Budaya
kerja adalah suatu semangat tidak terlihat yang mengikat semua individu di
dalam perusahaan untuk selalu bergerak dan bekerja sesuai dengan irama budaya
kerja itu. Budaya kerja yang khas dari sebuah perusahaan akan menjadikan
perusahaan itu tampak berbeda dari perusahaan lainnya, walaupun bergerak di
bidang usaha yang sama.
Budaya kerja di sebuah perusahaan tidak
diciptakan oleh pemiliknya atau siapa pun di perusahaan itu. Munculnya budaya
kerja merupakan hasil perpaduan dari semangat kerja semua invidu di perusahaan
dengan dipengaruhi oleh semangat terbesar dan terkuat dari salah satu individu
di perusahaan itu. Semangat terkuat itu pada umumnya merupakan semangat kerja
pemilik atau pemimpin perusahaan. Semangat terkuat itu akan mempengaruhi dan
menggerakkan semangat dari individu lainnya, lalu kemudian menyatukannya dalam
satu irama kerja yang sama, maka terlahirlah budaya kerja.Budaya kerja itu
kemudian dalam perkembangannya akan menjadi lebih mapan, sehingga akan menulari
seluruh cabang atau perwakilan usaha, bahkan bisa juga menulari relasi-relasi
usaha dan agen-agen. Budaya kerja yang sudah mapan dan berakar akan sulit untuk
digoyahkan, apalagi dihilangkan. Sehingga setiap individu di sebuah perusahaan
yang mempunyai budaya kerja yang mapan akan sulit untuk melepaskan diri dari
perusahaan itu atau pun sebagai mata rantai kerjanya.
Di dalam sebuah perusahaan kadang-kadang
terdapat juga unsur-unsur budaya yang buruk, seperti saling menjatuhkan antar
karyawan, bawahan menjilat atasan atau saling bersaing dalam hal materi dan
lain sebagainya. Unsur-unsur budaya yang buruk ini dalam skala kecil -
dilakukan oleh sedikit orang - barangkali tidak akan berpengaruh terhadap
budaya kerja secara keseluruhan di dalam perusahaan tersebut. Namun apabila
dibiarkan dan terus dilakukan bisa saja akan mencemari keseluruhan budaya kerja
di perusahaan dan pada akhirnya bisa menghancurkan perusahaan itu sendiri.
Budaya kerja yang
terkomputerisasi merupakan suatu upaya untuk menciptakan suasana kerja yang
dulunya tidak mengenal komputer dan menggunakan 100% tenaga manusia menjadi
suasana kerja yang lebih praktis dan memudahkan pekerjaan manusia karena pekerjaan
manusia telah dibantu dengan adanya komputer. Dalam hal ini kita akan memberi
contoh di sebuah intitusi pendidikan yaitu universitas yang mulai membudayakan
konsep paperless office. Ide menjalankan konsep ini berawal dari melihat
banyaknya kertas yang bertumpuk terbuang percuma.
Daosen selalu berhadapan tumpukan kertas yang terus
berdatangan setiap saat. Hampir tiap hari ada mahasiswa yang datang menyerahkan
naskah tugas-tugas kuliah atau pun draf skripsi. Dokumen datang tidak hanya
dari mereka yang menjadi tanggung jawab pembibingan tugas akhir atau pengajaran
kuliah tetapi juga datang dari mereka yang memegang nama dosen tersebut dalam daftar pengujinya. Sebagian besar dari naskah
tersebut hanya berfungsi sebagai media komunikasi satu sesi. Dosen membubuhkan
coretan-coretan koreksi kemudian
mahasiswa langsung membuangnya setelah koreksi dilakukan. Proses pengetikan,
pencetakan naskah dan pengkoreksian ini bisa terjadi berkali-kali untuk bab
yang sama. Dalam pelaksanaan acara perkuliahan, kontribusi dosen pada
penggunaan kertas cukup besar.
Penyerahan naskah bahan kuliah baik yang diketik
sendiri maupun hasil pencarian dari Internet ke mahasiswa, langsung
menghasilkan kertas sejumlah halaman bahan dikalikan jumlah mahasiswa yang
mengambil mata kuliah. Dengan perhitungan rata-rata 12 kali kuliah untuk kelas berukuran 60 mahasiswa, 5
halaman naskah per tatapmuka akan mengakibatkan penggunaan tidak kurang dari 7
rim kertas tiap semesternya. Untuk keperluan administratif pengembangan karirnya,
dosen punya kewajiban mengumpulkan bukti-bukti prestasi akademik dalam bentuk
dokumen pengakuan adanya kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian
masyarakat. Pada gilirannya, setumpuk kertas bukti tersebut akan difotokopi
sebanyak anggota tim penilai untuk menentukan kelayakan kenaikan jabatan atau
pangkat dosen yang bersangkutan.
Dalam praktek, pembuatan dokumen administratif
kenaikan pangkat dan jabatan tidak selalu bisa sekali jadi dan ini berarti
terjadi akumulasi produksi naskah yang cukup besar. Budaya ini bukanlah budaya
yang baik karena terlalu menghambur-hamburkan kertas. Dengan konsep paperless
office kita menggunakan fasilitas jaringan
komputer, target pembaca naskah yang diproduksi tersebut bisa langsung membaca
atau setidaknya memiliki copy digitalnya dari komputer masing-masing.
Undangan
rapat dapat dikirim melalui e-mail. Bahan rapat dapat disediakan di suatu
server dalam jaringan komputer. Transaksi keuangan serta pengadaan barang dan
jasa dapat dilakukan melalui sistem on-line. Mahasiswa dapat mengirimkan bentuk
awal dari naskah tugas akhirnya melalui Internet. Dosen dapat mengetikkan
koreksiannya langsung dinaskah tersebut sebelum dikembalikan ke mahasiswa
dengan menggunakan font warna lain misalnya.
Dari uraian diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa budaya kerja merupakan suatu upaya untuk menciptakan
suatu suasana kerja yang nyaman dan kondusif. Untuk menciptakan suasana
tersebut tentulah segala bentuk keadaan yang dapat mengganggu pekerjaan harus
dihilangkan dan jika bisa diubah kearah budaya kerja yang lebih baik lagi.
Salah satu upayanya adalah mengubah budaya kerja yang tidak mengenal komputer
menjadi pekerjaan yang terkomputerisasi. Banyak manfaat yang dapat diambil dari
perubahan ini, diantranya pekerjaan menjadi lebih cepat selesai, tidak memakan
banyak waktu dan hemat biaya.