sebagai misionaris yang mengharuskannya memasuki daerah-daerah terpencil di Nias.
Lebih dari 30 tahun lalu Johannes Maria Härmmerle muda baru saja menapakkan kakinya di Nias. Sebagai orang baru, ia cepat menemukan fakta perubahan drastis dalam pola pikir masyarakat Nias.
Masuknya agama baru membuat masyarakat berpandangan, berhubungan dengan apa pun yang terkait dengan kepercayaan lama yang pernah dianutnya adalah dosa. Kala itu, usaha penghancuran tinggalan budaya berupa patung atau alat-alat pemujaan marak dilakukan warga sendiri.

Seniman-seniman Nias yang melahirkan karya-karya patung kayu, baik untuk sarana pemujaan nenek moyang maupun sekadar hiasan rumah adat, tiba-tiba menghentikan aktivitasnya. Pemeliharaan terdapat peninggalan megalitik yang pernah dianggap sebagai penghubung antara manusia dan dunia roh serta-merta terhenti. Hanya rumah-rumah adat saja yang tetap dipertahankan sebagaimana fungsinya sebagai tempat tinggal.

Härmmerle juga melihat situasi ini dimanfaatkan orang-orang luar Nias untuk mengeruk keuntungan berlipat. Calo-calo benda antik dari dalam dan luar negeri berdatangan ke Nias dan membeli murah peninggalan budaya yang sebenarnya bernilai material amat tinggi itu.

Mula-mula ia meminta warga yang ingin membuang benda-benda pemujaan agar memberikan saja kepadanya. Awalnya warga memberikan secara cuma-cuma. Tetapi, dengan maraknya jual-beli benda antik di Nias, warga mulai pasang harga. Härmmerle kelimpungan menghadapi kenyataan ini karena uang bukanlah hal yang banyak dimiliki seorang pastor seperti dirinya.

Melihat kenyataan makin tak terbendungnya perdagangan ilegal peninggalan budaya Nias, akhirnya Härmmerle sekuat tenaga berusaha membeli barang-barang sarat nilai itu. Ia pun mulai menghimpun bantuan dari sana-sini, khususnya dari relasinya sesama pemerhati budaya asal Jerman.
Hanya didukung segelintir sahabat, Härmmerle berkeras membuka museum. Ia mengawasi sendiri pembangunan lahan milik gereja dari Ordo Kapusin. Dari sekadar ruang sempit untuk menyimpan koleksi, keuletan Johannes dari tahun ke tahun membuahkan hasil. Museum yang dirintisnya kini menempati bangunan permanen terdiri dari empat paviliun dan didukung fasilitas lain, seperti taman dengan koleksi tanaman langka dan burung beo khas Nias, taman laut, dan tempat sederhana yang menyediakan makanan bagi pengunjung.
Museum ini adalah milik warga Nias yang menelurkan karya-karya seni hebat. Tentunya, dukungan warga Nias sendiri dan para pemerhati budaya asli Indonesia akan amat berarti bagi kelangsungan museum ini,” kata Härmmerle.
B.FUNGSI KARYA SENI NIAS
Bolanafo, sebuah kearifan
Salah satu tradisi Ono Niha (orang Nias) yang masih hidup dan tetap dipertahankan sampai sekarang yaitu Bolanafo. Bolanafo, terdiri dari dua suku kata yaitu bola dan afo. Bola identik dengan pengertian tempat, sedangkan afo adalah lima ramuan dari tawuo (daun sirih), betua(kapur), gambe (daun gambir), bago (tembakau), dan fino (buah pinang).
            Tentang variasi corak yang ada, ada yang menyebutkan sebagai modifikasi atau percampuran dari bentuk motif dasar dari Bolanafo yang diwarnai dengan situasi daerahnya. Disebutkan motif dasar itu adalah Ni’otarawa (motif terawang), motif semi Ni’otarawa (semi terawang), dan yang polos. Apakah ini memang motif dasar utama di seluruh daerah di kepulauan Nias, ataukah dikarenakan motif dasar itu selalu ada dalam setiap ragam hias yang ada, penulis tidak bisa menyatakannya karena belum ada sumber otentik atau penelitian tentang ini secara khusus. Banyak yang menyebut Ni’ohulayo (bolanafo ibu) sebagai ragam hias karena motifnya merupakan percampuan, tapi mungkin karena Bolanafo jenis ini yang paling sering digunakan maka ada juga yang menyebutnya sebagai motif dasar. Sungguh sangat dirasa perlu untuk menelusurinya lebih lanjut.
Dalam ritual adat Nias, penggunaan motif Bolanafo selaras dengan status sosial penggunanya dan fungsinya. Ni’otarawa digunakan oleh para balugu atau yang berstatus bangsawan, yang semi terawang dan Ni’ohulayo digunakan oleh para banua atau masyarakat umum, dan yang motif polos konon digunakan oleh masyarakat dengan status sosial paling bawah atau sawuyu(kaum budak). Dalam keseharian, motif polos ini banyak digunakan umum untuk tempat sirih masyarakat Nias yang suka menyirih. Jadi, selain motif ragam hias, Bolanafo memiliki perbedaan fungsi dan bentuk dalam penggunaannya.
Siapa sesungguhnya yang memberi nama terhadap sebuah karya Bolanfo, dan bagaimana prosesnya, penulis belum menemukan catatan yang cukup tentang hal ini. Apakah sang perangrajin yang umumnya perempuan (ibu) Nias langsung memberi nama, melalui tokoh adat atau masyarakat penggunanya. Yang pasti nama itu sudah digunakan sejak dulu sampai sekarang. Menarik untuk diketahui sebab Bolanafo sesungguhnya bukan hanya sebuah karya seni, tetapi berkaitan erat dengan ritual dan proses budaya Nias. Disamping itu, untuk mengetahui sejauh mana posisi dan peran sang pembuat bolanafo memiliki arti dalam penciptaan sebuah kreatifitas budaya semacam Bolanafo ini. Kembali ke soal penamaan, selain fungsi utamanya, bisa jadi ini ini salah satu dari kearifan lokal masyarakat Nias untuk merekam peristiwa kehidupan, menyatakan penghargaan atas ciptaan, dan sebuah proses dokumentasi yang tidak dalam tulisan. Nias tidak memiliki aksara lokal dan hanya mengenal tradisi lisan yang dikenal dengan hoho (syair). Sama seperti relief-relief pada rumah adat yang mempunyai makna dan pesan, maka demikianlah corak pada bolanafo.
Sejarah yang tersembunyi 
Makan sirih merupakan kebiasaan orang Nias. Selain untuk ramuan kunyahan, sirih memiliki arti khusus dalam tradisi Nias. Fame’e afo atau menyuguhkan sirih adalah sebuah tradisi penyambutan dan penghormatan tamu. Para ina (ibu) meramu sirih lalu menata kedalambolanafo dan disuguhkan. Cara menyuguhkan kepada tamu juga dengan aturan tertentu dengan bersujud dan biasanya diawali dengan memberi salam penghormatan yang disebutFangowai. Makan sirih mempunyai makna simbolik yang dalam. Penyuguhan dan makan sirih bersama disimbolkan sebagai upaya menyatukan pemikiran yang berbeda, merajut perpecahan dan membangun harapan bersama. Oleh sebab itu, makan sirih merupakan aktivitas awal dalam setiap pertemuan adat, keluarga, dan acara besar masyarakat Nias. Bila semua dapat duduk bersama makan sirih, maka dapatlah dikatakan bahwa sudah saling menghormati, menerima dan memahami, sehingga pembicaraan atau perhelatan yang menjadi inti pertemuan bisa dilakukan. Ini sebuah kearifan yang sangat bernilai.
Menganyam wadah atau Bolanafo dilakukan oleh pengrajin tradisionil Nias yang umumnya adalah para perempuan dan ibu. Pengrajin tradisionil bolanafo masih terdapat di desa-desa pedalaman Nias dalam jumlah sedikit dan mereka yang bertalenta itu merupakan ibu-ibu tua yang sudah mendekati usia uzur dengan penglihatan yang kurang baik. Kehidupan mereka sangat sederhana dan rata-rata berpendidikan rendah bahkan umumnya tidak mampu berbahasa Indonesia. Mereka tidak menyadari dibalik kesederhanaan itu ada karunia talenta dan jiwa seni yang sangat mengagumkan dari Pencipta yaitu ketrampilan membuat bolanafo. Keindahan bolanafo merupakan ekspresi dari perpaduan keagungan dan kekuatan perempuan Nias. Perpaduan sifat lemah-lembut, kesabaran, ketabahan, rela berkorban, loyalitas, disempurnakan dengan etos kerja, ketekunan, dayakreasi yang imajinatif, dan sikap gigih pantang menyerah.
Kapan dimulainya tradisi bolanafo ini belum ada dokumen sejarah otentik yang menyebutkan, tapi kalau ditelusuri lebih jauh, dalam mite tentang asal usul Ono Niha yang dipercayai secara kolektif oleh masyarakat Nias disebutkan bahwa orang Nias diturunkan ke Teteholiana’a(lokasi yang dipercaya di tengah pulau Nias) dari langit oleh Pencipta secara bijaksana dengan dilengkapi böwö atau adat istiadat dan perlengkapannya yaitu bolanafo dengan unsurnya tadi. Jadi, mungkin dapat dikatakan umur tradisi bolanafo ini adalah sepanjang sejarah kehidupan Nias, dan selama itulah para pengrajin perempuan Nias telah melakukan aktivitas menganyam bolanafo. Bagian ini sering kurang diperhatikan dan bahkan terlupakan bahwa ada peran nyata dan kapasitas perempuan Nias yang tidak pernah disorot dan dihargai. Ia menjadi sejarah yang tersembunyi. Peran signifikan dan prestasi sosok perempuan Nias ini, nyaris tidak terdokumentasi sebagai bagian yang utuh dalam sejarah Nias. Ada banyak tulisan tentang Nias dan sejarahnya tetapi tentang peran perempuan Nias belum diangkat seperti mengangkat peran dan posisi kaum prianya. Posisinya lebih banyak disorot sebagai objek bukan sebagai subjek. Padahal, melalui Bolanafo ini dapat dilihat perempuan Nias memiliki peran yang nyata dan signifikan. Dari sini, semoga hal ini semakin mendorong semua pihak untuk menelusuri kembali peran-peran perempuan Nias bagi kehidupan Nias yang masih tersembunyi. Diharapkan hal ini dapat merobah cara pandang yang lebih terbuka, dan mendorong semangat perempuan Nias untuk dapat lebih mengaktualisasikan diri.
Kegiatan menganyam bolanafo saat ini hampir punah walau tradisi fame’e afo tetap berlangsung. Pekerjaan menganyam dinilai kurang memberi manfaat ekonomi secara cepat. Bahan bakunya sudah mulai sulit didapat karena tidak ditanam secara khusus. Bolanafo anyaman menjadi barang langka, harus memesan terlebih dahulu bila meemrlukannya. Penghayatan terhadap nilai tradisi bolanafo mulai kurang sehingga aktifitas dilakukan seadanya dengan bolanafo dari kain. Diperlukan upaya menyelamatkan karya seni yang bernilai tinggi ini karena suatu saat dapat hilang dan tidak mampu digali kembali. Nilaibolanafo dapat diangkat dari berbagai sisi baik sebagai sebagai barang seni, sebagai piranti budaya, sebagai warisan leluhur yang memberikan kebanggaan tersendiri (proud dan pride) dan sebagai produk ekonomi yang bermanfaat bagi pembuatnya serta daerah Nias.
Potensi lokal ekonomi kreatif 
Memelihara warisan budaya yang positif termasuk kearifan fame’e afo sangat berarti dalam pembangunan yang berbasis masyarakat, sekaligus mempertahankan tatanan budaya yang positif dan penghargaan terhadap jatidiri Ono Niha. Generasi masa kini Nias umumnya sudah kurang mengetahui fungsi dan makna bolanafo, macam ragam hiasnya, dan cara membuatnya. Hal ini karena terputusnya komunikasi antar generasi dan tidak adanya kesinambungan terhadap aktifitas kreatif ini. Karena itu perlu upaya untuk merevitalisasinya.
Bolanafo adalah sebuah karya seni, sebuah kreatifitas yang berbasis pada kearifan lokal. Sebagai sebuah produk seni, Bolanfo belum banyak dikenal oleh masyarakat di luat Nias. Diperlukan sebuah strategi promosi yang tepat untuk mengangkat bolanafo sebagi produk ekonomi kreatif berdaya saing dan memberi manfaat ekonomis. Strategi itu menyeluruh meliputi pengembangan sektor hulu sampai ke sektor hilir dimulai dari pengrajin, bahan baku, peningkatan produktifitas dan perluasan produk, usaha, sampai pemantapan citra sebagai produk berdaya saing. Pemberdayaan pengrajin dilakukan untuk meningkatkan kapasitasnya sebagi pekerja kreatif yang berdayakreasi, produktif dan inovatif.
Pengembangan yang optimal harus didukung dengan membangun iklim yang kondusif agar terbangun usaha atau bisnis produktif bolanafo memasuki pasar industri kreatif. Disini diperlukan kerjasama dan sinergitas dari pemda, masyarakat dan pengusaha/swasta. Mempromosi Bolanafo sangat potensil mendukung sektor-sektor ekonomi terkait terutama usaha kerajinan dan kepariwisataan Nias yang memperluas lapangan pekerjaan dan kelak bermuara pada peningkatan perkonomian Nias. Ditengah berbagai keterbatasan pemerintah daerah, hal ini juga berpotensi menjadi alternatif sumber pendanaan. Di tingkat masyarakat, ini diharapkan membangun kesadaran masyarakat Nias akan potensi diri yang dimilikinya dan kebanggaan atas karyanya. Upaya promosi Bolanfo juga mendorong semua pihak melakukan eksplorasi potensi daerah lainnya secara bersama-sama untuk tujuan pertumbuhan daerah. Penulisan ini juga dimaksudkan menjadi bagian kecil dari upaya itu. Ditengah keterbataan pengetahuan tentang bolanfo, kiranya akan mendorong berbagai pihak dapat melengkapi dan menyempurnakannya, hingga kelak semakin bolanafo kembali secara utuh, baik dan benar, terposisikan dalam kehidupan Nias dalam berbagai dimensi baru dan yang bermanfaat mengatasi berbagai ketertinggalan yang ada.
Bolanafo adalah simbol kreatifitas perempuan Nias dan penghargaan terhadap ciptaan. Bayangkan, bahkan sebelum Michael Porter merumuskan dan memperkenalkan kerangka rantai-nilai (value chain) tanpa disadari para ibu (perempuan) di Nias telah menggagas rantai-nilai dari rumput rawa-rawa kelöamö sampai ke konsumen akhir dalam bentuk Bolanafo. Karya cipta ini perlu dilindungi, dihargai, dan dikembangkan agar pelestarian rantai-nilai yang telah digagas
C.KEUNIKAN KARYA SENI NIAS
Pulau Nias di tepian Samudera Hindia dan berhadapan dengan pantai Sibolga itu bersama dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya (± 130 pulau) merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Sumatera Utara. Luas 5.625 km2 dan berpenduduk sekitar setengah juta jiwa. Tanahnya terdiri dari dataran rendah dan bukit-bukit dengan suhu udara tropis yang cukup nyaman (antara 17° -30° C). Tanah yang subur dengan hutan dan nyiur melambai sepanjang pantai mengan­dung pesona alami yang memikat hati. Memang letaknya terpencil, tetapi justru masih aman dari kebisingan deru mesin, asap pabrik dan limbah industri. Kehidupan masyarakat dan budayanya pun belum banyak tercampur oleh pengaruh asing yang negatif. Budayanya yang asli, yang tradisional, masih banyak bertahan hingga sekarang. Tradisi megalitik dari masa prasejarah pun masih mewarnai kehidupan sehari-hari, demikian pula seni patungnya.

Seni patung Nias sebenarnya sulit dipisahkan dari seni patung Batak, baik ditinjau dari sejarah, daerah maupun latar belakang kon­sepsinya. Kalau kita teliti lebih seksama akan tampak perbedaan da­lam gaya maupun ciri-cirinya, sebab itu sepantasnyalah kalau kita kaji secara khusus.

Tidak disangsikan lagi, seni patung Nias beranjak dari masa pra­sejarah khususnya dari tradisi megalitik atau tradisi budaya yang me­ninggalkan karya dalam bentuk batu-batu besar seperti menhir, dolmen dan lain-lain, yang kemudian menghasilkan patung-patung megalit. Berbagai peninggalan tradisi megalitik terdapat di Nias. Memang Nias di dunia kepurbakalaan sangat terkenal sebagai gudang megalit.

Megalit-megalit itu tidak semua berasal dari masa prasejarah se­bab terus hidup dan berkembang atau mentradisi hingga masa seja­rah. Perkembangan itu seirama dengan perkembangan masyarakat­nya, hanya saja tidak selalu seirama dengan perkembangan teknologi. Pada masa pengaruh agama Islam (sejak abad 17) dan Kristen (abad 19) masuk dimana teknologi berkembang pesat, justru seni patung yang berlatar belakang konsepsi megalitik itu mundur. Sebabnya mudah ditebak, yaitu konsepsi kedua agama besar itu tidak seirama dengan konsepsi megalitik. Sekarang kemampuan seni patung Nias praktis tinggal sisa-sisanya, bahkan tinggal kenangan dengan kebang­gaan atas kejayaan masa silamnya saja dan yang mengembangkan justru seniman bukan Nias.

Peninggalan-Peninggalan megalitik dengan patung-patungnya masih terdapat banyak bertebaran di desa-desa Boronadu, Orahili, Bawomataluo, Hilesematano Kecamatan Gomo, Teluk Dalam dan lain-lain.

Antara Nias bagian utara dan bagian selatan terdapat perbedaan gaya seni patungnya. Di utara pada umumnya patung dipahat tegak, sedang di selatan umumnya jongkok atau duduk dengan alat kelamin lebih menonjol. Di utara busana dan perhiasan lebih lengkap.

D.PROSES KARYA SENI NIAS
Peninggalan budaya batu besar untuk keperluan sakral seperti pe­mujaan leluhur dan berbagai macam upacara itu tidaklah semata di­buat asal memenuhi fungsi utama itu, tetapi juga untuk memenuhi rasa keindahan. Ini terbukti pada susunannya, bentuk serta hiasan. Menhir (bata tegak atau "bahu" yang biasa merupakan bagian paling suci di suatu situs/arena pemujaan megalitik) itupun dalam perkem­bangan dihias. Misalnya "bahu" di desa Orahili (Kecamatan Gomo) puncaknya berhias "foto gogowaya" (bentuk burung enggang) se­bagai burung suci, burung ini pun berhias kalung seperti yang dipakai oleh raja/ketua adat. Di desa Bawomataluo (Kecamatan Teluk Da­lam) terdapat menhir dengan hiasan dua buah "bola" di atasnya, rupanya "bola" itu merupakan bagian tersuci dan yang kelak ber­kembang menjadi "kepala" patung nenek moyang.

Megalit lain seperti dolmen/meja batu, sejenis papan batu yang ditopang batu-batu lain di bawahnya sebagai kaki adalah tempat untuk menaruh sesaji pada waktu upacara berlangsung, kemudian juga berfungsi sebagai "pentas" untuk tarian sakral, banyak berukir dengan hiasan stilasi "osa-osa" atau zoomorfis kedalam corak deko­ratif. Bentuk "lasara" atau kepala raksasa sebagai arwah (dewa) pem­bina yang mempunyai kekuasaan sangat tinggi. Motif lasara juga ter­dapat pada dinding rumah sebagai pertanda kebesaran si pemilik rumah.

Osa-osa di Desa Lahusa berbentuk tiga dimensi dengan mulut lebar, lidah terjulur sedang hidungnya seperti manusia, bagian kepala terpisah dari bagian leher oleh lingkaran yang berfungsi sebagai tem­pat duduk. Osa-osa di desa Orhili lebih unik dengan tiga lasara pada dasar berbentuk empat persegi panjang, pahatannya halus, gerakan-gerakannya ritmis, namun tetap berfungsi baik sebagai tempat du­duk. Semua ini menggambarkan kemahiran seniman Nias dahulu ka­la dalam memahat patung batu.

Dolmen di desa Bawomataluo berbentuk empat persegi panjang dengan banyak relief ornamen berbentuk roda matahari dan tetum­buhan seperti sulur-sulur serta manusia dalam sikap terbelenggu. Magai atau sulur-sulur dimaksudkan sebagai lambang persaudaraan dan pertumbuhan.
 




KARYA SENI KARO
             Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
            Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.


B. FUNGSI KARYA SENI KARO
  1. Peralatan dan perlengkapan hidup (Teknologi)
 Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian. Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu:

C.KEUNIKAN KARYA SENI KARO

1.      Senjata
2.      Wadah
3.      Alat-alat menyalakan api
4.      Makanan
5.      Pakaiyan
6.      Tempat berlindung dan perumahan
7.      Alat-alat alat transportasi


1.      Sistem mata pencaharian

Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah mata pencaharian tradisional saja, di antaranya:
2.       Sistem kekerabatan dan organisasi social
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial.Mayer Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit social yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya
3.       Bahasa Bahasa
adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat. Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasin ilmu pengatahuna atau teknologi.



D.PROSES KARYA SENI KARO
             Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga . Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas.
             Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari system jagat raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta.           Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa inggris): Religion, yang berasar dari bahasa latian religare, yang berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia.
 Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu , dan berpikir menurut logika, atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris (trial and error).

A.   SUKU BATAK MANDAILING

            Suku Mandailing adalah suku bangsa yang mendiami Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Kabupaten Asahan, dan Kabupaten Batubara di Provinsi Sumatera Utara beserta Kabupaten Pasaman danKabupaten Pasaman Barat di Provinsi Sumatera Barat, dan Kabupaten Rokan Hulu di Provinsi Riau. Mandailing merupakan kelompok masyarakat yang berbeda dengan suku, Hal ini terlihat dari perbedaan sistem sosial, asal usul, dan kepercayaan.Pada masyarakat Minangkabau, Mandailing atau Mandahiliang menjadi salah satu nama suku yang ada pada masyarakat tersebut.
B.     FUNGSI KArya SENI MANDAILING
            Suku Batak adalah salah satu suku bangsa yang termasuk dalam rumpun melayu atau Indonesia tua dan mungkin juga termasuk yang tertua di Sumatera khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Suku Batak terbagi atas enam subsuku yaitu Toba, Angkola, Mandailing, Simalungun, Pak-Pak, dan Karo. Keenam subsuku ini sama-sama mengakui bahwa mereka adalah keturunan si Raja Batak atau nenek moyang orang Batak. Mereka membedakan diri dari kaum sipelebegu yang menyembah berhala, sementara orang-orang ini tetap konsisten dengan kepercayaan asli suku bangsa Batak yaitu percaya kepada Debata Mula Jadi Na Bolon. Lama kemudian golongan aliran putih ini akhirnya disebut dengan sebutan Parmalim. Golongan putih inilah kemudian menjadi penganut agama Malim.
            Parmalim artinya adalah orang yang menuruti ajaran malim atau berkehidupan malim yang diwujudkan dengan pengumpulan ramuan benda-benda pelean (sesaji) berdasarkan pada ajaran Debata Mula Jadi Na Bolon. Dalam setiap upacara ritual ugamo malim dipakai kedua ansambel tersebut yaitu ansambel gondang sabangunan dangondang hasapi. Kedua gondang tersebut dipercaya oleh parmalimuntuk mengesahkan dan menghantarkan permohonan-permohonan dan doa-doa kepada Debata Mula Jadi Na Bolon dan penguasa lainnya. Kedua ansambel tersebut juga berfungsi sebagai pengiringtortor (tarian masyarakat Batak Toba).
C.     KEUNIKAN KARYA SENI MANDAILING
Suku Mandailing mempunyai aturan adat istiadat yang diatur dalam suatu tuntunan yang bernama Surat Tumbaga Holing (Serat Tembaga Kalinga). Surat Tumbaga Holingbiasanya selalu dibacakan dalam upacara-upacara adat. Selain itu, orang Mandailing pun mengenal tulisan yang dinamakan Aksara Tulak-Tulak atau Urup Tulak-Tulak, yang merupakan varian dari aksara Proto-Sumatera, yang berasal dari huruf Pallawa.
D.    PROSES KARYA SENI MANDAILING
Bentuknya tidak berbeda dengan Aksara Minangkabau, Aksara Rencong dari Aceh, Aksara Sunda Kuna, dan Aksara Nusantara lainnya.Meskipun Etnis Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan urup tulak-tulak dan dipergunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha / pustaka, tetapi hampir tidak ada sejarah yang dituliskan dalam huruf itu, umumnya huruf itu hanya digunakan untuk menulis aturan adat dan pengobatan. Sejarah Mandailing sendiri berkaitan erat dengan Sejarah Minangkabau, namun perbedaannya sejarah Mandailing diceritakan berdasarkan garis silsilah laki-laki, sementara sejarah Minangkabau berdasarkan garis silsilah perempuan. Oleh sebab itu, sejarah Mandailing umumnya tertulis dalam bahasa Minangkabau.

A.KARYA SENI MELAYU

            Pada masa pemerintahan Jepang, penampilan kesenian di Istana Serdang sangat kurang, tidak seperti sebelumnya. Kekurangan sangat terasa pada tahun 1942–1945, karena pergolakan politik yang terjadi pada masa itu. Walaupun demikian pada saat-saat tertentu penulis masih dapat mendengarkan lagu-lagu Melayu dari kelompok ronggeng yang sengaja dipanggil ke Istana Serdang untuk menghibur. Lagu-lagu Melayu seperti Senandung Dendang Sayang, Senandung Laksamana Mati Dibunuh, Senandung Anak Tiung, Mak Inang Pulau Kampai, Mak Inang Kayangan, Lagu Dua, Tanjung Katung, dan Lagu Dua Seratus Enam tidak luput dari pendengaran. Lagu Dua Pulau Sari yang bertempo cepat dan selalu mengakhiri tari Serampang XII juga sempat terdengar. 


B.FUNGSI KARYA SENI MELAYU

            Perkembangan tari Melayu sejalan dengan perkembangan musiknya. Di mana-mana terdengar lagu-lagu Melayu dan pada saat itulah lahir komponis tiga zaman, Lili Suhairi dan biduanita kawakan, Rubiah. Keduanya dipandang sebagai tokoh yang banyak berjasa dalam memasyarakatkan musik dan lagu-lagu Melayu. Usaha itu dilakukan Lili Suhairi pada saat memimpin orkes Studio Medan. Kemudian bermunculan orkes-orkes Melayu lainnya seperti orkes Sukma Murni, Budi Pekerti, Rayuan Kesuma, dan lain-lain. Zaman itu juga telah melahirkan biduan dan biduanita Nasir, Nur Ainun, Zaidar, dan lainnya.

            Seiring dengan tumbuhnya orkes tersebut muncul orkes Melayu versi baru pimpinan Tengku Nazly. Atas bimbingan ayahandanya yang berkemauan keras, dia menghimbau rekan-rekan dan keluarga terdekatnya untuk membentuk orkes yang kemudian diberi nama Tropicana. Lagu-lagu Melayu yang dibawakan orkes ini sebagian besar adalah lagulagu Melayu yang sudah diubah warnanya tanpa meninggalkan rasa dan penyajiannya. Dengan kata lain, lagu-lagu Melayu dibawakan dengan tempo cha-cha, rumba, marenggue, mambo, beat Barat yang sangat populer pada masa itu, dan sebagainya. Lagu-lagu mereka sempat direkam oleh perusahaan piringan hitam Lokananta pada tahun 1958 dengan menampilkan T. Kamarulzaman, Dahlia, T. Nazly, Mayang Murni, dan T. Sitta Syaritsa.

Orkes tersebut banyak dibantu oleh tokoh musik Abdul Muis Rajab (alm.) dalam hal aransemen. Walaupun Abdul Muis Rajab berasal dari tanah rencong, tetapi minatnya terhadap lagu-lagu Melayu besar sekali. Selain mengaransemen, ia juga menciptakan lagu Melayu. Salah satu lagu ciptaannya adalah Dendang Putri. Orkes ini dibina oleh Tengku Luckman Sinar yang sekaligus memegang alat perkusi. Para anggota orkes ini berprinsip setiap penyanyi harus membawakan lagu-lagu Melayu dengan ciri khas Melayu, yaitu gerenek dan tekuk lagu dalam teknik pembawaan lagu.

Sementara itu, di luar kota Medan dan daerah lain musik belum membaur dan jarang tampil. Aktivitas beberapa kelompok kesenian tidak menonjol. Mereka pernah tampil tetapi terbatas di daerah mereka saja. Setiap kali kelompok itu tampil, peralatan musik Melayu tradisional masih dipakai, meskipun tidak lengkap. Perkumpulan kesenian Melayu yang berada di pinggiran lebih menunjukkan keasliannya, seperti perkumpulan persilatan di Pantai Labu (Lubuk Pakam), Rodat atau Barodah di Labuhan, kesenian Gubang di Asahan, serta beberapa perkumpulan ronggeng dan kelompok tari Zapin di Perbaungan. Semuanya masih diiringi dengan peralatan musik tradisional, meskipun sangat terbatas dan sederhana sekali, tetapi juga ada kelompok yang menggabungkan alat-alat yang dipakainya, seperti yang terlihat dalam pertunjukan silat di daerah-daerah. Alat musik pengiring yang dipergunakan acapkali terdiri dari serunai, dua gendang panjang, beberapa gendang zapin yang berbentuk bulat kecil (marwas), dan sebuah ‘oud (gambus). Kelompok yang tidak mempunyai peralatan itu menggantinya dengan biola atau peralatan modern lainnya yang berfungsi untuk melodi, seperti accordion, dan kadang ditambah tetawak. Pada masa itu di pinggiran kota Medan ataupun kota-kota lain masih ditemui seniman-seniman berbakat dan peralatan musik tradisional Melayu. Oleh karena alasan sibuk memenuhi keperluan hidup, penampilan mereka hanya diselenggarakan pada saat-saat tertentu saja.

Musik Melayu mengalami masa suram pada masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, yaitu akhir tahun 1965, karena perhatian masyarakat tertumpu pada perbaikan situasi setelah meletusnya G 30 S/PKI. Keadaan saat itu tidak memungkinkan bagi mereka untuk meneruskan profesinya, sementara banyak tokoh musik yang berpindah tempat atau pindah profesi. 



Setelah keadaan tenang dan pemerintah berkeinginan memajukan kebudayaan nasional, kita segera sadar perlunya pelestarian kebudayaan bangsa. Kebijakan pemerintah di bidang pariwisata, telekomunikasi, dan kebijakan lain sangat bermanfaat bagi pembinaan kesenian dan kebudayaan. Pada umumnya pelayanan kesenian disalurkan melalui wadah tertentu yang sudah terarah, sehingga menimbulkan gairah bagi seniman dan pecinta seni di Indonesia untuk berkesenian. Perubahan itu juga dirasakan kesenian Melayu yang menunjukkan prospek baik dengan munculnya kesenian Melayu di televisi, lahirnya karya film yang berkultur Melayu (Musang Berjanggut), dan penyiaran musik dan lagu Melayu melalui RRI yang diselenggarakan oleh masyarakat Melayu dan masyarakat daerah lain.

Musik tradisional Melayu kembali muncul, seperti musik angkatan Makyong Serdang pimpinan T. Luckman Sinar, yang mengiringi tari-tarian dari Himpunan Seni Budaya Melayu Sri Indra Batu Medan yang penulis pimpin. Penampilan pertama pada tahun 1976 mendapat respon dari masyarakat, baik masyarakat Melayu maupun masyarakat daerah lain. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat masih merindukan jenis musik tersebut. Berbagai perkumpulan dan organisasi kesenian yang menggunakan alat musik campuran juga muncul di luar kota.

Selain itu juga tumbuh minat kaum muda untuk membawakan lagu-lagu Melayu dengan orkes, band, dan musik kecil yang membuahkan aransemen baru yang terpengaruh musik Barat, seperti tempo cha-cha, mambo, rumba, dan sebagainya. Kelompok yang terpengaruh tersebut seperti SIRlS Combo pimpinan THM. Daniel. Dia dan rekanrekannya meneruskan warna dan corak orkes Tropicana.

Minat masyarakat daerah lain pun semakin besar. Ini ditandai dengan dibawakannya lagu-lagu Melayu oleh orkes Minang. Bahkan penyanyi-penyanyi pop pun sering membawakan lagu-lagu Melayu, seperti lagu Bunga Tanjung, Seringgit Dua Kupang, Mak Inang Pulau Kampai, dan sebagainya. Tumbuhnya tari-tari kreasi baru juga menghasilkan aransemen musik Melayu baru, walaupun sebagian besar lagu yang mengiringi tarian tersebut masih seperti lagu-lagu yang biasa didengar.

Musik Melayu dipengaruhi oleh musik asing, termasuk musik India yang membuahkan rentak atau tempo yang disebut chalti. Chalti ini kemudian melejit dan lebih dikenal sebagai musik dangdut. Sebagian orang mengakui bahwa lagu dangdut adalah lagu Melayu, sedang masyarakat Melayu sendiri ada yang enggan mengakuinya sebagai lagu Melayu. Jika melihat sejarah, mungkin pengaruh itu ada pada musik Melayu awal. Sekarang pengaruh tersebut sudah tidak jelas, karena ada pengaruh lain sehingga berbeda dengan rentak dan tempo chalti. Hal ini belum penulis ketahui dengan pasti, tetapi merupakan perkembangan baru yang menambah ragam rentak lagu Melayu yang telah ada dan akan menambah khazanah musik Indonesia.

Dibukanya jurusan Musikologi Etnik pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang mencantumkan teori dan praktik musik Melayu telah menumbuhkan harapan cerahnya kehidupan musik Melayu pada masa mendatang. Dampaknya pada generasi muda sangat positif. Generasi muda di Sumatera Utara, khususnya Medan tidak lagi merasa “kampungan” bila memainkan musik tradisi Melayu.


Kita menyadari bahwa setiap perkembangan selalu menuju kemajuan. Namun perlu diingat bahwa kemajuan itu hendaknya disesuaikan dengan kepribadian bangsa kita. Perkembangan kesenian daerah harus diselaraskan dengan ciri khas daerah tersebut agar tidak tercerabut dari akar budayanya. Dalam makalah ini juga akan dikemukakan arah yang bisa dipegang agar pembicaraan mengenai tari dan musik tidak membingungkan, karena keduanya mempunyai persamaan dan perbedaan. Musik/lagu dan tari Melayu mempunyai kekhasan yang bisa ditandai dari beberapa hal, misalnya dalam lagu Melayu dikenal istilah gerenek, tekuk, berenjut, dan sebagainya. Sementara dalam tari dikenal istilah gentan, terkam, angguk legar, cicing, jinjit, menumit, sauk, dan sebagainya.

C. KEUNIKAN KARYA SENI MELAYU
            Gerak dan gaya khas dan unik dalam tari dan lagu Melayu yang diberi nama tertentu tersebut akan dapat segera dirasakan oleh orang yang memahami tari dan lagu Melayu. Memang tidak seluruh penyanyi atau penari dapat melakukan gerak dan gaya khas Melayu, dan jika ada yang bisa melakukannya, belum tentu sesuai degan “rasa” orang Melayu. Orang Melayu sendiri tidak dapat menjelaskan yang dimaksud dengan “rasa”. Hal itu karena “rasa” sangat abstrak dan tidak ada takaran yang sahih mengenai hal itu. Barangkali “rasa” condong kepada ekspresi jiwa atau pengungkapan seperti yang ada pada setiap manusia, sehingga “rasa” sulit diverbalkan.

D.PROSES KARYA SENI MELAYU
            Pengaruh dari berbagai bentuk dan jenis kesenian yang ada tentu tidak dapat dihindari. Seorang penata tari tertarik pada suatu gerak tertentu, lalu mengembangkannya, dan pada proses seperti itu terjadi perubahan nilai estetika kesenian Melayu, sehingga dalam rentang waktu tertentu kita kehilangan ciri khas kemelayuannya. Contoh yang ingin penulis kemukakan di sini adalah yang terjadi pada lagu-lagu Melayu. Seorang biduan Minang membawakan lagu Bunga Tanjung yang dikenal sebagai lagu Melayu. Cara membawakan lagu tersebut akan segera ditandai oleh pendengaran orang Melayu sebagai bukan cara pembawaan lagu Melayu, karena gerenek dan tekuk pembawaan lagunya sangat berbeda dengan pembawaan lagu biduan Melayu, tetapi pembicaraan biasanya terbatas sampai di situ saja. Kajian lebih dalam tentang perbedaan antara pembawaan lagu Gamat (Minang) dan pembawaan lagu Langgam (Melayu) perlu dilakukan untuk dijadikan patokan.