Friday, November 27, 2015

11:36:00 PM


Tentang Pajak Penghasilan Badan (non pribadi)
I.          Latar Belakang
Pajak secara bebas dapat dikatakan sebagai suatu kewajiban warga negara berupa pengabdian serta peran aktif warga negara dan anggota masyarakat untuk membiayai berbagai keperluan negara dalam Pembangunan Nasional, tanpa adanya imbalan secara langsung yang pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang Perpajakan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan negara. Dengan semakin berkembangnya kondisi usaha dan bisnis baik ditingkat nasional maupun internasional, maka penghasilan yang diterima wajib pajak badan dalam negeri juga meningkat. Badan atau perusahaan merupakan subjek pajak dalam negeri dimana wajib pajak badan ini  merupakan penyumbang bagi penerimaan negara dari sektor pajak yaitu pajak penghasilan badan.
Dalam hal menjalankan usaha, suatu badan atau perusahaan harus membuat pembukuan untuk menunjang kegiatan usahanya. Sama halnya dalam perpajakan, pembukuan juga wajib dibuat oleh wajib pajak yang berbentuk badan untuk mempermudah menghitung pajaknya. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai wajib pajak badan, kewajiban dan hak wajib pajak badan dalam perpajakan dan cara penghitungan pajak dari wajib pajak badan.

 A.    Pengertian Badan
Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pasal 1 angka 3, Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN atau BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial poltik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 

B.     Wajib Pajak Badan
Wajib Pajak Badan adalah Badan seperti yang dimaksud pada UU KUP, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan atau memiliki kewajiban subjektif dan kewajiban objektif serta telah mendaftarkan diri untuk memproleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

C.    Pajak Penghasilan Badan
Pada pasal 1 UU Pajak Penghasillan, Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Badan seperti yang dimaksud dalam UU KUP.
Adapun subjek dari PPh Badan yaitu :
1.      Wajib Pajak Badan dalam negeri, yaitu badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
2.      Wajib Pajak Badan luar negeri, yaitu badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia, dan atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia.
Yang menjadi objek pajak PPh Badan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak badan yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

D.    Kewajiban Wajib Pajak Badan dalam Perpajakan
Berikut kewajiban dari Wajib Pajak Badan :
1.      Kewajiban mendaftarkan diri
Dalam hal ini mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan apabila wajib pajak badan melakukan kegiatan penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak atau ekspor barang kena pajak yang terutang PPN berdasarkan UU PPN 1984, maka wajib pajak badan tersebut memiliki kewajiban untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak (PKP). Untuk wajib pajak badan atau pengusaha kecil yaitu selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) maka tidak diwajibkan untuk dikukuhkan sebagai PKP, kecuali pengusaha kecil tersebut memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Jadi, apabila peredaran brutonya lebih dari 600 juta maka wajib mengukuhkan diri menjadi PKP. Pada pasal 2 ayat (4) UU KUP, “Dirjen Pajak menerbitkan NPWP dan/atau mengukuhkan PKP secara jabatan apabila WP atau PKP tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).
2.      Kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan.
Sebagaimana terdapat pada pasal 28 ayat (1) UU KUP, yaitu WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan WP badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.
·         Pembukuan :
Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pembukuan adalah proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mendapatkan data & informasi keuangan yang meliputi keadaan harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang terutang maupun yang tidak terutang PPN, yang dikenakan PPN dengan tarif 0% (nol persen) dan yang dikenakan PPnBM, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan penghitungan rugi/laba pada saat tahun pajak berakhir.
·         Ketentuan mengenai Pembukuan :
Pembukuan tersebut harus diselenggarakan dengan:
a.       Memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya,
b.      Harus diselenggarakan di Indonesia, dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menkeu,
c.       Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual dan stelsel kas,
d.      Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Dirjen Pajak.
·         Prinsip Taat Asas :
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Misalnya dalam penerapan : Stelsel pengakuan penghasilan; Tahun buku; Metode penilaian persediaan; Metode penyusutan dan amortisasi.
3.      Kewajiban melakukan pemotongan dan pemungutan, diantaranya yaitu:
a.       Kewajiban pajak sendiri (seperti PPh Pasal 25/29);
b.      Kewajiban memotong atau memungut (pot/put) pajak atas penghasilan orang lain (misalnya: PPh Pasal 21/26, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23/26, dan PPh Final); dan
c.       Kewajiban memungut PPN dan atau PPn BM (jika ada) yang khusus berlaku bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Jenis-jenis pajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak Badan secara umum bisa diuraikan sebagai berikut:
a.          PPh Pasal 21/Pasal 26
Yaitu PPh yang wajib dipotong atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima atau diperoleh orang pribadi, sesuai dengan ketentuan Pasal 21 UU PPh.
Wajib Pajak Badan wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan para karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut maupun penghasilan orang pribadi lainnya, seperti tenaga ahli, yang dibayar atau terutang oleh perusahaan. Dalam hal terdapat pembayaran penghasilan, yang termasuk objek PPh Pasal 21, kepada orang pribadi yang berstatus WP luar negeri, PPh yang dipotong mengacu pada ketentuan Pasal 26 UU PPh atau berdasarkan tax treaty.
Kewajiban PPh Pasal 21/Pasal 26 yang harus dilaksanakan, meliputi:
Ø  SPT Masa PPh Pasal 21/26 pada setiap Masa Pajak
Merupakan pelaporan atas PPh Pasal 21 yang telah dihitung dan disetor oleh Wajib Pajak Badan, yang terutang pada setiap masa pajak. PPh Pasal 26 yang terutang atas pembayaran kepada orang pribadi yang berstatus Wajib Pajak Luar Negeri juga wajib dilaporkan pada SPT Masa PPh Pasal 21. Pada dasarnya, PPh Pasal 21 yang dilaporkan dalam SPT Masa merupakan angsuran atau pajak dibayar di muka untuk PPh Pasal 21 yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.
Ø  SPT Masa PPh Pasal 21 pada Akhir Tahun Pajak
Merupakan pelaporan atas PPh Pasal 21 yang telah dihitung dan dilunasi pada suatu tahun pajak, termasuk PPh Pasal 26 yang terutang atas penghasilan orang pribadi berstatus WP luar negeri. SPT Masa PPh Pasal 21 untuk Akhir Tahun Pajak sebenarnya merupakan penghitungan ulang atas PPh Pasal 21 yang telah dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21  untuk Masa Pajak Januari sampai dengan Desember. Bisa jadi, pada SPT Masa PPh Pasal 21 pada akhir tahun nantinya timbul kurang bayar, atau lebih bayar, atau mungkin juga nihil (PPh Pasal 21 yang sudah disetor sama dengan PPh Pasal 21 yang terutang).
b.         PPh Pasal 23
Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa dividen, royalty, bunga, hadiah dan penghargaan selain yang telah dikenakan PPh Pasal 21, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, serta imbalan jasa sehubungan dengan jasa-jasa seperti jasa teknik, jasa manajeman, jasa konsultan, dan jasa lain, yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 23 UU PPh.
c.       PPh Pasal 26
Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa dividen; bunga; royalti; sewa dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta; imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan; serta pensiun dan pembayaran berkala lainnya yang diterima/diperoleh WP luar negeri. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 26 UU PPh.
Penghitungan dan penyetoran PPh Pasal 26 sebaiknya tetap dilakukan secara tersendiri, meskipun untuk pelaporannya digabungkan dengan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23, tergantung pada jenis objek pajaknya serta penerima penghasilannya;
1)      Jika objek pajaknya cenderung sama dengan PPh Pasal 21 dan penerima penghasilannya adalah orang pribadi berstatus WP luar negeri, maka pelaporannya melalui SPT Masa PPh Pasal 21 dan atau Pasal 26;
2)      Jika penerima penghasilannya berbentuk badan dan berstatus WP luar negeri, pelaporannya melalui SPT Masa PPh Pasal 23 dan atau Pasal 26.
d.         PPh Final
Yaitu PPh yang dipotong atas jenis penghasilan tertentu atau jenis usaha tertentu yang diatur secara khusus (special treatment) melalui peraturan pemerintah. Misalnya, PPh Final atas persewaan tanah dan atau bangunan. Jadi, seandainya Wajib Pajak Badan menyewa gedung dari pihak lain untuk dipergunakan sebagai kantor, maka Wajib Pajak Badan wajib memotong, menyetor, dan melaporkan PPh Final yang terutang atas sewa kantor tersebut.
e.    PPh Pasal 25
Yaitu pembayaran angsuran PPh dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh WP untuk setiap bulan. Besarnya PPh Pasal 25 yang wajib disetor setiap bulan dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 25 UU PPh beserta ketentuan pelaksanaannya.
f.     PPh Pasal 29
Yaitu kewajiban untuk melunasi kekurangan pembayaran pajak yang terutang pada akhir tahun pajak, dengan memperhitungkan kredit pajak berupa angsuran PPh Pasal 25 yang telah disetor setiap bulan dan PPh yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain.
g.    PPN
Yaitu pemungutan pajak atas penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) atau JKP (Jasa Kena Pajak) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) di dalam Daerah Pabean, yang meliputi suatu masa pajak. Dalam hal BKP tergolong barang mewah, terdapat Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) yang juga terutang sesuai ketentuan UU yang berlaku.
4.      Kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
5.      Kewajiban membayar dan menyetorkan pajak
6.    Kewajiban membuat faktur pajak
7.    Kewajiban melunasi bea materai
8.    Kewajiban menaati pemeriksaan pajak

E.     Hak Wajib Pajak Badan dalam Perpajakan
Adapun hak dari wajib pajak dalam perpajakan, yaitu :
1.      Hak untuk mendapat pembinaan dan pengarahan dari fiskus
2.      Hak untuk membetulkan, memperpanjang waktu penyampaian SPT
3.      Hak untuk mengajukan keberatan, banding dan gugatan serta peninjauan kembali ke Mahkamah Agung
4.      Hak untuk memperoleh kelebihan pembayaran pajak
5.      Hak dalam hal wajib pajak dilakukan pemeriksaan
6.      Hak untuk mendapat fasilitas perpajakan
7.      Hak mengajukan permohonan untuk mengangsur pembayaran pajak, menunda penagihan pajak, dan memperoleh imbalan bungan dari keterlambatan pembayaran kelebihan pajak oleh DJP
8.      Hak untuk melakukan pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran
9.      Hak mengurangi penghasilan kena pajak dengan biaya yang dikeluarkan sesuai biaya fiskal.

F.     Saat Terutang, Penyetoran dan Pelaporan PPh Badan
Saat terutang dari pajak penghasilan badan adalah pada saat badan atau perusahaan tersebut sudah mendapat penghasilan atau laba. Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaiman telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, pph badan harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir (angsuran pajak).
Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, maka pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Hari libur nasional temasuk hari yang diliburkan untuk penyelengaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pembayaran pajak dilakukan melaui Bank Persepsi atau bank Devisi Persepsi atau Kantor Pos Persepsi dengan sistem pembayaran secara online. Pembayaran pajak harus digunakan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapat validasi. SSP atau sarana administrasi lain dianggap sah apabila telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).
Apabila pajak terutang untuk satu tahun pajak lebih besar dari jumlah kredit pajak maka penyetoran kekurangan pajak yang terutang (pph pasal 29) harus dilunasi selambat-lambatnya sebelum SPT Tahunan disampaikan. Sedangkan, untuk pelaporan SPT, maksimal disampaikan pada akhir bulan keempat setelah tahun pajak berakhir.

G.    Cara Penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Badan
Terjadi perbedaan pengakuan pendapatan dan biaya antara pembukuan komersil dengan pembukuan menurut perpajakan. Berikut perbedaan diantara keduanya.
ü  Beda Tetap (Permanent Difference)
1.      Menurut akuntasi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut ketentuan Pajak Penghasilan bukan penghasilan.
Misal: dividen yang diterima oleh Perseroan Terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri dari penyertaan modal sebesar 25%  atau  lebih pada badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia.
2.      Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan sedangakan menurut ketentuan PPh telah dikenakan PPh yang bersifat final. Penghasilan ini dikenakan pajak tersendiri (final) sehingga dipisahkan (tidak perlu digabung) dengan penghasilan lainnya dalam menghitung PPh terutang.
Misal: penghasilan atas bunga deposito atau tabungan lainnya yang telah dipotong PPh Final oleh Bank sebesar 20%.
3.      Menurut akuntansi komersial merupakan beban (biaya) sedangkan menurut ketentuan PPh tidak dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto (Pasal 9 UU PPh).
Misalnya:
a.       Biaya-biaya yang  digunakan  untuk memperoleh  penghasilan yang bukan obyek  pajak atau pengenaan pajaknya bersifat final.
b.      Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura atau  kenikmatan.
c.       Sanksi perpajakan berupa bunga, denda, dan kenaikan.
d.      Biaya-biaya yang menurut ketentuan PPh tidak dapat dibebankan karena tidak memenuhi syarat-syarat tertentu (misalnya: daftar nominatif biaya entertainment, daftar nominatif atas penghapusan piutang).
ü  Beda Sementara (Temporary Difference)
Beda waktu merupakan perbedaan metode yang digunakan antara akuntansi komersial dengan ketentuan fiskal.
Misalnya yaitu :
a.       Metode penyusutan,
b.      Metode penilaian persediaan,
c.       Penyisihan piutang tak tertagih,
d.      Rugi-laba selisih kurs.

H.    Pengertian Rekonsiliasi Fiskal
Karena terjadi perbedaan pengakuan dalam menyusun laporan keuangan antara komersil dengan perpajakan maka perlu dilakukan penyesuaian atau rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal adalah suatu mekanisme penyesuaian pelaporan keuangan wajib pajak badan menurut ketentuan komersial diubah menjadi menurut ketentuan perpajakan atau fiskal. Rekonsiliasi fiskal adalah sebuah lampiran SPT tahunan PPh Badan berupa kertas kerja yang berisi penyesuaian antara laba/rugi sebelum pajak menurut komersial dengan laba/rugi menurut SPT Tahunan (perpajakan).
Untuk melakukan penghitungan PPh Badan, harus diketahui laba fiskal dalam tahun pajak yang didapat dari rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal dilakukan terhadap seluruh unsur penyusunan laporan laba rugi, meliputi pendapatan dan biaya, secara ringkas rekonsiliasi fiskal dilakukan terhadap :
1.      Wajib pajak yang memiliki penghasilan final
2.      Wajib pajak yang memiliki penghasilan yang bukan objek pajak
3.      Wajib pajak mengeluarkan biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan (pasal 9 UU PPh)
4.      Wajib pajak mengeluarkan biaya yang boleh menjadi pengurang (biaya fiskal) tetapi metode pengakuan biaya tersebut diatur oleh ketentuan fiscal
5.      Wajib pajak mengeluarkan biaya yang dikeluarkan bersama untuk mendapatkan pendapatan yang telah dikenakan PPh final
Dalam rekonsiliasi fiskal terdapat koreksi fiskal. Dimana koreksi fiskal ini terdiri dari koreksi positif dan koreksi negatif. Koreksi positif adalah koreksi yang mengakibatkan laba fiskal bertambah atau rugi fiskal berkurang. Koreksi negatif adalah koreksi yang mengakibatkan laba fiskal berkurang atau rugi fiskal bertambah.
    I.       Berikut langkah-langkah penghitungan PPh Badan :
Jumlah penghasilan neto bruto                                                xxxx
Biaya                                                                                       xxxx –
Penghasilan neto komersial                                                     xxxx
Koreksi fiskal:
Positif                                                                                      xxxx
Negatif                                                                                                (xxxx) +-
Penghasilan neto fiskal                                                                       xxxx
Kompensasi kerugian                                                              xxxx –
Penghasilan kena pajak                                                           xxxx
PPh terutang                                                                           xxxx
Kredit pajak:
Dipotong/dipungut pihak ketiga         xxxx
Telah dibayar sendiri                           xxxx +
Jumlah kredit pajak                                                                 xxxx –
Kurang/lebih bayar                                                                  xxxx
 
J.      Perhitungan PPh Terutang :
a.       Tarif tertinggi 25% (dua puluh lima persen) mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
b.      Wajib Pajak Badan dalan negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
c.       Untuk keperluan penerapan tarif pajak, jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan kebawah dalam ribuan rupiah penuh.
d.      Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PPh Pasal 17 yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). 
                    kalau mau versi dokumennya bisa di download disini


Popular Posts