Fenomena krisis energi yang kian
jelas terlihat dan terasa dampaknya dalam beberapa tahun terakhir, sejatinya
memang tak dapat dipisahkan dari karut-marut dan amburadulnya kebijakan dan
pengelolaan sektor energi di Tanah Air. Tak terkecuali di dalamnya adalah
amburadulnya kebijakan dan pengelolaan gas alam.
Sebagai negara yang dikaruniai gas
alam dengan jumlah yang tidak bisa dibilang sedikit, total cadangan mencapai
180 triliun kaki kubik lebih, pada kenyataannya, hingga saat ini pun
pemanfaatan gas alam nasional masih sangat jauh dari optimal. Terhentinya
operasi beberapa pabrik pupuk dan terjadinya defisit gas di beberapa daerah
karena gas yang ada lebih banyak dialokasikan untuk ekspor, adalah contoh kecil
dari betapa kronisnya masalah gas nasional.
Sesuatu yang sangat ironis,
mengingat dalam banyak kasus, harga jual gas di dalam negeri pun ternyata masih
lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual gas untuk ekspor. Harga jual gas
untuk industri dalam negeri kini mencapai US$ 5,5 per million metric British
thermal unit (MMBTU), sedangkan harga ekspor gas Tangguh hanya berada di
kisaran US$ 3-US$ 4 per MMBTU.
Dalam konteks ini, yang terjadi
sesungguhnya adalah suatu inkonsistensi dari implementasi kebijakan gas itu
sendiri. Di dalam semua dokumen kebijakan energi nasional, sejak Kebijakan Umum
Energi Nasional (KUBE) 1988, 1991, dan 1998, serta Kebijakan Energi Nasional
(KEN) 2003, telah dinyatakan dan diamanatkan dengan jelas, bahwa arah
pengembangan gas alam nasional adalah pengutamaan kebutuhan gas alam domestik.
Untuk mewujudkan hal itu, pembangunan infrastruktur gas, seperti pipa
transmisi, distribusi, terminal gas alam cair (liquefied natural gas/LNG), dan
infrastruktur pendukung lainnya, menjadi salah satu prioritas yang harus
dilaksanakan. Sebab, hanya dengan keberadaan infrastruktur yang memadai itulah,
titik-titik suplai gas alam yang tersebar di pulau-pulau di Tanah Air ini dapat
terhubung dan terintegrasi dengan titik-titik demand, di mana gas alam itu
dibutuhkan.
Namun apa kenyataannya?
Implementasi
dari itu semua masih sangat jauh panggang dari api. Masih sangat minim dan
cenderung sangat tidak konsisten. Hal yang paling nyata adalah selalu lebih
diutamakannya ekspor dibandingkan kebutuhan dalam negeri.
Bahwa sampai saat ini lebih dari 55
persen produksi gas alam nasional dialokasikan untuk ekspor jangka panjang,
adalah bukti dari hal itu. Bahwa gas alam Tangguh begitu saja dijual dengan
harga murah ke Tiongkok dan Korea untuk jangka waktu 20-25 tahun, juga
merupakan bukti lain betapa berbedanya antara kata dan perbuatan, betapa tidak
konsistennya antara kebijakan dan implementasinya.
Pembangunan infrastruktur gas pun
seringkali tak tepat waktu dan juga masih sangat minim. Sebagai contoh, hingga
kini di Jakarta, stasiun pengisian bahan bakar gas untuk transportasi jumlahnya
tak lebih dari 20 buah.
Contoh lainnya, pipa transmisi belum
menjangkau sepanjang Pulau Jawa, dan akibatnya pipa distribusi di sekitarnya
juga belum dapat dibangun). Itu semua adalah bukti bahwa ketersediaan
infrastruktur yang sesungguhnya menjadi tanggung jawab pemerintah cenderung
diabaikan.
Yang terkini, barangkali adalah
rencana pengembangan lapangan gas di Blok Masela dan Blok Natuna D-Alpha.
Setali tiga uang, keduanya lagi-lagi cenderung diorientasikan untuk ekspor.
Alasannya, daya beli pembeli di dalam negeri tak mampu membeli gas dengan harga
yang pantas.
Argumen seperti itu (semestinya)
tentu tak dapat begitu saja kita terima. Sebab, ini tak hanya menyangkut
besarnya potensi multiplier effect (efek berganda) yang akan hilang begitu saja
ketika keduanya diekspor, tetapi juga menyangkut jaminan pasokan gas nasional
di masa yang akan datang. Sesuatu yang sangat strategis dan prinsipil,
mengingat total cadangan kedua blok itu mencapai 56 triliun kaki kubik lebih
(cadangan gas Natuna D-Alpha sekitar 46 triliun kaki kubik, sementara cadangan
gas Blok Masela mencapai 10 triliun kaki kubik).
Jumlah itu kurang lebih setara
dengan 56 kali total konsumsi gas nasional per tahun saat ini. Atau dengan kata
lain, cukup untuk memenuhi kebutuhan gas nasional kurang lebih 50-56 tahun ke
depan.
A.
Investor
Terhadap adanya inkonsistensi itu,
satu hal utama yang patut kita telusuri adalah akar penyebabnya. Mengapa bisa
terjadi demikian? Dalam konteks ini, di luar faktor perburuan rente untuk
kepentingan pihak-pihak tertentu (yang seringkali dalam praktik lebih
mendominasi arah dan implementasi kebijakan), tingginya kebergantungan
(finansial dan teknologi) pemerintah pada investor, asing khususnya, adalah
yang sangat menentukan.
Ketidakmampuan finansial pemerintah,
adalah faktor utama yang mengakibatkan pembangunan infrastruktur harus
diserahkan kepada investor. Kondisi itu, di satu sisi memang dapat meringankan
beban finansial (dan fiskal) pemerintah.
Tetapi di sisi lain mengakibatkan
penyediaan infrastruktur menjadi terbengkalai. Maksudnya, ketika tidak ada
investor yang tertarik untuk membangun karena return-nya kecil, misalnya, tidak
akan ada infrastruktur. Itulah yang banyak terjadi di kasus pengembangan
infrastruktur gas nasional.
Kebergantungan pemerintah yang
tinggi pada investor ini pula yang menjadi salah satu penyebab utama
ketentuan-ketentuan di dalam kontrak pengembangan gas seringkali cenderung
berat sebelah, dan tidak menguntungkan kepentingan nasional.
Bahwa sebagian besar produksi gas
alam nasional diekspor, ketika dirunut dalam banyak kasus, ternyata memang
disebabkan karena di dalam kontraknya menyatakan bahwa kontraktor berhak
menjual ke mana saja hasil produksinya tanpa pemerintah berhak untuk
mengaturnya.
Kewajiban mengalokasikan produksi
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri seringkali tak tertulis secara eksplisit
dan tegas. Yang ada lebih sering hanya berupa klausul longgar saja bahwa
kebutuhan dalam negeri semestinya diutamakan.
Kalaupun sekarang di UU Migas
disebutkan ada ketentuan tentang kewajiban untuk memenuhi kebutuhan domestik
(Domestic Market Obligation/DMO) sebesar 25 persen, hal itu masih
multiinterpretatif. Akibatnya, di dalam praktiknya pun tak jelas dan akhirnya
seringkali tak sama dengan yang dimaksud.
Publik sering menafsirkan bahwa 25
persen itu dihitung dari produksi. Pada kenyataannya, lebih sering kuota 25
persen itu dihitung dari bagian pemerintah saja, setelah dikurangi dengan cost
recovery, sehingga jumlahnya sangat tidak signifikan.
Hal lain yang tak kalah pentingnya
dan seringkali lolos dari pengawasan publik adalah menyangkut kesepakatan
harga. Dalam kasus gas Tangguh, sebagian besar rakyat Indonesia niscaya tak
akan rela ketika tahu gas alam yang sangat berharga itu ternyata hanya dihargai
US$ 3-US$ 4 per MMBTU, sementara harga di pasaran internasional kini sudah
mencapai US$ 15 per MMBTU. Itupun setelah direnegosiasikan karena desakan yang
cukup keras dari berbagai kalangan.
B.
Politik Energi
Kedepan, agaknya pemerintah harus
benar-benar mengedepankan apa yang dinamakan sebagai politik energi yang benar.
Bahwa sumber daya energi, termasuk gas alam, adalah sesuatu yang sangat
strategis, yang tak bisa diukur hanya sebatas devisa.
Sudah saatnya pemerintah mengubah
paradigmanya, bahwa gas alam adalah hanya penghasil devisa. Sudah saatnya
pemerintah tak lagi bangga menyatakan bahwa kita adalah eksportir LNG terbesar
di dunia.
Sebab, hal itu sejatinya hanya
menunjukkan ketidakmampuan kita untuk mengolah gas alam menjadi sesuatu yang
bernilai ekonomi lebih tinggi. Untuk mewujudkan hal itu, dalam tataran konkret,
yang harus dilakukan segera adalah merenegosiasi kontrak-kontrak pengusahaan
gas yang ada.
Sejalan dengan itu, adalah harus
segera mengupayakan secara kreatif untuk mendapatkan pendanaan, misalnya dengan
efisiensi anggaran belanja rutin di APBN, untuk mendanai pembangunan
infrastruktur gas, agar tak lagi hanya bergantung pada keinginan investor. Tak
mudah untuk melakukan itu, tetapi harus dilakukan jika tak ingin mengulang
kesalahan yang sama.
C.
Pemerintah Gagal Mengurus Gas untuk Rakyat
Banyak
daerah di Propinsi Jawa Barat telah terjadi kesulitan di masyarakat untuk
membeli gas LPG 3 kg, dikatakan pada setiap titik penjualan untuk konsumen
belum ada pasokan dari distributor gas LPG 3 kg dalam beberapa hari ini,
kelangkaan sudah berlangsung selama empat pekan yang lalu hingga kini pasokan
sangat berkurang sehingga harga gas 3 Kg dikonsumen saat ini kalaupun ada,
harga dikonsumen mencapai Rp. 16.000,- s/d Rp. 20.000,-/tabung. Untuk memenuhi gas kebutuhan rumah tangga,
banyak masyarakat mencari kedaerah-daerah lain yang jarak radiusnya 30 Km, akan
tetapi tetap juga sulit mendapatkan gas walaupun harga sudah sangat mahal.
D.
Gas Siap Salur Digudang Distributor
Seorang konsumen yang penulis temui,
mereka mengeluh katanya : “Bagaimana pemerintah saat ini, mereka selalu
berkinerja mempersulit masyarakat, hanya untuk mengurus gas saja pemerintah
sangat lamban tidak bersikap cepat dan tegas untuk mengatasi kesulitan gas LPG
di masyarakat, apakah mereka mampu mengurus negara dan rakyat ?”. Penulis
mensurvey pada beberapa distributor, dikatakan oleh mereka kami juga mengalami
kesulitan mendapatkan pasokan gas dari Pertamina kalau kami pesan empat tangki
truk, hanya dikirim Pertamina dua tangki saja. Pihak Pertamina (Sales
Representative Elpiji PT. Pertamina Rayon V Bandung) selalu mengatakan tidak
langka dan pasokan kepada pihak distributor besar tetap disuplai sejumlah
kuotanya baik yang bersubsidi 3 Kg maupun yang non-subsidi 12 Kg. Justru yang
terjadi gas 3 Kg bersubsidi selalu langka. Kemungkinan kuat adanya
penyalahgunaan pada distributor besar.
Ada apa sebenarnya yang terjadi pada
Pemerintah sehingga pasokan gas untuk masyarakat menjadi sangat berkurang ?
Apakah dengan cara seperti ini yaitu masyarakat dipersulit dahulu lalu kemudian
ada rencana pemerintah seolah-olah melangkakan Gas sebagai cara kotor nan busuk
dari birokrasi untuk argumentasi memperkuat alasan menaikkan harga Gas LPG
dikonsumen ? Dengan kelangkaan gas 3 Kg
saat ini harga dikonsumen sekitar Jawa Barat yang tadinya Rp. 12.500,- s/d Rp.
13.500,-/tabung sekarang berharga Rp. 16.000,- s/d Rp. 20.000,-/tabung.
Pemerintah beserta para penegak hukum seharusnya melakukan tindakan tegas agar
para manipulator gas ini menjadi jera untuk melakukan penimbunan gas sehingga
bisa menekan terulangnya kelangkaan gas ini.
Perpindahan penggunaan Minyak Tanah
kepada Gas yang dianjurkan pemerintah telah diikuti secara baik oleh seluruh
masyarakat Indonesia, yang diiringi dengan beraneka argumentasi pemerintah
untuk penghematan serta mengurangan subsidi. Lantas setelah masyarakat
melaksanakan anjuran pemerintah itu walaupun melalui kejadian pahit dan
menyedihkan banyaknya korban ledakan gas, malah pemerintah sendiri yang membuat
kesulitan untuk mendapatkan gas LPG dan hal konyol seperti ini telah
bekali-kali terjadi diberbagai daerah di Indonesia. Seringnya terjadi
kelangkaan gas LPG ini, sebenarnya Pemerintah mau-nya apa ? Sudahlah kinerja
pemerintah berasyik maksuk dengan maksiat dan korupsi ria, serta ada sejumlah
157 Kepala daerah yang terlibat korupsi, lalu rakyat dibeberapa daerah
terabaikan kebutuhan energinya. Belum lagi biaya kebutuhan hidup rakyat
sehari-hari sudah sangat berat, apakah ini sebagai undangan untuk percepatan
memunculkan revolusi rakyat serta Pengadilan Rakyat ?
Kelangkaan gas LPG 3 Kg ini, tidak
hanya terjadi di Wilayah Propinsi Jawa Barat saja, akan tetapi terjadi juga di
Propinsi Sumatra Barat dan kemungkinan kuat pada daerah lainnya yang jauh dari
kota besar kelangkaan sudah lama terjadi. Inikah kinerja yang bisa ditampilkan
oleh KIB II dibawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta para
Menteri para Kepala Daerah lainnya ?
E.
Manajemen Gas Nasional Yang Gagal Total setahun Rugi
Rp. 183 T.
Ekspor Gas yang dilakukan Indonesia
selama bertahun-tahun ini, tidak pernah mendatangkan devisa bagi kas Negara
bahkan ekspor Gas terutama ke China dan negara lainnya mengalami kerugian yang
sangat besar dan spektakuler senilai Rp. 183 Triliun per tahun. Angka sebesar
itu sudah bisa membuat beraneka infrasruktur yang dapat dibangun untuk
kemudahan serta peningkatan kesejahteraan rakyat. Kerugian yang cukup besar
ini, disampaikan oleh Anggota Komite Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan
Gas (BPH-Migas) Qoyum Tjandranegara. Dia membeberkan pada tahun 2011 produksi
gas bumi kita sebesar 8.430 mmscfd (million standard cubic feet per day) yang
setara dengan BBM sebesar 1,5 juta barel/hari. Dalam jumlah tersebut sebanyak
53% gas telah diekspor yang setara dengan BBM sebanyak 795.000 barel/hari. Lalu
harga gas bumi 55% harga 1 liter BBM. Atas dasar angka ini, dalam setahun
negara Indonesia kehilangan devisa sebesar 795.000 barel x 365 hari x 45%
(harga 1 ltr BBM) x 1,4 x US$ 108/barel x Rp. 9.250/US$ = Rp. 183 Triliun.