Pages

Friday, October 23, 2015

Makalah Analisi Pembentukan Akromin Dalam Bahasa Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
     Dalam kehidupan kita sehari-hari kita tentu akrab dengan media cetak seperti surat kabar, majalah, dan tabloid, semuanya pasti menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar berita. Tapi, tak semua penggunaan kata di media cetak tersebut sesuai dengan ejaan yang berlaku yaitu EYD.
Kesalahan tersebut dapat berupa ketidak sesuaian pada penggunaan kata, tanda baca, maupun singkatan dan akronim. Dalam penyampaian informasi tentunya penggunaan ejaan yang baik sangat dibutuhkan karena dengan adanya penggunaan ejaan yang baik kita dapat dengan mudah memahami informasi yang di sampaikan.
Dalam makalah ini akan dibahas berbagai penggunaan singkatan dan akronim dari beberapa berita dari salah satu media cetak yang terbit setiap hari di Lampung.
1. 2 Rumusan Masalah
adapun rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:
1.      Apakah  Pengertian Dari Singkatan Dan Akronim itu?
2.      Bagaimana penggunaan singkatan dan akronim dalam artikel media cetak yang diamati?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Mahasiswa dapat mengetahui apa yang di maksud dengan sinkatan dan akronim
2.      Mahasiswa dapat mengaplikasikan tentang pengguanaan singkatan dan akronim lewat beberapa contoh yang diberikan yang diambil dari artikel salah satu media cetak
BAB II
PEMBAHASAN
2.1  PEMBENTUKAN AKRONIM BAHASA INDONSIA
            Pemendekan adalah proses penanggalan bagian-bagian leksem atau gabungan leksem sehingga menjadi sebuah bentuk singkat, tetapi maknanya tetap sama dengan makna bentuk utuhnya. Perkembangan bentuk pemendekan dalam bahasa Indonesia terlihat dalam kegiatan berkomunikasi sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat penuturnya, terutama dalam media massa. Bentuk-bentuk pemendekan tersebut dapat ditemukan dalam surat kabar, tabloid, majalah, siaran berita radio, dan televisi. 
          Akronim adalah kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar (misal mayjen mayor jenderal, rudal peluru kendali, dan sidak inspeksi mendadak) (Depdiknas, 2005:21). Sedangkan, singkatan adalah hasil menyingkat (memendekkan), berupa huruf atau gabungan huruf (misal DPR, KKN, yth., dsb., dan hlm.); kependekan; ringkasan (Depdiknas, 2005: 1071). Bentuk pemendekan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah bentuk akronim.
Akronim memiliki kombinasi konsonan dan vokal yang terpadu dan serasi, sehingga memungkinkan akronim diperlakukan sebagai kata yang wajar, minimal pada pengucapannya. Maka dari itu, dalam pembentukan akronim diharapkan sesuai dengan kaidah fonotaktik bahasa yang bersangkutan. Lebih jelasnya bahwa pembentukan akronim bahasa Indonesia hendaknya serasi dengan kaidah fonotaktik bahasa Indonesia. 
            Kaidah fonotaktik merupakan kaidah-kaidah yang mengatur urutan atau hubungan antara fonem-fonem suatu bahasa. Fonotaktik mempunyai pola yang terkait dengan pola penyukuan kata dan pergeseran bunyi menimbulkan variasi bunyi satu fonem yang sama .
Perkembangan akronim bahasa Indonesia dalam berita utama setiap surat kabar memungkinkan munculnya berbagai bentuk akronim. Akronim yang muncul sangat tergantung dari tema yang dibahas dalam berita utama surat kabar tersebut. 
Kemunculan akronim sangat dipengaruhi oleh kbutuhan penyingkatan dan penghematan. Akronim yang muncul terkadang tidak memperhatikan bentuk. Akronim-akronim itu banyak yang kurang memperhatikan kaidah morfologi, dalam hal ini leksem, sebagai bentuk dasar pembentuk akronim. Yang diperhatikan hanya enak dan tidaknya bunyi akronim yang dihasilkan.
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan, peneliti tertarik untuk mengkaji bentuk-bentuk akronim bahasa Indonesia dalam Berita Utama Harian Umum Kompas.
Penelitian ini dibatasi pada bentuk-bentuk akronim bahasa Indonesia pada berita utama surat kabar Kompas edisi 21 s.d 25 Januari 2011. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, bagaimana bentuk-bentuk akronim bahasa Indonesia dalam berita utama surat kabar
1.2 Kependekan dan Akronim
         Akronim menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar, misalnya mayjen mayor jenderal, rudal peluru kendali, dan sidak inspeksi mendadak.
1. Kependekan 
          Sebelum kita berbicara jauh tentang akronim, sebaiknya tidak melupakan “induknya” yaitu kependekan. Untuk istilah ini berbagai pendapat diungkapkan. Nugroho Notosusanto (1979 : 3 – 4), J.S. Badudu (1983 : 87), dan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam dua bukunya Pedoman Umum Pembentukan Istilah dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan menyebutnya singkatan. Sedangkan Harimurti Kridalaksana dalam tiga bukunya (1988 : 56), (1992 : 162), dan (1993 : 1 dan 105) menyebutnya sebagai kependekan. Dengan demikian, ada dua istilah yaitu singkatan dan kependekan.
           Kependekan dan singkatan adalah hasil dari proses bahasa, dan prosesnya adalah pemendekan dan penyingkatan. Untuk menyeragamkan persepsi, penulis akan memilih istilah kependekan untuk penaman hasil proses bahasa dan pemendekaan untuk penamaan hasil proses bahasa dan pemendekaan untuk prosesnya. 
Kependekaan adalah hasil pemedekan dan pemendekan adalah pemendekan bentuk sebagai pengganti bentuk yang lengkap atau proses bahasa berupa penggantian bentuk, baik kata atau frase dengan cara penanggalan satu atau beberapa bagian komponen sehingga menjadi bentuk baru.
            Alasan pengambilan istilah ini, supaya tidak tumpang tindih antara kependekan sebagai “Induknya” dan singkatan sebagai bagian dari kependekan. Sebab beberapa pendapat yang menggunakan istilah singkatan ada ketumpangtidihan antara singkatan sebagai bagian terbesar dan singkatan sebagai bagian dari singkatan.
Penulis juga menggunakan istilah proses bahasa dan bukan proses morfologis. Hal ini disebabkan komponen input dalam proses bahasa bukan leksem tetapi kata, sedangkan dalam proses morfologis inputnya adalah leksem dan outputnya adalah kata.
Proses bahasa adalah alat, bahan, dan prosedur yang dipakai manusia untuk menghasilkan dan memahami bahasa (Harimurti Kridalaksana , 1993 : 180).
Sebagai contoh perbedaan input dan output proses morfologis dan proses bahasa yang dimaksudkan adalah sebagai berikut. 
1) Proses Morfologis 
Leksem makan mengalami proses morfologis berubah menjadi berbagai kata. 
 Makanan 
Memakan 
Dimakan 
Makan afiksasi Makankan
Dimakankan 
Termakan 
Pemakan 
Makannya 
Makan-makan 
Makan reduplikasi Makanan – makanan 
Makan – memakan 
makan derivasi Makan Makan hati
Makan komposisi Makan angin 

Kalau digambarkan dengan bagan akan tampak sebagai berikut. 
Input
Leksem
2) Proses bahasa dalam pemendekan 
a) Kata penelitian dan kata khusus menjadi akronim litsus.
b) Kata angkatan, bersenjata, republik, dan kata Indonesia menjadi singkatan/akronim ABRI.
c) Kata anggaran, pendapatan, belanja,dan kata negara menjadi singkatan APBN 
d) Kata garis-garis, besar, haluan, dan kata negara menjadi singkatan GBHN
Kalau kita perhatikan komponen-komponen pembentuknya seperti, penelitian, angkatan, bersenjata, republik, anggaran, pendapatan, dan garis-garis, ternyata bukan leksem tetapi kata, begitu juga dengan komponen lainnya. Kata-kata tersebut dapat dikembalikan pada bentuk leksemnya atau morfem bebas dan morfem terkaitnya sebagai berikut:
1) Penelitian leksem teliti + afiks pe - an ;
2) Angkatan leksem angkat + afiks – an ;
3) Bersenjata leksem senjata + afiks ber - ;
4) Republic leksem publik + afiks re - ;
5) Pendapatan leksem anggar + afiks – an;
6) Garis-garis leksem garis reduplikasi.
Perbedaan di atas, antara proses morfologis dan proses bahasa, dapat menunjukkan adanya perbedaan antara leksem dan kata. Selain itu kedua proses di atas akan memberikan hasil/output yang berbeda. Pada proses morfologis hasilnya/outputnya adalah kata atau disebut juga kata jadian. Sedangkan pada proses bahasa hasilnya/outputnya adalah bentuk bahasa atau bentuk bahasa baru. Artinya dalam pemendekan hasilnya adalah kependekan, bukan kata.

2.3 Akronim dan Permasalahannya 
a. Pengertian 
Pengertian akronim yang sudah diungkapkan di atas perlu mendapat penjelasan lebih jauh. Setidaknya ada tiga hal yang perlu dijelaskan. Pertama, unsur pembentuknya yang terdiri dari huruf, suku kata, dan bagian lainnya atau bunyi, suku kata, dan kombinasi keduanya. Versi pertama (huruf, suku kata, dan bagian lainnya) dikemuakan oleh Harimurti Kridalaksna dan versi kedua adalah versi penulis (bunyi, suku kata dan kombinasi keduanya).
Kedua adalah hasilnya yang ditulis dan diucapkan seolah-olah berstatus kata. Maksud pernyataan ini adalah hasil pengakroniman itu bener-bener bukan kata tapi bentuk bahasa baru dalam hal ini akronim. Tetapi dalam penulisannya dan pengucapannya seolah-olah kata, artinya tidak dituliskan terpisah atau memakai jarak atau tanda pisah ( - ). Hanya memang terdapat penyimpangan dari kaidah Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan seperti cara penulisan meggunakan huruf kapital seperti ABRI, IKIP, AMPI, dan LAN. Penulisan abri, Abri, A-B-R-I adalah penulisan yang salah. Penulisan SESKOAD, Ses-ko-ad, se s ko ad adalah penulisan yang salah, yang benar adalah seskoad.
Ketiga adalah istilah proses bahasa. Proses bahasa yang telah diungkapkan adalah tinjauan dari input dan output. Inputnya bukan leksem tapi kata dan outputnya bukan kata tapi akronim.
b. Bunyi dan Suku Kata sebagai Pembentuk Akronim 
Seperti yang telah diungkapkan di atas ada dua versi pendapat tentang unsur pembentuk akronim. Versi pertama dapat dilihat pada buku Pembentukan Kata Bahsa Indonesia (Harimurti Kridalaksana, 1992 : 162). Sedangkan versi kedua akan sedikit dijelaskan di bawah ini. 
Bunyi atau bunyi bahasa adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap/artikulasi manusia (Harimurti Kridalaksana, 1992 : 33). Mengapa bunyi sebagai pembentuk akronim? Pertanyaan ini perlu mendapat penjelasan yang dikaitkan dengan komponen pembentuk akronim dalam proses pengakroniman. Pemilihan ini tidak semata-mata pemilihan huruf tapi pemilihan bunyi yang berhubungan dengan sedap bunyi/euphony. Seperti akronim peltu (pembantu letnan satu), pemilihan bunyi /1/ dan suku kata tu cenderung hanya memperhatikan segi euphony. Sebab kalau petu atau pelsa atau pelesa rasanya tidak sedap di telinga. Atau akronim depdagri (Departemen dalam negeri) pemilihan komponen dep untuk kata departemen dan komponen gri untuk kata negeri cenderung karena euphony. Sebab kalau berdasarkan keberaturan Depdagri harusnya depdaneg, depdane atau dedane, tapi ketiga bentuk ini tidak sedap didengar.
Suku kata adalah struktur yang terdiri dari satu atau lebih urutan fonem yang merupakan bagian penting dari kata (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1994 : 970). Suku kata merupakan komponen yang paling produktif dalam pembentukan akronim. Tetapi banyak yang bergabung dalam bunyi lain atau kombinasi antara bunyi dengan suku kata. 
Kombinasi keduanya maksudnya adalah kombinasi atau gabungan antara bunyi dengan suku kata. Kombinasi ini bisa berdekatan atau tiak. Contoh depdikbud (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ) terdiri dari dep merupakan kombinasi suku kata de dengan bunyi [p] dik merupakan kombinasi suku kata di dengan bunyi [k]. Akronim Depdikbud adalah kombinasi yang berdekatan. Tapi ada pula kombinasi yang tidak berdekatan/berurutan seperti akronim jubir (juru bicara). Komponen bir dari kata bicara diambil dari suku kata pertama dan bunyi pertama suku akhir. Kombinasi juga bisa terjadi antara bunyi dengan bunyi. Contoh ini tampak pada akronim seperti Kapolwil (Kepala Polisi Wilayah) dan Kades (Kepala Desa). Komponen ka diambil dari kata kepala yang seharusnya ke. Dalam hal ini terjadi kombinasi bunyi awal dan akhir.
c. Pola / Sistem Pengakroniman 
Akronim yang diciptakan untuk “mempersingkat “, memang banyak yang menuding tidak memiliki pola yang teratur dalam pembentukannya. Meskipun demikian bebrapa ahli bahasa mengemukakan beberapa pendapat berkenaan dengan pola pengakroniman. Sebut saja Harimurti Kridalaskana, Lukman Ali, Nugroho Notosusanto, J.S. Badudu, dan ahli lainnya. Tetapi pendapat mereka juga tidak akan dibahas di sini. Yang akan dibahas adalah bagaimana proses sebuah kelompok kata menjadi akronim dan hubungannya dengan referensi kata dan kaajegan, yang tentu saja tidak akan lepas dari euphony.

Akronim yang muncul bermula dari terasa panjangnya sebuah kelompok kata yang sebenarnya hanya memiliki satu referen. Sehingga pemakai bahasa berusaha untuk membuat satu bentuk bahasa untuk satu referen. Mungkin kita akan merasa sedap dan praktis membaca wacana di bawah ini.
“Pemda Jabar dan Tibum mengadakan gerakan Jumsih dengan melakukan opsih agar Bandung berhiber”.
Tetapi kalau wacana di atas tampil asli rasanya membosankan dan bertele-tele.
“Pemerintah Daerah Jawa Barat dan Tim Ketertiban Umum mengadakan gerakan Jumat bersih dengan melakukan Operasi bersih agar Bandung bersih hijau berbunga”.
Dalam wacana di atas kita menemukan akronim Pemda, Jabar, tibum, jumsih, opsih, dan berhiber. Akronim-akronim itu dibentuk tidak seragam dan tidak memiliki pola yang sama. 
Selain kurang memperhatikan pola pengakroniman pembentukan akronim pun kurang memperhatikan keajegan. Keajegan di sini maksudnya adalah persamaan pemendekan untuk komponen-komponen yang sama. Contohnya komponen olah raga. Komponen olah raga bila dijadikan akronim ada yang berubah menjadi or ada juga yang menjadi ora. Contoh yang menjadi or adalah pada akronim orkes ( olah raga dan kesehatan), GOR (gedung olah raga), dan Porseni ( Pekan olah raga dan seni).
Sementara itu yang menjadi ora tampak pada akronim Gelora (gelanggang olah raga), Menpora ( Menteri Pemuda an Olah raga). 
Ketidakajegan ini pada gilirannya menimbulkan kebingungan bagi para pemakai akronim. Seperti kepsek atau kasek (kepala sekolah), wakasek atau wakepsek (wakil ekpala sekolah). Permasalahan pola pengakroniman seperti ini barangkali diakibatkan tidak adanya pola/system pengakroniman yang sudah dibakukan.
Berbicara tentang ketidakajegan juga berhubungan dengan sama-tidaknya pengambilan komponen dari kata pembentuk akronim. Sebagai contoh akronim Kapolwil merupakan akronim yang tidak ajeg/seragam dalam pembentukan akronim itu sendiri. Ketidakajegan ini tampak pada tiga komponen pembentuk akronim yang berbeda. Perbedaannya yaitu antara komponen pertama dengan komponen yang lainnya. Komponen pertama terbentuk dari bunyi awal [k] dan bunyi akhir [a], sedangkan komponen selanjutnya terbentuk dari suku pertama dan bunyi pertama suku kedua. Akronim di atas menunjukkan ketidakajegan dalam pembentukannya atau tidak memiliki pola yang teratur / tidak seragam.
Bahasa Indonesia juga mengenal akronim polwil yang menurut pola pembentukannya memiliki keteraturan. Selain itu akronim Depdikbud memiliki keteraturan pola yaitu suku pertama dan bunyi pertama suku kedua.
C. Pembahasan
Pada bagian ini akan diuraikan akronim yang muncul pada berita utama HU Kompas yang berkenaan dengan jumlah kemunculannya, kepanjangannya, dan pola pembentukannya.

1. Akronim dan Kepanjangannya (terlampir)
2. Pola Pembentukan
Berdasarkan data akronim yang muncul ada 34 buah. Di bawah ini adalah pola pembentukannya.
NO AKRONIM KEPANJANGAN JML KT POLA KET
Polri Polisi Republik Indonesia 3 Komponen pertama tiga bunya pertama, komponen 2 da 3 bunyi pertama TT
2 SAT Surya Alam Tunggal 3 Bunyi pertama T
3 Litbang Penelitian dan pengembangan 3 Komponen pertama tiga bunyi di tengah, komponen 2 lesap, komponen 3 suku terakhir kata dasar Tt
4 Satgas Satuan tugas 2 1. tiga bunyi pertama, 2. suku kata terakhir Tt
5 Wapres Wakil presiden 2 1. suku kata pertama, 2. tiga bunyi pertama (kluster) Tt
6 kemendagri Kementrian dalam negeri 3 1. dua suku kata pertama, 2. Suku kata pertama, 3. Bunyi ketiga dan suku kata terakhir Tt
7 Pilkada Pemilihan kepala daerah 3 1. bunyi pertama, kelima, dan keenam, 2. Bunyi pertama dan keempat, 3. Suku kata pertama Tt
NO AKRONIM KEPANJANGAN JML KT POLA KET
8 Sumut Sumatra Utara 2 1. tiga bunyi pertama, 2. Dua bunyi pertama Tt
9 Sumbar Sumatra Barat 2 1. tiga bunyi pertama, 2. tiga bunyi pertama St
10 Kepri Kepulauan Riau 2 1. tiga bunyi pertama, 2. Suku kata pertama Tt
11 Kalbar Kalimantan Barat 2 1. tiga bunyi pertama, 2. tiga bunyi pertama St
12 Kalteng Kalimantan Tengah 2 1. tiga bunyi pertama, 2. tiga bunyi pertama St
13 Kalsel Kalimantan Selatan 2 1. tiga bunyi pertama, 2. tiga bunyi pertama St
14 Kaltim Kalimantan Timur 2 1. tiga bunyi pertama, 2. tiga bunyi pertama St
15 Sulteng Sulawesi Tenggara 2 1. tiga bunyi pertama, 2. Suku kata pertama Tt
16 Sulbar Sulawesi Barat 2 1. tiga bunyi pertama, 2. tiga bunyi pertama St
17 Sulsel Sulawesi Selatan 2 1. tiga bunyi pertama, 2. tiga bunyi pertama St
18 Sultra Sulawesi Tenggara 2 1. tiga bunyi pertama, 2. Bunyi pertama dan suku kata terakhir Tt
19 Sulut Sulawesi Utara 2 1. tiga bunyi pertama, 2. Dua bunyi pertama Tt
20 Jabar Jawa Barat 2 1. suku kata pertama, 2. tiga bunyi pertama Tt
21 Jateng Jawa Tengah 2 1. suku kata pertama, 2. tiga bunyi pertama Tt
22 Jatim Jawa Timur 2 1. suku kata pertama, 2. tiga bunyi pertama
Tt
NO AKRONIM KEPANJANGAN JML KT POLA KET
23 Inpres Instruksi presiden 2 1. suku kata pertama, 2. tiga bunyi pertama (kluster) Tt
24 Brigjen Brigadir jendral 2 1. tiga bunyi pertama (kluster), 1. suku kata pertama Tt
25 kapolda Kepala polisi daerah 3 1. bunyi pertama dan keempat, 2. tiga bunyi pertama, 3. Suku kata pertama Tt
26 bareskrim Badan reserse dan kriminal 4 1. suku kata pertama, 2. tiga bunyi pertama, 3. Lesap, 4. tiga bunyi pertama (kluster) Tt
27 HAM Hak Asazi Manusia 3 1,2,3 bunyi pertama T
28 Ditjen Direktorat jendral 2 1. suku kata pertama dan bunyi terakhir, 2. Suku kata pertama Tt
29 pascainpres Pasca instruksi presiden 3 1. utuh (tidak madiri), 2. suku kata pertama, 3. tiga bunyi pertama (kluster) Tt
30 Bandara Bandar udara 2 1. utuh, luluh /r/, 2. Suku kata terakhir Tt
31 Dirjen Direktur jendral 2 1. tiga bunyi pertama, 2. suku kata pertama Tt
32 Brimob Brigade mobil 2 1. suku kata pertama, 2. Tiga bunyi pertama Tt
33 Golkar Golongan karya 2 1. tiga bunyi pertama, 2. suku kata pertama Tt
34 Rapim Rapat pimpinan 2 1. suku kata pertama, 2. suku kata pertama T

T = teratur
St = semi teratur
Tt = tidak teratur

Berdasarkan tabel di atas, pola pembentukan akronim sangat beragam. Antara akronim satu dengan yang lain memiliki pola yang berbeda. Namun kalau kita kelompokan berdasarkan unsur pembentuknya yaitu bunyi/bunyi bahasa dan suku kata, pola pembentukan akronim dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok yaitu sebagai berikut.
1. Teratur
Pola pembentukan akronim yang teratur apabila dibentuk oleh unsur pembentuk yang seragam setiap komponennya. Selain itu unsur pembentuknya berupa komponen kebahasaan yang memiliki unsur morfologi.
2. Semi Teratur
Pola pembentukan akronim yang semi teratur apabila dibentuk oleh unsur pambentuk yang seragam setiap komponennya. Tetapi unsur pembentuknya bukan komponen kebahsaan yang memiliki unsur morfologi.
3. Tidak Teratur
Pola pembentukan akronim yang tidak teraur apabila pola pemebtukan akronim tersebut tidak memiliki keseragaman.
Dari 34 akronim yang muncul ternyata ada 3 yang teratur, 7 yang semi teratur, dan 24 yang tidak teratur. Yang teratur berupa bunyi pertama sebanyak dua buah dan suku kata pertama dua buah. Sedangkan yang semi teratur semuanya berupa tiga bunyi pertama.
Kalau dibandingkan jumlah jumlah akronim yang polanya teratur hanya 9%. Sedangkan yang semi teratur ada 20.5%. Sementara jumlah akronim yang polanya tidak teratus ada 70.5%. Hal ini menunjukkan bahwa pola pembentukan akronim tidak terlalu memperhatikan aturan kebahasaan. Pemebentukan akronim lebih memperhatikan euphony saja. Namun seperti apapun bentuknya, akronim tetap merupakan bagian dari khasanah bahasa Indonesia.






BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
·         Singkatan ialah bentuk yang dipendekkan yang terdiri atas satu huruf atau lebih. Sedangkan akronim, ialah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata.
·         Akronim atau singkatan yang terdiri dari dua atau tiga huruf disarankan sebaiknya tidak dijadikan judul artikel, kecuali untuk kasus-kasus istimewa, karena akronim dan singkatan yang terdiri dari dua atau tiga huruf dapat memiliki kepanjangan lebih dari satu dalam bahasa-bahasa yang berbeda
·         Untuk pembentukan akronim, hendaknya memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut.Jumlah suku kata akronim jangan melebihi jumlah suku kata yang lazim pada kata Indonesia.Akronim dibentuk dengn mengindahkan keserasian kombinasi vocal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim.
·         Pada artikel yang dibahas penggunaan dari singkatan dan akronim telah sesuai dengan kaidah Ejaan Yang Disempurnakan atau EYD.

2.      Saran
Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada saran dan kritik yang ingin di sampaikan, silahkan sampaikan kepada kami.
Apabila ada terdapat kesalahan mohon dapat mema'afkan dan memakluminya, karena kami adalah hamba Allah yang tak luput dari salah khilaf, Alfa dan lupa.
Wabillah Taufik Walhidayah
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

DAFTAR PUSTAKA


Alisyahbana, Sutan Takdir. 1978. Tatabahasa Baru Bahasa Indonsia II. Dian Rakyat: Jakarta.
Badudu, J.S.. 1983. Membina Bahasa Indonesia Baku. Pustaka Prima Bandung.
Departemen Pendidikan Nasional. 1992. Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta.
http://nusantaralink.blogspot.com / 2011/01/ lingustika-tanyajawab-kebahasaan.html
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
Kridalaksana, Harimurti. 1988. Beberapa Prinsip Perubahan Leksem Bahasa Indonesia. Kanisius: Yogyakarta.
Kridalaksana, Harimurti. 1992. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Notosusanto, Nugroho. 1979. Masalah Akronim dan Singkatan dalam Perkembangan Bahasa Indonesia (dalam majalah Bahasa dan sastra). Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan : Jakarta. 

 kalau mau download versi dokumennya disini aja ea jangan kemana-mana.