Sunday, August 16, 2015

12:29:00 PM
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah berkat pertolongan Allah SWT saya penulis dapat menyajikan makalah yang berjudul “Proses Perlindungan & Penegakan  Hukum Di Indonesia”.  Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa makalah ini masih sangat masih sangat jauh dari sempurna,baik isi,susunan kalimat,maupun sistematika urna, baik isi,susunan kalimat maupun sistematika pembahasannya.Untuk itu teguran,saran,dan nasihat para pembaca serta dosen annya. Untuk itu teguran, saran dan nasihat para pembaca serta dosen pengampu senantiasa saya harapkan demi kesempurnaan makalah saya ini.Tiada  kesempurnaan makalah saya ini.Tiadakesempurnaan makalah saya ini.Tiadaa saya harapkan demi kesempurnaan makalah saya ini.Tiada gading yang tak retak,kata pepatah.Namun upaya mencari gading yang tidak retak setidaknya telah saya usahakan. Akhirnya segala kesalahan dan kekurangan adalah tanggung jawab saya sebagai penulis,namun apabila terdapat kebenaran dalam makalah ini semata, apabila terdapat kebenaran dalam Makalah inisematakarena hanya ridho,tuntunan,dan petunjuk dari Allah sang maha pencipta.
Medan, 29 Jnauari 2015

                                                                                                                      Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
 DAFTAR ISI 
BAB 1  PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
1.2   Rumusan Masalah
BAB 11 PEMBAHASAN
2.1    Pengertian Penegakan Hukum
2.2    Pengertian Aparatur Penegak Hukum
2.3    Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum
2.4    Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia
2.5   Pemberdayaan Masyarakat dan Penegakan Hukum
 BAB III  PENUTUP
3.1    Kesimpulan

BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang Masalah
Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial lainnya.
Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, pembunuhan, pemusnahan kelompok etnis tertentu, pembakaran sarana pendidikan dan tempat ibadah, dan teror bom yang semakin berkembang. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa. Bahkan pada beberapa kesempatan yang lalu, Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus pelanggaran HAM berat Timtim telah membebaskan sebagian terbesar para Jendaral Angkatan Darat dari segala tuntutan hukum.
Padahal secara jelas dan tegas untuk melaksanakan amanat Undang-undang Dasar 1945, Majelis Permusyarwaratan Rakyat melalui Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, telah menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Telah terbentuk juga Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang diikuti dengan pengukuhan melalui Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 
1.2              Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, agar dalam penulisan ini penulis mendapatkan hasil yang diinginkan, maka penulis mengemukakan beberapa perumusan masalah. Rumusan masalah itu adalah :
Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Apakah penegakan hukum itu?
2.    Apakah itu aparatur penegak hukum?
3.    Apakah Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum?
4.    Apakah  Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia?
5.    Bagaimana Pemberdayaan Masyarakat dan Penegakan Hukum?


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Penegakan Hukum
            Penegakan  hukum  adalah  proses  dilakukannya  upaya  untuk  tegaknya  atau berfungsinya  norma-norma  hukum  secara  nyata  sebagai  pedoman  perilaku  dalam  lalu lintas  atau  hubungan-hubungan  hukum  dalam  kehidupan  bermasyarakat  dan  bernegara.
Ditinjau dari  sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek  yang luas  dan  dapat  pula  diartikan  sebagai  upaya  penegakan  hukum  oleh  subjek  dalam  arti yang  terbatas  atau  sempit.  Dalam  arti  luas,  proses  penegakan  hukum  itu  melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan
hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai  upaya  aparatur  penegakan  hukum  tertentu  untuk  menjamin  dan  memastikan bahwa  suatu  aturan  hukum  berjalan  sebagaimana  seharusnya.  Dalam  memastikan tegaknya  hukum  itu,  apabila  diperlukan,  aparatur  penegak  hukum  itu  diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
            Pengertian  penegakan  hukum  itu  dapat pula  ditinjau  dari  sudut  objeknya,  yaitudari segi hukumnya.  Dalam  hal ini, pengertiannya juga mencakup  makna  yang luas dan sempit.  Dalam  arti  luas,  penegakan  hukum  itu  mencakup pula  nilai-nilai  keadilan  yang terkandung  di  dalamnya  bunyi  aturan  formal  maupun  nilai-nilai  keadilan  yang  hidup dalam  masyarakat.  Tetapi,  dalam  arti  sempit,  penegakan  hukum  itu  hanya  menyangkut penegakan  peraturan  yang  formal  dan  tertulis  saja.  Karena  itu,  penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’  dalam  arti  luas  dan  dapat  pula  digunakan  istilah  ‘penegakan  peraturan’  dalam
arti  sempit.  Pembedaan  antara  formalitas  aturan  hukum  yang  tertulis  dengan  cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan  juga timbul dalam  bahasa Inggeris  sendiri dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’  yang berarti ‘the rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum,  tetapi  bukan  dalam  artinya  yang  formal,  melainkan  mencakup  pula  nilai-nilai
keadilan  yang  terkandung  di  dalamnya.  Karena  itu,  digunakan  istilah  ‘the  rule  of  just law’.  Dalam  istilah  ‘the  rule  of  law  and  not  of  man’  dimaksudkan  untuk  menegaskan bahwa  pada  hakikatnya  pemerintahan  suatu  negara  hukum  modern  itu  dilakukan  oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai  pemerintahan  oleh  orang  yang  menggunakan  hukum  sekedar  sebagai  alat kekuasaan belaka.
             Dengan uraian di atas  jelaslah kiranya  bahwa  yang  dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam  arti  formil  yang  sempit  maupun  dalam  arti  materiel  yang  luas,  sebagai  pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh  aparatur  penegakan hukum  yang  resmi  diberi  tugas  dan  kewenangan oleh undang-undang untuk  menjamin berfungsinya  norma-norma hukum  yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang  penegakan hukum dapat  kita  tentukan  sendiri batas-batasnya.  Apakah  kita  akan membahas  keseluruhan  aspek  dan  dimensi  penegakan  hukum  itu,  baik  dari  segi subjeknya  maupun  objeknya  atau  kita  batasi  hanya  membahas  hal-hal  tertentu  saja, misalnya,  hanya  menelaah  aspek-aspek  subjektifnya  saja.  Makalah  ini  memang  sengaja dibuat  untuk  memberikan  gambaran  saja  mengenai  keseluruhan  aspek  yang  terkait dengan tema penegakan hukum itu.

PENEGAKAN HUKUM OBJEKTIF
             Seperti  disebut di  muka,  secara  objektif,  norma  hukum  yang hendak  ditegakkan mencakup  pengertian  hukum  formal  dan  hukum  materiel.  Hukum  formal  hanya bersangkutan  dengan  peraturan  perundang-undangan  yang  tertulis,  sedangkan  hukum materiel  mencakup  pula  pengertian  nilai-nilai  keadilan  yang  hidup  dalam  masyarakat. Dalam  bahasa  yang  tersendiri,  kadang-kadang  orang  membedakan  antara  pengertian penegakan  hukum  dan  penegakan  keadilan.  Penegakan  hukum  dapat  dikaitkan  dengan pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti
luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa  Inggeris juga terkadang dibedakan  antara konsepsi  ‘court of  law’  dalam arti  pengadilan hukum  dan  ‘court  of  justice’  atau  pengadilan  keadilan.  Bahkan,  dengan  semangat  yang  sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah ‘Supreme Court of Justice’.
            Istilah-istilah  itu  dimaksudkan  untuk  menegaskan  bahwa  hukum  yang  harus ditegakkan  itu  pada  intinya  bukanlah  norma  aturan  itu  sendiri,  melainkan  nilai-nilai keadilan  yang  terkandung  di  dalamnya.  Memang  ada  doktrin  yang  membedakan  antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara  perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan  kebenaran  formil  belaka,  sedangkan dalam  perkara  pidana  barulah  hakim  diwajibkan  mencari  dan  menemukan  kebenaran
materiel  yang  menyangkut  nilai-nilai  keadilan  yang  harus  diwujudkan  dalam  peradilan pidana.  Namun  demikian,  hakikat  tugas  hakim  itu  sendiri  memang  seharusnya  mencari dan  menemukan  kebenaran  materiel  untuk  mewujudkan  keadilan  materiel.  Kewajiban demikian  berlaku,  baik  dalam  bidang  pidana  maupun  di  lapangan  hukum  perdata. 
Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi penegakan keadilan itu sendiri,  sehingga  istilah  penegakan hukum dan  penegakan  keadilan  merupakan dua  sisi dari mata uang yang sama.
  Setiap  norma  hukum  sudah  dengan  sendirinya  mengandung  ketentuan  tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum dalam lalu  lintas hukum. Norma-norma  hukum  yang  bersifat  dasar,  tentulah  berisi  rumusan  hak-hak  dan  kewajiban-kewajiban  yang  juga  dasar  dan  mendasar.  Karena  itu,  secara  akademis,  sebenarnya, persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya  terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara paralel dan bersilang. Karena itu,  secara  akademis,  hak  asasi  manusia  mestinya  diimbangi  dengan  kewajiban  asasi   manusia.  Akan  tetapi,  dalam  perkembangan  sejarah,  issue  hak  asasi  manusia  itu  sendiri  terkait  erat  dengan  persoalan  ketidakadilan  yang  timbul  dalam  kaitannya  dengan  persoalan  kekuasaan.  Dalam  sejarah, kekuasaan  yang  diorganisasikan  ke  dalam  dan  melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan. Karena  itu, sejarah umat  manusia  mewariskan  gagasan  perlindungan dan  penghormatan terhadap  hak-hak  asasi  manusia.  Gagasan  perlindungan  dan  penghormatan  hak  asasi manusia  ini  bahkan  diadopsikan  ke  dalam  pemikiran  mengenai  pembatasan  kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstitusionalime inilah yang memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam  sejarah,  sehingga  perlindungan  konstitusional  terhadap  hak  asasi  manusia  dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische  rechtsstaat)  ataupun  negara  demokrasi  yang  berdasar  atas  hukum
(constitutional democracy).
             Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan persoalan  penegakan  hukum  dan  keadilan  itu  sendiri.  Karena  itu,  sebenarnya,  tidaklah terlalu  tepat  untuk  mengembangkan  istilah  penegakan  hak  asasi  manusia  secara tersendiri.  Lagi  pula,  apakah  hak  asasi  manusia  dapat  ditegakkan?  Bukankah  yang ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak asasinya itu sendiri? Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang sudah  salah  kaprah.  Kita  sudah  terbiasa  menggunakan  istilah  penegakan  ‘hak  asasi
manusia’. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak-hak asasi manusia dan kesadaran  untuk  menghormati  hak-hak  asasi  orang  lain  di  kalangan  masyarakat  kitapun  memang belum berkembang secara sehat.

2.2  Aparatur Penegak Hukum
            Aparatur  penegak  hukum  mencakup  pengertian  mengenai  institusi  penegak hukum  dan  aparat  (orangnya)  penegak  hukum.  Dalam  arti  sempit,  aparatur  penegak hukum  yang  terlibat  dalam  proses  tegaknya  hukum  itu,  dimulai  dari  saksi,  polisi, penasehat  hukum,  jaksa,  hakim,  dan  petugas  sipir  pemasyarakatan.  Setiap  aparat  dan aparatur  terkait  mencakup  pula  pihak-pihak  yang  bersangkutan  dengan  tugas  atau perannya  yaitu  terkait  dengan  kegiatan  pelaporan  atau  pengaduan,  penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya   pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
            Dalam  proses  bekerjanya  aparatur  penegak  hukum  itu,  terdapat  tiga  elemen penting  yang  mempengaruhi,  yaitu:  (i)  institusi  penegak  hukum  beserta  berbagai perangkat  sarana  dan  prasarana  pendukung  dan  mekanisme  kerja  kelembagaannya;  (ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan  (iii)  perangkat  peraturan  yang  mendukung  baik  kinerja  kelembagaannya  maupun yang  mengatur  materi  hukum  yang  dijadikan  standar  kerja,  baik  hukum  materielnya maupun  hukum  acaranya.  Upaya  penegakan  hukum  secara  sistemik  haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
            Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum  di  negara  kita  selama  ini,  sebenarnya  juga  memerlukan  analisis  yang  lebih menyeluruh  lagi.  Upaya  penegakan  hukum  hanya  satu  elemen  saja  dari  keseluruhan persoalan  kita  sebagai  Negara  Hukum  yang  mencita-citakan  upaya  menegakkan  dan mewujudkan  keadilan sosial bagi seluruh rakyat  Indonesia. Hukum  tidak  mungkin  akan tegak,  jika  hukum  itu  sendiri  tidak  atau  belum  mencerminkan  perasaan  atau  nilai-nilai
keadilan  yang  hidup  dalam  masyarakatnya.  Hukum  tidak  mungkin  menjamin  keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan  hukum  tetapi  juga  pembaruan  hukum  atau  pembuatan  hukum  baru.  Karena itu,  ada empat  fungsi  penting  yang  memerlukan perhatian  yang  seksama,  yang  yaitu  (i) pembuatan  hukum  (‘the  legislation of  law’  atau  ‘law  and  rule  making’),  (ii)  sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation of law,
dan (iii) penegakan hukum (the enforcement of law). 
Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum (the administration of law)  yang efektif  dan  efisien  yang  dijalankan  oleh  pemerintahan  (eksekutif)  yang bertanggungjawab  (accountable).  Karena  itu,  pengembangan  administrasi  hukum  dan sistem  hukum  dapat  disebut  sebagai  agenda  penting  yang  keempat  sebagai  tambahan terhadap  ketiga  agenda  tersebut di  atas.  Dalam  arti  luas,  ‘the administration  of  law’  itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu  sendiri  dalam  pengertian  yang  sempit.  Misalnya  dapat  dipersoalkan  sejauhmana sistem  dokumentasi  dan  publikasi  berbagai  produk  hukum  yang  ada  selama  ini  telah dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan  administrasi  negara  (beschikkings),  ataupun  penetapan  dan  putusan  (vonis) hakim di  seluruh  jajaran dan  lapisan  pemerintahan  dari  pusat  sampai  ke  daerah-daerah. Jika  sistem  administrasinya  tidak  jelas,  bagaimana  mungkin  akses  masyarakat  luas  terhadap  aneka  bentuk  produk  hukum  tersebut  dapat  terbuka?  Jika  akses  tidak  ada, bagaimana  mungkin  mengharapkan  masyarakat  dapat  taat  pada  aturan  yang  tidak
diketahuinya?  Meskipun  ada  teori  ‘fiktie’  yang  diakui  sebagai  doktrin  hukum  yang bersifat  universal,  hukum  juga  perlu  difungsikan  sebagai  sarana  pendidikan  dan pembaruan  masyarakat  (social  reform),  dan  karena  itu  ketidaktahuan  masyarakat  akan hukum  tidak  boleh  dibiarkan  tanpa  usaha  sosialisasi  dan  pembudayaan  hukum  secara sistematis dan bersengaja.

2.3  Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum
Menurut Soerjono Soekanto, dalam bukunya faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum (2002:5) menyebutkan bahwa masalah pokok dari penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya, yaitu :
a.    Faktor hukumnya sendiri yaitu berupa undang-undang
b.    Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum.
c.    Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d.    Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
e.    Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kemudian Al. Wisnubroto dalam bukunya yang berjudul Hakim dan peradilan di Indonesia (1997:88-90) memuat
beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan. Adapun beberapa faktor yang
mempengaruhi hakim dalam mempertimbangkan suatu keputusan adalah :
1.    Faktor Subjektif
a.    Sikap prilaku apriori
Sering kali hakim dalam mengadili suatu perkara sejak awal dihinggapi suatu prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah, sehingga harus dihukum atau dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Sikap ini jelas bertentangan dengan asas yang dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence), terutama dalam perkara pidana. Sikap yang bersifat memihak salah satu pihak (biasanya adalah penuntut umum atau penggugat) dan tidak adil ini bisa saja terjadi karena hakim terjebak oleh rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target penyelesaian yang tidak seimbang.
b.    Sikap perilaku emosional
      Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan berbeda dengan prilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam menangani suatu perkara. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada hasil putusannya.
c.    Sikap Arrogence power
      Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya berkuasa dan pintar melebihi orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang bersengketa lainnya, sering kali mempengaruhi Keputusannya.
d.    MoralFaktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan, terutama hakim. Faktor ini berfungsi membentengi tindakan hakim terhadap cobaan-cobaan yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya.
2.    Faktor Objektif
a.    Latar belakang sosial budaya
      Latar belakang sosial hakim mempengaruhi sikap perilaku hakim. Dalam beberapa kajian sosiologis menunjukkan bahwa, hakim yang berasal dari status sosial tinggi berbeda cara memandang suatu permasalahan yang ada dalam masyarakat dengan hakim yang berasal dari lingkungan status sosial menengah atau rendah.
b.    Profesionalisme
Profesionalisme yang meliputi knowledge (pengetahuan, wawasan) danskills (keahlian, keterampilan) yang ditunjang dengan ketekunan dan ketelitian merupakan faktor yang mempengaruhi cara hakim mengambil keputusan masalah profesionalisme ini juga sering dikaitkan dengan kode etik di lingkungan peradilan. Oleh sebab itu hakim yang menangani suatu perkara dengan berpegang teguh pada etika profesi tentu akan menghasilkan putusan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.

2.4 Permasalahan Penegakan Huukum di Indonesia
Indonesia tengah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah kehilangan substansinya. Permasalahan hukum di Indonesia yang saat ini sedang terjadi disebabkan oleh beberapa hal yaitu sistem peradilannya, perangkat hukumny, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan maupun perlindungan hukum. Diantara banyaknya permasalahan tersebut adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat baik polisi, jaksa, hakim maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang bersangkutan. Inkonsistensi penegakan hukum kadang melibatkan masyarakat itu sendiri dan dalam media elektronik maupun media cetak. Inkonsistensi penegakan hukum ini secara tidak disadari telah berlangsung dari hari ke hari. Contoh kecil dari Inkonsistensi penegakan hukum yang terjadi pada saat berkendaraan dijalan raya dikota besar seperti di Jakarta yang memberlakukan aturan "three-in-one". Aturan ini tidak akan berlaku bagi TNI dan Polri. Bahkan polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI  atau Polri yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang atau bahkan terkadang polisi yang bertugas memberikan penghormatan apabila penumpangnya berpangkat lebih tinggi. Secara tidak disadari hal tersebut merupakan diskriminasi terhadap masyarakat awam tapi sayangnya banyak masyarakat yang tidak  menyadari hal tersebut.
Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat tetap dirasakan dari hari ke hari. Berikut ini beberapa kasus inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia yang dikelompokan berdasarlan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh masyarakat awam baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri maupun peristiwa lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan media elektronik.
a.      Tingkat kekayaan seseorang.
Tingkat kekayaan seseorang dapat memperingan masa tahan seseorang yang melakukan pelanggaran. Pelaku pelanggaran bisa menyewa pengacara mahal yang bisa mementahkan dakwaan kejaksaan untuk memperingan masa tahanannya atau jika perlu pelaku dapat membayar hakim atau jaksa agar memperingan masa tahanannya. Sebaliknya dengan pelaku pelanggaran yang tidak memiliki uang yang banyak maka pelaku hanya bisa membayar pengacara semampunya atau tidak sedikit pula yang mereka hanya pasrah menerima putusan hakim. Padahal jika dibandingkan kasus pelanggarannya tidak merugikan pemerintah milyaran rupiah. Inilah yang terjadi di Indonesia saat ini. Hukum bisa dibeli dengan uang.
b.       Tingkat Jabatan Seseorang
Mari kita simak kasus berikut ini. Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding keluar negri yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam studi banding tersebut anggota  DPRD yang berangkat memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI sekitar 5,2 M dan uang saku dari PT. Pembangunan Jaya Ancol sekitar 2,1 M. Dalam kasus ini 9 orang staf Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun. Penyelesaian masalah ini dilakukan setelah media cetak dan media elektronik menemukan ketidaksesuaian dalam masalah pendanaan studi banding tersebut. Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat terurik ketika sanksi ini hanya dikenalan pada pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut kasus ini sampai ke pejabat tinggi DKI yaitu Gubernur Sutiyoso (saat itu) yang sebagai komisaris PT. Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab.
Dari kasus diatas terlihat sekali bahwa seseorang yang memiliki jabatan tinggi mendapat keringanan hukuman dibanding pegawai rendahannya. Entah apa penyebabnya sampai hal ini terjadi. Secara tidak langsung hal ini bisa disebut sebagai ketidakadilan hukum dimana karna jabatan seseorang yang tinggi hukuman yang didapat ketika melakukan pelanggaran hukumannya pun lebih ringan dibandingkan seseorang yang jabatannya rendah walaupun pada kasus yang sama.
c.        Nepotisme
Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Jendral (TNI) Subagyo H.S. diperingan hukumannya oldh mahkamah militer dari empat tahum penjara menjadi dua tahun penjara. Disamping itu, terdakwa juga dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir terhadap vonis mahkamah militer tinggi. Putusan ini terasa tidk adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba lainnya yang terjadi di Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika. Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas hukum militer yang diterapkan pada kasus narkoba. Jelas sekaki kasus ini mengesankan adanya diskriminasi hukum bagi keluarga bekas pejabat.
d.     Tekanan Internasional
Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur xang terjadi 6 September 2000 yang menewaskan tiga orang staf NHCR mendapat perhatian Internasional dengan cepat. Tekanan Internasional ini mengakibatjan pemerintah Indonesia bertindak dengan melucuti pesenjataan milisi Timor Timor dan mengadiji beberapa bekas anggota milisi Timor Leste yang dianggap bertanggungjawab. Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yamg terjadi di bagian lain di Indonesia seperti Ambon, Aceh, Samlar, Sampit, kasus Atambua termasuk kasus yang memgalami penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat. Dalam enam bulan sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi berhasil dilucuti dan situasi kembali aman dan normal. Meskipun kasus lainnya juga mendapat perhatian dari Internasional, namun tekanan yang diberikn pada kasus ini lebih menekan pemerintah Indonesia untuk dapat diselesaikan secepatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa derajat tekanan Internasional menentukan kecepatan aparat melakukan penegakan hukum dalam mengatasi kasus kekerasan.  
Dari beberapa kasus tadi, dapat menimbulkan masalah yang paling dirasakan oleh masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Persepsi masyarakat menjadi buruk terhadap penegakan hukum. Hal ini membuat masyarakat tidak mempercayai huktm sebagai sarana penyelesaian konflik dan cenderung menyelesaikan permasalahannya diluar jalur hukum. Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum oleh sekelompok orang demi kepentingannya sendiri, selaku berakibat merugikan pihak yang tidak mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan tumbuh subur di masyarakat Indonesia. Penegakan hukum di Indonesia harus terus diupayakan dengan mulai memperbaiki kinerja dan moral aparat baik polisi, jaksa, hakim maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan bersangkutan. Tanpa adanya perbaikan tersebut segala bentuk KKN akan terus berpengaruh dalam proses penegakan hukum  di Indonesia. Selain itu materi hukum sendiri juga harus terus menerus diperbaiki, peran DPR sebagai lembaga legislatif untuk lebih aktif dalam memperbaiki dan menciptakan perundang-undangan yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan lebih tegas lagi. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat juga menjadi faktor kunci dalam penegakan hukum secara konsisten.
Jadi, keterpurukan penegakan hukum di Indonesia terletak pada faktor integritas aparat penegak  hukum,  aturan  hukum  yang  tidak  responsif,  serta  tidak  diaplikasikannya  nilai-nilai  Pancasila  khususnya  nilai  kemanusiaan,  nilai  musyawarah  untuk  mufakat  dan  nilai keadilan  dalam  penegakan  hukum  oleh  aparat  penegak  hukum,  sehingga  menimbulkan ketidakpercayaan  masyarakat  terhadap  penegakan  hukum  yang  ada  di  Indonesia.  Hasil penelitian,  menunjukkan  tingkat  kepercayaan  masyarakat  terhadap  penegakan  hukum sangat  dipengaruhi  oleh  keadaan  atau  situasional  suatu  daerah,  apabila  disuatu  daerah penegakan  hukumnya  baik,  maka  tingkat  kepercayaan  masyarakat  juga  baik  di  daerah tersebut,  namun  apabila  penegakan  hukumnya  kurang  baik,  maka  tingkat  kepercayaan mmasyarakat terhadap penegakan hukum di daerah tersebut menjadi kurang baik.  Dalam  rangka  pembentukan  hukum  nasional,  perlu  dibentuk  konsepsi  system hukum  Indonesia,  yang  penulis  sebut  dengan  Indonesia  Juripridence  maka  nilai-nilai
Pancasila  harus  diserap dalam  pembentukan  hukum,  sehingga  dibutuhkan  standar  hukum yang  bersifat  united  legal  frame  work  dan united  legal opinion  (Kesatuan  pandangan)  di antara aparat penegak  hukum sehingga perlu dibentuk  Undang-Undang sinergitas terpadu dalam  pelaksanaan  tugas  penegakan  hukum.  Untuk  mengembalikan  kepercayaan  masyarakat, maka dibutuhkan aparat penegak hukum yang memiliki integritas baik, aturan hukum  yang  responsif  yang  sejalan  dengan  nilai-nilai  Pancasila  dan  selanjutnya diimplementasikan ke dalam pelaksanaan tugas sehari-hari oleh aparat penegak hukum. 

2.5  PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PENEGAKAN HUKUM
Suatu hukum hanya dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan baik apabila dalam
Masyarakat terdapat suatu struktur yang memungkinkan bagi setiap anggota masyarakat untuk mewujudkan cita-cita hukum tersebut. Oleh karena itu jika kita mengharapkan perilaku hukum masyarakat yang  baik, maka kita harus menciptakan struktur sosial masyarakat yang baik pula. Selama  struktur sosial  masyarakat  tidak  terkandung  kearah  susunan  masyarakat yang baik maka selama itu pula perilaku hukum masyarakat sulit untuk mengarah kepada perilaku hukum yang baik.
Selanjutnya, harus pula dipahami bahwa kesadaran hukum yang menyangkut perilaku manusia, tidak dapat dilepaskan dari sikap batin. Oleh karena itu kesadaran hukum yang dimaksudkan haruslah memiliki keterkaitan pula dengan sikap batin pelakunya. Dengan kata lain, harus terdapat kaitan yang erat antara sikap batin dan tindakan yang dilakukan oleh seseorang.
Berdasarkan uraian-uraian yang telah kami kemukakan pada bahagian terdahulu, maka pada bahagian ini dapat kami simpulkan hal-hal sebagai berikut: 1) Bahwa pemberdayaan masyarakat dalam proses penegakan hukum meliputi peningkatan, pengetahuan masyarakat terhadap kaedah hukum itu sendiri termasuk pengetahuan dan  pemahamannya  terhadap  isi kaedah  hukum itu, ketaatan dan kepatuhan masyarakat terhadap kaedah hukum itu dan pola perilaku hukum masyarakat itu sendiri; 2) Bahwa pemahaman hukum masyarakat dipengaruhi
oleh struktur sosial tempat di mana hukum itu berlaku, karenanya untuk mencapai terpeliharanya tertib hukum melalui kesadaran hukum masyarakat, maka perlu pula dibenahi  struktur masyarakat yang bersangkutan, seperti struktur ekonomi, politik, pendidikan, pertahanan keamanan dan lain sebagainya yang terdapat dalam sistem sosial; 3) Bahwa pemberdayaan masyarakat untuk memelihara tertib hukum, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor juridis semata, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor non juridis seperti sikap penegak hukum, sarana dan prasarana, budaya hukum dan masyarakat sebagai pemegang peran; 4) Bahwa perlu kiranya untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat agar tertib hukum terpelihara dengan baik disusun suatu kaedah hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat Indonesia, sesuai dengan asas-asas hukum Indonesia dengan kata lain perlu diperhatikan segi  substansialnya, bukan segi formalnya seperti yang berkembang selama ini

BAB III
PENUTUP
3.1              Kesimpulan
Penegakan  hukum  adalah  proses  dilakukannya  upaya  untuk  tegaknya  atau berfungsinya  norma-norma  hukum  secara  nyata  sebagai  pedoman  perilaku  dalam  lalu lintas  atau  hubungan-hubungan  hukum  dalam  kehidupan  bermasyarakat  dan  bernegara.

Aparatur  penegak  hukum  mencakup  pengertian  mengenai  institusi  penegak hukum  dan  aparat  (orangnya)  penegak  hukum.  Dalam  arti  sempit,  aparatur  penegak hukum  yang  terlibat  dalam  proses  tegaknya  hukum  itu,  dimulai  dari  saksi,  polisi, penasehat  hukum,  jaksa,  hakim,  dan  petugas  sipir  pemasyarakatan. 

Popular Posts