Saturday, April 02, 2016

2:30:00 PM

1.       Peristiwa Tanjung Priok 1984
Peristiwa berdarah Tanjung Priok 1984, adalah satu peristiwa yang sudah disiapkan sebelumnya dengan matang oleh intel-intel militer. Militerlah yang menskenario dan merekayasa kasus pembataian Tanjung Priok, Ini adalah bagian dari operasi militer yang bertujuan untuk mengkatagorikan kegiatan-kegiatan keislaman sebagai suatu tindak kejahatan, dan para pelaku dijadikan sasaran korban. Terpilihnya Tanjung sebagai tempat sebagai "The Killing field" juga bukan tanpa survey dan anlisa yang matang dari intelejen. Kondisi sosial ekonomi tanjung priok yang menjadi dasar pertimbangan. Tanjung Priok adalah salah satu wilayah basis Islam yang kuat, denga kondisi pemukiman yang padat dan kumuh. Mayoritas  penduduknya tinggal dirumah-rumah sederhana yang terbuat dari barang bekas pakai. kebanyakan penduduknya bekerja sebagai buruh galangan kapal, dan buruh serabutan. Dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah ditambah dengan pendidikan yang minim seperti itu menjadikan Tanjung Priok sebagai wilayah yang mudah sekali terpengaruh dengan gejolak dari luar, sehingga mudah sekali tersulut berbagai isu.
Suasana panas di Tanjung Priok sudah di rasakan sebulan sebelum peristiwa itu terjadi.  Upaya -upaya provokatif memancing massa telah banyak dilakukan diantaranya, pembangunan gedung bioskup tugu yang sering memutar film maksiat yang  berdiri persis  berseberangan degan masjid Al-hidayah. Tokoh-tokoh islam menduga keras bahwa suasana panas itu memang sengaja direkayasa oleh orang-orang tertentu di pemerintahan yang memusuhi islam. Suasana rekayasa ini terutama sekali dirasakan oleh ulama-ulama di luar tanjung priok. Sebab, di kawasan lain kota di jakarta terjadi sensor yang ketat terhadap para mubaligh, kenapa di Tanjung Priok sebagai basis islam para mubalighnya bebas sekali untuk berbicara, bahkan mengkritik pemerintah dan menentang azas tunggal pancasila. Tokoh senior seperti M Natsir dan syarifudin Prawiranegara sebenarnya telah melarang ulama untuk datang ke tanjung priok agar tidak masuk perangkap, namun seruan itu rupanya tidakterdengar oleh ulama-ulama tanjung priok.

2.       Kronologi peristiwa Tanjung Priok 1984
Pada pertengahan  tahun 1984, Beredar isu tentang RUU  organisasi sosial yang mengharuskan penerimaan azas tunggal.  Hal ini menimbulkan implikasi yang luas. Diantara pengunjung masjid di daerah ini, terdapat  SEOrang mubaligh yang terkenal, Menyampaikan ceramah pada jama'ahnya dengan menjadikan isu ini sebagi topik pembicarannya, sebab Rancangan Undang-Undang tsb sudah lama menjadi masalah yang kontroversi.
Kejadian berdarah Tanjung Priok dipicu oleh tindakan provokatif  tentara.  Pada tanggal 7 september 1984, SEOrang Babinsa beragama katholik sersan satu Harmanu datang ke musholla kecil yang bernama "Musholla As-sa'adah" dan memerintahkan untuk mencabut pamflet yang berisi tulisan problema yang dihadapi kaum muslimin, yang disertai pengumuman tentang kegiatan pengajian yang akan datang. Tak heran jika kemudian orang-orang yang disitu marah melihat tingkah laku Babinsa itu. pada hari berikutnya Babinsa itu datang lagi beserta rekannya, untuk mengecek apakah perintahnya sudah dijalankan apa belum. Setelah kedatangan kedua itulah muncul isu yang menyatakan, kalau militer telah menghina kehormatan tempat suci karena  masuk mushola tanpa menyopot sepatu, dan menyirami pamflet-pamflet di musholla dengan air comberan.
Pada tanggal 10 september 1984, Syarifuddin rambe dan Sofyan Sulaiman dua orang takmir masjid "Baitul Makmur" yang berdekatan dengan Musholla As-sa'adah, Berusaha menenangkan suasana dengan mengajak ke dua tentara itu masuk ke adalam sekretarit takmir mesjid untuk membicarakan masalah yang sedang hangat. Ketika mereka sedang berbiacara di depan kantor, massa diluar sudah terkumpul. Kedua pengurus takmir masjid itu menyarankan kepada kedua tentara tadi supaya persoalaan disudahi dan dianggap selesai saja. Tapi mereka menolak  saran  tersebut. Massa diluar sudah mulai kehilangan kesabarannya. Tiba-tiba saja salah satu dari kerumunan massa menarik salah satu sepeda motor milik prajurit yang ternyata SEOrang marinir dan membakarnya.  Saat itu juga Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaiman beserta dua orang lainnya ditangkap aparat keamanan. Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, Pengurus Musholla As-sa'adah dan satu orang lagi yang saat itu berada di tempat kejadian, selanjutnya Mohammad Nur yang membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan empat orang tadi kemarahan massa menjadi tak terbendung lagi, yang kemudian memunculkan tuntutan pembebasan ke empat orang yang ditangkap tadi.
Pada tanggal 11 September 1984, Massa yang masih memendam kemarahannya itu datang ke salah satu tokoh didaerah itu yang bernama Amir Biki, karena tokoh ini dikenal dekat dengan para perwira di Jakarta.  Maksudnya agar ia mau turun tangan membantu membebaskan para tahanan. Sudah sering kali Amir biki menyelesaikan  persoalan yang timbul dengan pihak militer. Tapi  kali ini usahanya tidak berhasil.
Pada tanggal 12 September 1984, beberapa orang mubaligh menyampaikan ceramahnya di tempat terbuka, mengulas berbagai persoalan politik dan sosial, diantaranya adalah kasus yang baru terjadi ini.  Dihadapan massa, Amir biki berbicara dengan keras, yang isinya mengultimatum agar membebaskan para tahanan paling lambat pukul 23.00 Wib malam itu juga. Bila tidak, mereka akan mengerahkan massa untuk melakukan demonstrasi.
Saat ceramah usai, berkumpulah sekitar 1500 orang demonstran yang bergerak menuju kantor Polsek dan Kormil setempat.  sebelum massa tiba di tempat yang dituju, tiba-tiba mereka telah terkepung dari dua arah oleh pasukan yang bersenjata berat. Massa demonstran berhadapan langsung dengan pasukan tentara yang siap tempur.   Pada saat pasukan mulai memblokir jalan protokol, mendadak para demonstran sudah dikepung dari segala penjuru. Saat itu massa tidaklah beringas, sebagian besar mereka hanya duduk-duduk sambil mengumandankan takbir. Lalu tiba-tiba terdengar aba-aba mundur dari komandan tentara, tanpa peringatan lebih dahulu terdengarlah suara tembakan, lalu diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan moncong senjatanya ke arah demonstran.  Dari segala penjuru terdengan dentuman suara senjata, tiba-tiba ratusan orang demonstran tersungkur berlumuran darah. Disaat para demonstran yang terluka berusaha bangkit untuk menyelamatkan diri,  pada saat yang sama juga mereka diberondong senjata lagi. Tak lama berselang datang konvoi truk militer dari arah pelabuhan menerjang dan menelindas demostran yang sedang bertiarap di jalan,  Dari atas truk tentara dengan membabi buta menembaki para demonstran. Dalam sekejap jalanan dipenuhi oleh jasad-jasad manusia yang telah mati bersimbah darah.  Sedang beberapa korban yang terluka tidak begitu parah berusaha lari menyelamatkan diri berlindung ke tempat-tempat disekitar kejadian.
Sembari para tentara mengusung korban-korban yang mati dan terluka ke dalam truk militer, masih saja terdengar suara tembakan tanpa henti. Semua korban dibawa ke rumah sakit tentara di Jakarta, sementara rumah sakit-rumah sakit yang lain dilarang keras menerima korban penembakan Tanjung Priok.  Setelah para korban diangkut, datanglah mobil pemadam kebakaran untuk membersihkan jalanan dari genangan darah para korban penembakan. 
            Pemerintah menyembunyikan fakta jumlah korban  dalam tragedi berdarah itu.  Lewat panglima ABRI saat itu LB. Murdhani menyatakan bahwa jumlah yang tewas sebanyak 18 orang dan yang luka-luka 53 orang. Tapi data dari Sontak (SOlidaritas Untuk peristiwa Tanjung Priok) jumlah korban yang tewas mencapai 400 orang.  Belum lagi penderitaan korban yang ditangkap militer  mengalami berbagai macam penyiksaan.  Dan Amir Biki sendiri adalah salah satu korban yang tewas diberondong peluru tentara.


3.        Penyelesaian
Pengadilan HAM ad hoc di Jakarta, tahun 2003 – 2004.
Pengadilan HAM Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok telah menyelesaikan tugasnya untuk mengadili perkara tersebut pada pertengahan tahun 2004 yang lalu. Perkara terakhir yang diputuskan oleh Pengadilan HAM Jakarta Pusat adalah perkara Sutrisno Mascung, dkk, yaitu pada 20 Agustus 2004, dengan putusan terdakwa Sutrisno Mascung, dkk telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM yang berat berupa pembunuhan dan percobaan pembunuhan. Oleh karenanya, terdakwa Sutrisno Mascung, dkk dijatuhi pidana penjara masing-masing 3 tahun penjara untuk Sutrisno Mascung, dan 2 tahun penjara untuk anggotanya2.
Sebelumnya, Pengadilan HAM Jakarta Pusat juga telah menjatuhkan putusan kepada para terdakwa lainnya dalam perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok. Pada 30 April 2004, Majelis Hakim yang mengadili perkara R. Butar-Butar menyatakan bahwa R. Butar-Butar selaku Komandan Kodim 0502 Jakarta telah terbukti melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan dan penganiayaan. Terhadap terdakwa R. Butar-Butar, Majelis Hakim yang dipimpin Cicut Sutiyarso menjatuhkan pidana berupa pidana penjara selama 10 tahun.

Popular Posts