BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR
BELAKANG
Lingkungan merupakan tempat dimana
seorang anak tumbuh dan berkembang, sehingga lingkungan banyak berperan dalam
membentuk kepribadian dan karakter seseorang. Bagi kebanyakan anak, lingkungan
keluarga merupakan lingkungan ini yang mempengaruhi perkembangan anak, setelah
itu sekolah dan kemudian masyarakat. Keluarga dipandang sebagai lingkungan dini
yang dibangun oleh orangtua dan orang-orang terdekat. Setiap keluarga selalu
berbeda dengan keluarga lainnya, dalam hal ini yang berbeda misalnya cara didik
keluarga, keadaan ekonomi keluarga. Setiap keluarga memiliki sejarah
perjuangan, nilai-nilai, dan kebiasaan yang turun temurun yang secara tidak
sadar akan akan membentuk karakter anak.
Pengaruh keluarga amat besar dalam
pembentukan pondasi kepribadian anak. Keluarga yang gagal membentuk kepribadian
anak biasanya adalah keluarga yang penuh dengan konflik atau tidak bahagia.
Tugas berat para orang tua adalah meyakinkan fungsi keluarga mereka benar-benar
aman, nyaman bagi anak-anak mereka. Rumah adalah surga bagi anak, dimana mereka
dapat menjadi cerdas, sholeh, dan tentu saja tercukupi lahir dan bathinnya.
Dari beberapa paparan tersebut dapat
di ambil kesimpulan bahwa pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan awal
bagi anak karena pertama kalinya mereka mengenal dunia terlahir dalam
lingkungan keluarga dan dididik oleh orang tua. Sehingga pengalaman masa
anak-anak merupakan faktor yang sangat penting bagi perkembangan selanjutnya,
keteladanan orang tua dalam tindakan sehari-hari akan menjadi wahana pendidikan
moral bagi anak, membentuk anak sebagai makhluk sosial, religius, untuk
menciptakan kondisi yang dapat menumbuh kembangkan inisiatif dan kreativitas
anak. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa peran kelurga sangat
besar sebagai penentu terbentuknya moral manusia-manusia yang dilahirkan.
- RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas,
pokok permasalahan yang saya angkat
adalah :
1. Apa fungsi keluarga?
2. Bagaimana pengaruh keluarga terhadap perilaku moral anak?
3. Bagaimana peran keluarga terhadap pembentukan karakter anak?
- TUJUAN PENULISAN MAKALAH
Berdasarkan rumusan masalah diatas penulisan makalah
ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan mengenai fungsi keluarga
2. Menjelaskan mengenai pengaruh
keluarga terhadap perkembangan karakter seorang anak.
3. Menjelaskan peran keluarga dalam
pembentukan karakter anak.
4.
Untuk mengerti pentingnya pendidikan karakter bagi anak .
5.
Agar orang tua dapat mengerti lingkungan yang baik untuk anak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Fungsi Keluarga
Menurut Munandar (1985), pengertian keluarga dapat
dilihat dalam arti kata yang sempit, sebagai keluarga inti yang merupakan
kelompok sosial terkecil dari masyarakat yang terbentuk berdasarkan pernikahan
dan terdiri dari seorang suami (ayah), isteri (ibu) dan anak-anak mereka.
Sedangkan keluarga dalam arti kata yang lebih luas misalnya keluarga RT,
keluarga komplek, atau keluarga Indonesia.
keluarga adalah merupakan lingkungan pendidikan
pertama bagi anak. Di lingkungan keluarga pertama-tama anak mendapat pengaruh,
karena itu keluarga merupakan lembaga pendidikan tertinggiyang bersifat
informal dan kodrat. Pada keluarga inilah anak mendapat asuhan dari orang tua
menuju ke arah perkembangannya.
Keluarga menjalankan peranannya sebagai suatu sistem
sosial yang dapat membentuk karakter serta moral seorang anak. Keluarga tidak
hanya sebuah wadah tempat berkumpulnya ayah, ibu, dan anak. Sebuah keluarga
sesungguhnya lebih dari itu. Keluarga merupakan tempat ternyaman bagi anak.
Berawal dari keluarga segala sesuatu berkembang. Kemampuan untuk
bersosialisasi, mengaktualisasikan diri, berpendapat, hingga perilaku yang
menyimpang. Selain sebagai tempat berlindung, keluarga juga memiliki fungsi
sebagai berikut:
- Mempersiapkan anak-anak
bertingkah laku sesuai dengan niai-nilai dan norma-norma aturan-aturan
dalam masyarakat dimana keluarga tersebut berada (sosialisasi).
- Mengusahakan terselenggaranya kebutuhan ekonomi rumah tangga
(ekonomi), sehingga keluarga sering disebut unit produksi.
- Melindungi anggota keluarga
yang tidak produksi lagi (jompo).
- Meneruskan keturunan
(reproduksi).
Atau secara lebih rinci dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Ada beberapa fungsi yang dapat dijalankan keluarga, sebagai berikut :
- Fungsi biologis
- Untuk meneruskan keturunan.
- Memelihara dan membesarkan
anak.
- Memenuhi kebutuhan gizi
keluarga.
- Memelihara dan merawat anggota keluarga.
- Fungsi Psikologis
- Memberikan kasih
sayang dan rasa aman.
- Memberikan
perhatian diantara anggota keluarga.
- Membina
pendewasaan kepribadian anggota keluarga.
- Memberikan
Identitas anggota keluarga.
3. Fungsi
Sosialisasi
- Membina sosialisasi
pada anak.
- Membentuk
norma-norma perilaku sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
- Meneruskan
nilai-nilai budaya keluarga.
4. Fungsi
Ekonomi
- Mencari
sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
- Pengaturan
penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
- Menabung untuk
memenuhi kebutuhan keluarga di masa yang akan datang,
misalnya pendidikan anak-anak, jaminan hari tua, dsb.
5. Fungsi
Pendidikan
a. Menyekolahkan anak untuk
memberi pengetahuan, keterampilan dan membentuk perilaku anak sesuai
bakat dan minat yang dimilikinya.
b. Mempersiapkan anak-anak
untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi peranannya sebagai
orang dewasa.
c. Mendidik anak sesuai
dengan tingkat perkembangannya. Ahli lain membagi fungsi keluarga, sebagai
berikut :
- Fungsi Pendidikan : Dalam hal ini
tugas keluarga adalah mendidik dan menyekolahkan anak untuk
mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak bila kelak dewasa.
- Fungsi Sosialisasi anak : Tugas
keluarga dalam menjalankan fungsi ini adalah bagaimana keluarga
mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik.
- Fungsi Perlindungan: Tugas keluarga
dalam hal ini adalah melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak
baik sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman.
- Fungsi Perasaan : Tugas keluarga
dalam hal ini adalah menjaga secara instuitif merasakan perasaan
dan suasana anak dan anggota yang lain dalam berkomunikasi dan
berinteraksi antar sesama anggota keluarga. Sehingga saling pengertian
satu sama lain dalam menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga.
- Fungsi Religius : Tugas keluarga
dalam fungsi ini adalah memperkenalkan dan mengajak anak dan
anggota keluarga yang lain dalam kehidupan beragama, dan tugas kepala
keluarga untuk meyakinkan bahwa ada kehidupan lain setelah dunia
ini.
6. Fungsi Ekonomis
Tugas kepala keluarga dalam hal ini adalah
mencari sumber-sumber kehidupan dalam memenuhi fungsi-fungsi keluarga yang
lain, kepala keluarga bekerja untuk mencari penghasilan, mengatur penghasilan
itu, sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga.
7. Fungsi
Rekreatif
Tugas keluarga dalam fungsi rekreasi ini
tidak harus selalu pergi ke tempat rekreasi, tetapi yang penting bagaimana
menciptakan suasana yang menyenangkan dalam keluarga sehingga dapat dilakukan
di rumah dengan cara nonton TV bersama, bercerita tentang pengalaman
masing-masing, dsb.
8. Fungsi Biologis
Tugas keluarga yang
utama dalam hal ini adalah untuk meneruskan keturunan sebagai generasi penerus.
Menurut Kingslet Davis menyebutkan
bahwa fungsi keluarga ialah sebagai berikut :
- Reproduction, yaitu menggantikan apa yang
telah habis atau hilang untuk kelestarian sistem sosial yang
bersangkutan.
- Maintenance, yaitu perawatan dan
pengasuhan anak hingga mereka mampu berdiri sendiri.
- Placement, memberi posisi sosial kepada
setiap anggotanya, baik itu posisi sebagai kepala rumah tangga maupun
anggota rumah tangga, atau pun posisi-posisi lainnya.
- Sosialization, pendidikan serta pewarisan nilai-nilai
sosial sehingga anak-anak kemudian dapat diterima dengan wajar
sebagai anggota masyarakat.
- Economics, mencukupi kebutuhan akan
barang dan jasa dengan jalan produksi, distribusi, dan konsumsi yang dilakukan di
antara anggota keluarga.
- Care of the ages, perawatan bagi anggota
keluarga yang telah lanjut usianya.
- Political center, memberikan posisi politik
dalam masyarakat tempat tinggal.
- Physical protection, memberikan perlindungan fisik
terutama berupa sandang, pangan, dan mperumahan bagi anggotanya.
Bila seorang anak dibesarkan pada keluarga pembunuh,
maka ia akan menjadi pembunuh. Bila seorang anak dibesarkan melalui cara-cara
kasar, maka ia akan menjadi pemberontak. Akan tetapi, bila seorang anak dibesarkan
pada keluarga yang penuh cinta kasih sayang, maka ia akan tumbuh menjadi
pribadi cemerlang yang memilki budi pekerti luhur. Keluarga sebagai tempat
bernaung, merupakan wadah penempaan karakter individu.
Pada masa sekarang ini, pengaruh keluarga mulai
melemah karena terjadi perubahan sosial, politik, dan budaya. Keadaan ini
memiliki andil yang besar terhadap terbebasnya anak dari kekuasaan orang tua.
Keluarga telah kehilangan fungsinya dalam pendidikan. Tidak seperti fungsi
keluarga pada masa lalu yang merupakan kesatuan produktif sekaligus konsumtif.
Ketika kebijakan ekonomi pada zaman modern sekarang ini mendasarkan pada aturan
pembagian kerja yang terspesialisasi secara lebih ketat, maka sebagian tanggung
jawab keluarga beralih kepada orang-orang yang menggeluti profesi tertentu.
Uraian tersebut cukup menjelaskan apa arti keluarga
yang sesungguhnya. Keluarga bukan hanya wadah untuk tempat berkumpulnya ayah,
ibu, dan anak. Lebih dari itu, keluarga merupakan wahana awal pembentukan moral
serta penempaan karakter manusia. Berhasil atau tidaknya seorang anak dalam
menjalani hidup bergantung pada berhasil atau tidaknya peran keluarga dalam
menanamkan ajaran moral kehidupan. Keluarga lebih dari sekedar pelestarian
tradisi, kelurga bukan hanya menyangkut hubungan orang tua dengan anak,
keluarga merupakan wadah mencurahkan segala inspirasi. Keluarga menjadi tempat
pencurahan segala keluh kesah. Keluarga merupakan suatu jalinan cinta kasih
yang tidak akan pernah terputus.
B. Pengaruh / Peran Keluarga Terhadap Perkembangan Karakter Seorang Anak
Menurut Papalia dan Old (1987), masa anak-anak dibagi
menjadi lima tahap yaitu :
1.
Masa Prenatal, yaitu diawali dari masa konsepsi sampai masa lahir.
2. Masa Bayi dan Tatih, yaitu saat usia
18 bulan pertama kehidupan merupakan masa bayi, di atas usia 18 bulan pertama
kehidupan merupakan masa bayi, di atas usia 18 bulan sampai tiga tahun merupakan
masa tatih. Saat tatih inilah, anak-anak menuju pada penguasaan bahasa dan
motorik serta kemandirian.
3. Masa kanak-kanak pertama, yaitu
rentang usia 3-6 tahun, masa ini dikenal juga dengan masa prasekolah.
4. Masa kanak-kanak kedua, yaitu usia
6-12 tahun, dikenal pula sebagai masa sekolah.
5. Anak-anak telah mampu menerima
pendidikan formal dan menyerap berbagai hal yang ada di lingkungannya.
6. Masa remaja, yaitu rentang usia
12-18 tahun. Saat anak mencari identitas dirinya dan banyak menghabiskan
waktunya dengan teman sebayanya serta berupaya lepas dari kungkungan orang tua.
Peran
kedua orang tua dalam mewujudkan kepribadian anak antara lain:
1. Kedua orang
tua harus mencintai dan menyayangi anak-anaknya. Ketika anak-anak mendapatkan
cinta dan kasih sayang cukup dari kedua orang tuanya, maka pada saat mereka
berada di luar rumah dan menghadapi masalah-masalah baru mereka akan bisa
menghadapi dan menyelesaikannya dengan baik. Sebaliknya jika kedua orang tua
terlalu ikut campur dalam urusan mereka atau mereka memaksakan anak-anaknya
untuk menaati mereka, maka perilaku kedua orang tua yang demikian ini akan
menjadi penghalang bagi kesempurnaan kepribadian mereka.
2. Kedua orang
tua harus menjaga ketenangan lingkungan rumah dan menyiapkan ketenangan jiwa
anak-anak. Karena hal ini akan menyebabkan pertumbuhan potensi dan kreativitas
akal anak-anak yang pada akhirnya keinginan dan Kemauan mereka menjadi kuat dan
hendaknya mereka diberi hak pilih.
3. Saling menghormati antara kedua
orang tua dan anak-anak. Hormat di sini bukan berarti bersikap sopan secara
lahir akan tetapi selain ketegasan kedua orang tua, mereka harus memperhatikan
keinginan dan permintaan alami dan fitri anak-anak. Saling menghormati artinya
dengan mengurangi kritik dan pembicaraan negatif sekaitan dengan kepribadian
dan perilaku mereka serta menciptakan iklim kasih sayang dan keakraban, dan
pada waktu yang bersamaan kedua orang tua harus menjaga hak-hak hukum mereka
yang terkait dengan diri mereka dan orang lain. Kedua orang tua harus bersikap
tegas supaya mereka juga mau menghormati sesamanya.
4. Mewujudkan
kepercayaan. Menghargai dan memberikan kepercayaan terhadap anak-anak berarti
memberikan penghargaan dan kelayakan terhadap mereka, karena hal ini akan
menjadikan mereka maju dan berusaha serta berani dalam bersikap. Kepercayaan
anak-anak terhadap dirinya sendiri akan menyebabkan mereka mudah untuk menerima
kekurangan dan kesalahan yang ada pada diri mereka. Mereka percaya diri dan
yakin dengan kemampuannya sendiri. Dengan membantu orang lain mereka merasa
keberadaannya bermanfaat dan penting.
5. Mengadakan
perkumpulan dan rapat keluarga (kedua orang tua dan anak). Dengan melihat
keingintahuan fitrah dan kebutuhan jiwa anak, mereka selalu ingin tahu tentang
dirinya sendiri. Tugas kedua orang tua adalah memberikan informasi tentang
susunan badan dan perubahan serta pertumbuhan anak-anaknya terhadap mereka.
Selain itu kedua orang tua harus mengenalkan mereka tentang masalah keyakinan,
akhlak dan hukum-hukum fikih serta kehidupan manusia. Jika kedua orang tua
bukan sebagai tempat rujukan yang baik dan cukup bagi anak-anaknya maka
anak-anak akan mencari contoh lain; baik atau baik dan hal ini akan
menyiapkan sarana penyelewengan anak.
Yang paling penting adalah bahwa ayah dan ibu adalah satu-satunya teladan yang pertama bagi anak-anaknya dalam pembentukan kepribadian, begitu juga anak secara tidak sadar mereka akan terpengaruh, maka kedua orang tua di sini berperan sebagai teladan bagi mereka baik teladan pada tataran teoritis maupun praktis. Ayah dan ibu sebelum mereka mengajarkan nilai-nilai agama dan akhlak serta emosional kepada anak-anaknya, pertama mereka sendiri harus mengamalkannya.
Yang paling penting adalah bahwa ayah dan ibu adalah satu-satunya teladan yang pertama bagi anak-anaknya dalam pembentukan kepribadian, begitu juga anak secara tidak sadar mereka akan terpengaruh, maka kedua orang tua di sini berperan sebagai teladan bagi mereka baik teladan pada tataran teoritis maupun praktis. Ayah dan ibu sebelum mereka mengajarkan nilai-nilai agama dan akhlak serta emosional kepada anak-anaknya, pertama mereka sendiri harus mengamalkannya.
C. Pentingnya Pendidikan Karakter Bagi Anak
Pentingnya pendidikan karakter di sekolah adalah
untuk membantu memaksimalkan kemampuan kognitif pada anak. Pada dasarnya,
pendidikan yang diterapkan pada sekolah-sekolah menuntut untuk dapat
memaksimalkan kemampuan dan kecakapan kognitif. Jika memandang pengertian
seperti yang telah dijelaskan di atas, ada sebuah hal yang sangat penting yang
sering kali terlewatkan oleh para guru, yaitu mengenai pendidikan karakter.
Pendidikan karakter memiliki peran yang amat penting untuk menyeimbangkan
antara kemampuan kognitif dengan kemampuan psikologis.
Mengapa perlu pendidikan karakter?
Ada beberapa penamaan nomenklatur
untuk merujuk kepada kajian pembentukan karakter peserta didik, tergantung
kepada aspek penekanannya. Di antaranya yang umum dikenal ialah: Pendidikan
Moral, Pendidikan Nilai, Pendidikan Relijius, Pendidikan Budi Pekerti, dan
Pendidikan Karakter itu sendiri. Masing-masing penamaan kadang-kadang digunakan
secara saling bertukaran (inter-exchanging),
misal pendidikan karakter
juga merupakan pendidikan nilai atau pendidikan relijius itu sendiri
(Kirschenbaum, 2000).
Sepanjang sejarahnya, di seluruh dunia ini, pendidikan
pada hakekatnya memiliki dua tujuan, yaitu membantu manusia untuk menjadi
cerdas dan pintar (smart), dan membantu mereka menjadi manusia yang baik
(good). Menjadikan manusia cerdas dan pintar, boleh jadi mudah melakukannya,
tetapi menjadikan manusia agar menjadi orang yang baik dan bijak, tampaknya
jauh lebih sulit atau bahkan sangat sulit. Dengan demikian, sangat wajar
apabila dikatakan bahwa problem moral merupakan persoalan akut atau penyakit
kronis yang mengiringi kehidupan manusia kapan dan di mana pun.
Kenyataan tentang akutnya problem
moral inilah yang kemudian menempatkan pentingnya penyelengaraan pendidikan
karakter. Rujukan kita sebagai orang yang beragama (Islam misalnya) terkait
dengan problem moral dan pentingnya pendidikan karakter dapat dilihat dari
kasus moral yang pernah menimpa kedua
Sebagai kajian akademik, pendidikan
karakter tentu saja perlu memuat syarat-syarat keilmiahan akademik seperti
dalam konten (isi),
pendekatan dan metode kajian. Di sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat
terdapat pusat-pusat kajian pendidikan karakter (Character Education
Partnership; International Center for Character Education). Pendidikan karakter
berkembang dengan pendekatan kajian multidisipliner: psikologi, filsafat
moral/etika, hukum, sastra/humaniora.
Sebagai aspek kepribadian, karakter merupakan cerminan dari kepribadian
secara utuh dari seseorang: mentalitas, sikap dan perilaku. Pendidikan karakter
semacam ini lebih tepat sebagai pendidikan budi pekerti. Pembelajaran tentang
tata-krama, sopan santun, dan adat-istiadat, menjadikan pendidikan karakter
semacam ini lebih menekankan kepada perilaku-perilaku aktual tentang bagaimana
seseorang dapat disebut berkepribadian baik atau tidak baik berdasarkan
norma-norma yang bersifat kontekstual dan kultural.
Menurunnya kualitas moral dalam
kehidupan manusia Indonesia dewasa ini, terutama di kalangan siswa, menuntut
deselenggarakannya pendidikan karakter. Sekolah dituntut untuk memainkan peran
dan tanggungjawabnya untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai yang baik
dan membantu para siswa membentuk dan membangun karakter mereka dengan
nilai-nilai yang baik. Pendidikan karakter diarahkan untuk memberikan tekanan
pada nilai-nilai tertentu –seperti rasa hormat, tanggungjawab, jujur, peduli,
dan adil– dan membantu siswa untuk memahami, memperhatikan, dan melakukan
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan mereka sendiri.
Pengertian
Pendidikan Karakter
Kata character berasal dari bahasa Yunani charassein, yang
berarti to engrave (melukis, menggambar), seperti orang yang melukis kertas,
memahat batu atau metal. Berakar dari pengertian yang seperti itu, character
kemudian diartikan sebagai tanda atau ciri yang khusus, dan karenanya
melahirkan sutu pandangan bahwa karakter adalah pola perilaku yang bersifat
individual, keadaan moral seseorang?. Setelah melewati tahap anak-anak, seseorang
memiliki karakter, cara yang dapat diramalkan bahwa karakter seseorang
berkaitan dengan perilaku yang ada di sekitar dirinya (Kevin Ryan, 1999: 5).
Williams & Schnaps (1999) mendefinisikan
pendidikan karakter sebagai
“any deliberate approach by which school
personnel, often in conjunction with parents and community members, help
children and youth become caring, principled and responsible”.
Maknanya dari pengertian pendidikan karakter
yaitu merupakan berbagai usaha yang dilakukan oleh para personil sekolah,
bahkan yang dilakukan bersama-sama dengan orang tua dan anggota
masyarakat, untuk membantu anak-anak dan remaja agar menjadi atau memiliki
sifat peduli, berpendirian, dan bertanggung jawab.
Lebih lanjut Williams (2000)
menjelaskan bahwa makna dari pengertian pendidikan karakter tersebut
awalnya digunakan oleh National
Commission on Character Education (di Amerika) sebagai suatu
istilah payung yang meliputi berbagai pendekatan, filosofi, dan program.
Pemecahan masalah, pembuatan keputusan, penyelesaian konflik merupakan
aspek yang penting dari pengembangan karakter moral. Oleh karena itu,
di dalam pendidikan karakter
semestinya memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalami sifat-sifat
tersebut secara langsung.
Tujuh Alasan Perlunya Pendidikan
Karakter
Menurut
Lickona ada tujuh alasan mengapa pendidikan
karakter itu harus disampaikan:
- Merupakan
cara terbaik untuk menjamin anak-anak (siswa) memiliki kepribadian yang
baik dalam kehidupannya;
- Merupakan
cara untuk meningkatkan prestasi akademik;
- Sebagian
siswa tidak dapat membentuk karakter yang kuat bagi dirinya di tempat
lain;
- Mempersiapkan
siswa untuk menghormati pihak atau orang lain dan dapat hidup dalam
masyarakat yang beragam;
- Berangkat
dari akar masalah yang berkaitan dengan problem moral-sosial, seperti ketidaksopanan,
ketidakjujuran, kekerasan, pelanggaran kegiatan seksual, dan etos kerja
(belajar) yang rendah;
- Merupakan
persiapan terbaik untuk menyongsong perilaku di tempat kerja; dan
- Mengajarkan
nilai-nilai budaya merupakan bagian dari kerja peradaban.
Bagaimana Mendidik Aspek
Karakter?
Pendidikan bukan
sekedar berfungsi sebagai media untuk mengembangkan kemampuan semata,
melainkan juga berfungsi untuk membentuk watak dan peradaban bangsa yang
bermatabat. Dari hal ini maka sebenarnya pendidikan watak (karakter) tidak
bisa ditinggalkan dalam berfungsinya pendidikan. Oleh karena itu, sebagai
fungsi yang melekat pada keberadaan pendidikan nasional untuk membentuk
watak dan peradaban bangsa, pendidikan karakter merupakan manifestasi dari
peran tersebut. Untuk itu, pendidikan karakter menjadi tugas dari semua
pihak yang terlibat dalam usaha pendidikan (pendidik).
Secara umum materi tentang
pendidikan karakter dijelaskan oleh Berkowitz, Battistich,
dan Bier (2008: 442) yang melaporkan bahwa materi pendidikan
karakter sangat luas. Dari hasil penelitiannya dijelaskan bahwa paling
tidak ada 25 variabel yang dapat dipakai sebagai materi pendidikan
karakter. Namun, dari 25 variabel tersebut yang paling umum dilaporkan dan
secara signifikan hanya ada 10, yaitu:
- Perilaku seksual
- Pengetahuan tentang karakter (Character
knowledge)
- Pemahaman tentang moral sosial
- Ketrampilan pemecahan masalah
- Kompetensi emosional
- Hubungan dengan orang lain (Relationships)
- Perasaan keterikan dengan sekolah (Attachment
to school)
- Prestasi akademis
- Kompetensi berkomunikasi
- Sikap kepada guru (Attitudes
toward teachers).
Otten (2000) menyatakan bahwa
pendidikan karakter yang diintegrasikan ke dalam seluruh masyarakat
sekolah sebagai suatu strategi untuk membantu mengingatkan kembali siswa
untuk berhubungan dengan konflik, menjaga siswa untuk tetap selalu siaga
dalam lingkungan pendidikan, dan menginvestasikan kembali masyarakat untuk
berpartisipasi aktif sebagai warga negara.
Peran
Konselor dalam Pendidikan Karakter di Sekolah
Jika pendidikan karakter
diselenggarakan di sekolah maka konselor sekolah akan menjadi pioner dan
sekaligus koordinator program tersebut. Hal itu karena konselor
sekolah yang memang secara khusus memiliki tugas untuk membantu
siswa mengembangkan kepedulian sosial dan masalah-masalah kesehatan
mental,
Konselor sekolah harus mampu
melibatkan semua pemangku kepentingan (siswa, guru bidang studi, orang
tua, kepala sekolah) di dalam mensukseskan pelaksanaan programnya. Mulai
dari program pelayanan dasar yang berupa rancangan kurikulum bimbingan
yang berisi materi tentang pendidikan karakter, seperti kerja
sama, keberagaman, kejujuran, menangani kecemasan, membantu orang lain,
persahabatan, cara belajar, menejemen konflik, pencegahan penggunaan
narkotika, dan sebagainya. Program perencanaan individual berupa kemampuan
untuk membuat pilihan, pembuatan keputusan, dan seterusnya. Program
pelayanan responsif yang antara lain berupa kegiatan konseling individu,
konseling kelompok.
D. Orang Tua Dapat Mengerti Lingkungan Yang Baik Untuk Anak.
Seorang anak tentunya tidak langsung
dapat mengenal alam sekitar mengerti dan memahami segalanya dengan sendirinya,
melainkan dibutuhkan pendidikan keluarga, pendidikan kelembagaan dan pendidikan
di masyarakat. Keluarga sebagai komunitas pertama memiliki peran penting dalam
pembangunan mental dan karakteristik sang anak. Di dalam keluarga, anak belajar
dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Interaksi yang terjadi bersifat
dekat dan intim, segala sesuatu yang diperbuat anak mempengaruhi keluarganya,
dan sebaliknya apa yang didapati anak dari keluarganya akan mempengaruhi
perkembangan jiwa, tingkah laku, cara pandang dan emosinya. Dengan demikian
pola asuh yang diterapkan orang tua dalam keluarganya memegang peranan penting
bagi proses interaksi anak di lingkungan masyarakat kelak.
“Kehidupan keluarga yang senantiasa
dibingkai dengan lembutnya cinta kasih dan nuansa yang harmonis, dari sana akan hadirlah individi-individu dengan
tumbuh kembang yang wajar sebagaimana diharapkan. Sebaliknya keluarga yang
dinding kehidupannya dipahat dengan sentakan-sentakan, broken home, broken heart, perlakuan
sadis dan kekejaman tercerai berainya benang-benang kasih sayang dan jalinan
cinta, maka keluarga beginilah yang bakal alias cikal bakal menjadi suplayer
limbah-limbah kehidupan sosial dan sampah-sampah masyarakat yang menyedihkan.
Tidak dapat dipungkiri, jika dasar
pendidikan yang menjadi landasan dan tongkat estafet pendidikan anak
selanjutnya adalah pendidikan keluarga. Apabila pondasi pendidikan dibangun
dengan kuat maka pembangunan pendidikan selanjutnya akan mudah dan berhasil
dengan baik, sebaliknya jika pondasi pendidikan lemah dan berantakan, sulit
kiranya membangun pendidikan selanjutnya.
Gilbert Highest dalam Jalaludin
mengatakan bahwa: kebiasaan yang dimiliki anak-anak sebagian besar terbentuk
oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun tidur hingga ke saat akan tidur
kembali, anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari lingkungan
keluarga (Gilbert Highest, 1961: 78).
Dari apa yang diungkapkan Gilbert,
kita dapat mengetahui memang pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah
dari keluarga, bagaimana orang tua berprilaku akan selalu menjadi perhatian
anak, dan akan ditanamkan di benaknya. Anak lahir berdasarkan fitrahnya. Jika
pendidikan yang baik diterapkan orang tuanya maka banyak hal baik yang dapat
ditiru anak tersebut dalam prilakunya. Lain halnya dengan anak yang dididik
dengan cemoohan dan ejekan dari setiap kegagalan yang ia dapati, maka anak
tersebut akan selalu hidup dalam ketakutan dan kegelisahan disebabkan hasil
perbuatannya yang tidak memuaskan orang tuanya.
Dalam keluarga, seorang anak akan
mendapati hal-hal yang tidak didapati di lingkungan formal maupun lingkungan
masyarakat, seperti perhatian yang penuh, kasih sayang, belaian hangat kedua
orang tua dan banyak hal lain lagi. Berbeda dengan lingkungan sekolah dan
masyarakat, keluarga menjadi motor penggerak keberhasilan anak dalam mencapai
inspirasi peergaulannya dengan teman-temannya serta lingkungan masyarakat
sekitar. Orang tua yang menanamkan rasa kasih sayang dalam keluarga akan
menimbulkan keharmonisan dalam interaksi dengan sang anak. Segala permasalahan
yang dijumpai anak akan mudah diketahui melalui pendekatan secara personal.
Seorang anak akan merasa termotivasi
jika hasil jerih payah dan prestasinya dihargai orang tua, sehingga
keharmonisan hubungan keduanya memiliki peranan penting dalam perkembangan anak
tersebut dalam peningkatan prestasi belajar. Akan tetapi terkadang kita jumpai
orang tua yang memaksakan kehendaknya agar anak dapat memenuhi keinginan orang
tuanya itu. Hal ini akan menimbulkan rasa keterpaksaan pada diri anak baik
dalam bidang prestasi, tugas maupun kewajibannya. Rasa keterpaksaan itu akan
mengakibatkan timbulnya rasa malas dan mematikan rasa kesadaran diri dalam
berbuat. Banyak kita dapati seorang anak takut gagal dalam berprestasi, sebab
dampak yang akan didapati dari kegagalannya berupa hukuman maupun siksaan dari
orang tuannya. Bagi sebagian anak yang tidak mendapatkan perhatian dari orang
tuannya, berprestasi adalah sesuatu hal yang tidak penting baginya sebab segala
tindakan yang ia lakukan tidak pernah dihiraukan oleh orang tuanya, sehingga
berprestasi ataupun tidak merupakan suatu hal yang lumrah dan biasa saja.
Syamsu Yusuf mengatakan: “Keluarga
yang fungsional ditandai oleh karakteristik: (a) saling memperhatikan dan
mencintai (b) bersikap terbuka (c) orang tua mau
mendengarkan anak, menerima perasaannya dan menghargai pendapatnya (d) ada “sharing” masalah atau pendapat
diantara anggota keluarga (e) mampu berjuang mengatasi hidupnya (f)
saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi (g) orang tua melindungi/mengayomi anak
(h) komunikasi antara anggota keluarga berlangsung dengan baik (i) keluarga
memenuhi kebutuhan psikososial anak dan mewariskan nilai-nilai budaya (j) mampu
beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.
Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, dalam keluarga terjadi proses interaksi antara anak dan orang tua
selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Proses pengasuhan tersebut seperti
mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai
kematangan sesuai yang diharapkan. Penggunaan pola asuh tertentu memberikan
dampak dalam mewarnai setiap perkembangan terhadap bentuk-bentuk prilaku
tertentu pada anak, seperti prilaku agresif yang sering terjadi.
Keharmonisan dan rasa demokrasi tidak
selalu seperti yang kita harapkan, hingga saat sekarang ini masih banyak orang
tua yang menerapkan kekerasan dalam mendidik anaknya. Mereka beranggapan
pendidikan yang keras akan dapat mewujudkan keinginan dan harapannya, seperti
prestasi, budi pekerti dan lain-lain. Namun sebaliknya kenyataan yang kita jumpai
justru bertolak belakang dengan harapan-harapan yang diinginkan. Anak yang
dididik keras akan timbul rasa tertekan dan takut, ada juga anak yang diberi
kebebasan sehingga anak tersebut malas dan enggan untuk mencapai prestasi yang
lebih baik, sebab tidak adanya perhatian dan tanggapan dari orang tuannya atas
apa yang yang diraihnya.
Pola Asuh
Pola asuh berasal dari kata pola dan asuh. Dalam
kamus besar bahasa Indonesia kata pola mempunyai arti gambar yang dipakai
untuk contoh batik; corak batik atau tenun; ragi atau suri; potongan kertas
yang dipakai model; sistem; cara kerja; – permainan – pemerintahan, bentuk
struktur yang tetap- kalimat; dalam puisi, adalah sajak yang dinyatakan dengan
bunyi gerak kata atau arti. Sedangkan Asuh berarti menjaga merawat dan
mendidik anak kecil; membimbing membantu dan melatih, dsb; memimpin mengepalai,
menyelenggarakan suatu badan atau kelembagaan.
Kegiatan pengasuhan banyak diartikan
sebagai usaha dalam mendidik anak. Orang tua sebagai pendidik memilih pola asuh
yang sesuai dalam mempengaruhi perkembangan anak, serta membimbingnya kepada
kehidupan yang layak dan bermartabat. Proses pengasuhan selalu bersifat dinamis
dalam mencari bentuk atau pola asuh yang lebih efektif dan baik. Banyak para
ahli mengemukakan definisi dan bentuk-bentuk pola asuh yang tepat. Laurrence
Steinburg mendefinisikan; Pengasuhan yang baik adalah pengasuhan yang sesuai
dengan kondisi psikologis dengan unsur-unsur seperti kejujuran, empati,
mengendalikan diri sendiri, kebaikan hati, kerja sama, pengendalian diri, dan
kebahagiaan. Pengasuhan yang baik adalah pengasuhan yang membantu anak berhasil
di sekolah, mendukung perkembangan keingintahuan intelektual, motivasi
belajar, dan keinginan untuk mencapai sesuatu. Pengasuhan yang baik adalah yang
menjauhkan anak dari prilaku anti sosial, melakukan pelanggaran hukum ringan,
serta pemakaian narkoba dan alkohol. Pengasuhan yang baik adalah pengasuhan
yang membantu melindungi anak dari berkembangnya keresahan, depresi, gangguan
makan dan berbagai masalah psikologi lain.
Secara umum dari pengertian diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa pengasuhan adalah kegiatan dalam rangka
mendidik, membimbing, mengarahkan anak, baik secara fisik maupun mental,
keyakinan hidup dan moral. Dalam hal ini ayah dan ibu memiliki peran sebagai
seorang pendidik dalam lingkungan keluarga dalam upaya mengarahkan anak dalam
prilaku dan norma-norma yang baik.
Tingkah laku orang tua selalu menjadi
tolak ukur anak dalam proses pendidikan dalam keluarga. Anak akan meniru orang tua
dalam bersikap dan berprilaku baik hal tersbut disadari ataupun tidak. Semenjak
dilahirkan ke dunia, anak akan meniru prilaku orang tua dan tak ada yang dapat
dilakukan orang tua untuk mencegah hal tersebut. Kecenderungan seorang anak
menirukan segala sesuatu yang muncul dari prilaku orang tua disebabkan karena
mereka memiliki keinginan yang kuat untuk tumbuh berkembang menjadi seperti ibu
dan ayahnya. Tidak jarang kita jumpai orang tua yang melarang anaknya
bertindak agresif, namun tidak disadari orang tua tersebut melakukannya
sehingga tidak menutup kemungkinan anak itu melakukan tindakan yang sama pada
teman atau pun keluarga yang lain.
Tugas mendidik dan mengasuh anak tidak
sepenuhnya dapat dilaksanakan dalam keluarga, seperti pendidikan ketrampilan,
pengetahuan, wawasan dan pengalaman. Oleh sebab itu keluarga membutuhkan
lembaga pendidikan lain yaitu pendidikan sekolah. Dengan demikian pendidikan di
sekolah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan keluarga.
Pendidikan di sekolah juga merupakan penghubung antara kehidupan anak dalam
keluarga dan kehidupan di masyarakat.
Akan tetapi masuknya anak ke
pendidikan sekolah tidak berarti orang tua telah selesai dalam pengasuhan,
justru sekolah menjadi mitra bagi orang tua dalam menyikapi
permasalahan-permasalahan yang ada seiring kegiatan pengasuhan tersebut. Orang
tua akan menjadi lebih yakin dan mantap dalam mengikuti perkembangan anaknya.
Rasa yang sama juga akan muncul pada diri anak seiring keikutsertaan orang tua
dalam pendidikan sekolah. Hal penting yang dapat dilihat dari keikutsertaan
orang tua dalam pendidikan sekolah adalah orang tua dapat mengetahui segala
bentuk permasalahan anak di sekolah sehingga dapat bekerjasama dengan
guru untuk menyelesaikannya.
Keterlibatan orang tua dalam sekolah
bukan hanya dengan ikut membantu anak dalam mengerjakan tugas rumahnya,
melainkan lebih pada hubungan wali siswa-sekolah, baik pada komite sekolah,
bimbingan penyuluhan atau hal-hal yang berkenaan dengan pendidikan anak di
sekolah. Perhatian orang tua terhadap anak dapat diwujudkan dengan membangun
kebiasaan bekerja secara teratur dan disiplin pada setiap tugas dan kewajiban
sebagai seorang siswa.
Adapun dalam lingkungan masyarakat,
pergaulan dengan teman-teman sebaya memiliki pengaruh yang kuat pada prilaku
anak. Orang tua hendaknya dapat memberikan perhatian yang baik pula. Pada masa
kecil orang tua dapat mengatur pergaulan anak dan mengarahkannya kepada
teman-teman yang dianggap baik. Begitu pula pada masa remaja orang tua dapat
mengarahkan agar bergaul dengan anak-anak yang telah jelas memiliki latar
belakang baik dan prilkau yang baik pula.
Adapun
pengasuhan orang tua di dalam keluarga ada tiga pola:
1. Pola Asuh Otoriter
2. Pola Asuh Permisip
3. Pola Asuh Demokrasi
Pola Asuh Otoriter (PAO)
Setiap orang tua pastilah menghendaki anaknya
menjadi orang yang berguna dan mencapai kebahagiaan kelak. Akan tetapi dalam
mengasuh tidak jarang kita mendapati orang tua yang mengambil langkah dan sikap
yang otoriter dalam mendidik anaknya. Seringkali orang tua lebih mengedepankan
kuatnya keinginan dan cita-cita agar anak meraih keberhasilan di masa datang.
Mereka selalu berfikir apa yang meraka lakukan semata-mata demi kebaikan sang
anak dan mengesampingkan perasaan dan kondisi anak tersebut.
Pola asuh otoriter juga sangat berpengaruh pada
perkembangan mental anak. Orang tua memiliki kebutuhan kuat untuk memegang
kendali, namun pada dasarnya sikap otoriter dimaksudkan untuk hal-hal yang
baik. Orang tua tidak menginginkan anaknya mengalami kegagalan, bahaya, ataupun
sesuatu buruk yang menimpanya, namun perkembangan mental anak akan terganggu,
sebagaimana diungkapkan Laurence berikut: “Pada akhirnya satu-satunya cara agar
anak anda bisa benar-benar sehat, bahagia dan sukses adalah jika anda
memberikan kebebasan untuk mencoba dan membuat keputusannya sendiri meskipun
itu membuka kemungkinan dia akan sakit hati dan kecewa. Pengasuhan yang baik
melibatkan keseimbangan antara keterlibatan dan kemandirian. Jika keduanya
dilakukan secara berlebihan- jika orang tua tidak peduli atau terlalu ikut
campur- maka kesehatan mental akan rusak.
Banyak hal negatif yang akan timbul pada diri anak
akibat sikap otoriter yang diterapkan orang tua, seperti takut, kurang memiliki
keyakinan diri, menjadi pembangkang, penentang ataupun kurang aktif. Orang tua
seperti itu selalu memberikan pengawasan berlebih pada anak sehingga hal-hal
yang kecil pun harus terlaksana sesuai keinginannya. Disisi lain, orang tua
tersebut lebih seperti polisi yang selalu memberi pengawasan dan aturan-aturan
tanpa mau mengerti anak.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa diantara
hal-hal negatif yang akan timbul adalah sikap penentang pada anak. Dari
kelompok penentang dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe.
Pertama,
tipe penentang aktif. Mereka menjadi keras kepala, suka membantah dan
membangkang apa saja kehendak orang tua. Mereka marah karena orang tua tak
menghargai dirinya sebagai manusia. Untuk melawan jelas tak bisa karena sang
“polisi” punya kekuatan besar. Maka jalan yang dipilihnya adalah menyakiti
hatinya.
Kedua,
tipe pemberontak dengan cara halus, sadar bahwa tubuh kecilnya tidak mampu
menandingi kekuatan “Polisi” yang tak lain orang tuanya sendiri mereka memilih
sikap diam, tapi tidak juga mengikuti perintah.
Ketiga,
tipe selalu terlambat. Anak-anak seperti itu baru mau mengerjakan suatu
perintah setelah terlebih dahulu melihat orang tuannya jengkel, marah, dan
mengomel karena kemalasannya.
Pola Asuh Permisif (PAP)
Orang tua yang baik tentunya tidak pernah bercita-cita
menjadikan anaknya sebagai sampah masyarakat, tidak berguna dan tidak disiplin.
Namun terkadang kita masih mendapati orang tua yang rela membiarkan anaknya
tanpa bimbingan dan arahan. Anak menjadi tak terarah, dan merasa orang tuanya
telah memberikan kebebasan sepenuhnya pada dirinya, sehingga setiap keputusan
yang ia ambil adalah sepenuhnya hak priadi yang tak seorang pun dapat
mencampurinya.
Dalam pendidikan sekolah, pola asuh permisif yang
diterapkan orang tua akan memberi dampak kurangnya prestasi belajar, anak bisa
saja menjadi malas dan tidak peduli dengan hasil belajar yang ia raih
dikarenakan tidak adanya perhatian dari orang tua. Orang tua merasa tidak mampu
memberikan pendidikan dan pengasuhan dengan baik sehingga menyerahkan
sepenuhnya pendidikan kepada sekolah. Mereka melupakan peran penting dalam
keluarga sebagai pendidik, pengasuh, pembimbing, pemberi motivasi, kasih sayang
dan perhatian.
Seorang anak yang berkembang tanpa batasan dan
aturan dan perhatian akan mengalami ketidakjelasan hidup dan hilangnya contoh
teladan yang berakibat pada beralihnya anak kepada lingkungan, teman atau
orang-orang terdekatnya dan menjadikannya figur. Mengenai pola asuh Permisif,
Diana Braumrind dalam Syamsu Yusuf LN, menjelaskan sikap atau prilaku orang tua
sebagai berikut:
1. Sikap ”Acceptance”nya tinggi, namun kontrolnya
rendah
2. Memberi kebebasan kepada anak untuk menyatakan
dorongan/keinginannya
Profil Prilaku Anak:
1. Bersikap Impulsif dan Agresif
2. Suka memberontak
3. Kurang memiliki rasa percaya diri dan pengendalian
diri
4. Suka mendominasi
5. Tidak jelas arah hidupnya
6. Prestasinya rendah
Dapat disimpulkan bahwa anak yang mendapati
pengasuhan dari orang tuanya dengan pola asuh permisif akan cinderung bersifat
bebas tanpa aturan, dan memiliki emosi yang tidak stabil dan meledak-ledak,
sedangkan orang tua tidak lagi dianggap sebagai sosok yang memiliki peran dan
tauladan baginya. Ia menganggap bahwa apa yang ia raih adalah bersumber dari
pribadinya dan tidak ada yang dapat memberikan aturan maupun larangan.
Pola Asuh Demokrasi (PAD)
Hubungan yang terjalin antara orang tua dan anak
semestinya didasari prinsip saling menghormati dan kasih sayang. Apabila orang
tua selalu mengedepankan pendekatan secara personal dengan curahan kasih
sayang, maka akan terbentuklah kepercayaan yang besar dalam diri anak. Anak
akan bersikap terbuka kepada orang tuanya sehingga segala permasalahan dapat
dicari kunci penyelesaianya. Selain itu orang tua lebih mudah memberi pengarahan
dan nasihat serta meninggalkan cara-cara paksaan dan intimidasi.
Prilaku anak akan terbentuk secara bertahap menuju
kepada kepribadian yang baik. Dorongan yang kuat secara terus-menerus sangat
diharapkan dari orang tua. Sosok orang tua yang demokratis tidak mengedepankan
kepentingan pribadinya, akan tetapi tetap menghargai dan memperhatikan
kepentingan anak sebagai seorang individu diantara komunitas manusia. Dengan
kata lain, orang tua selalu melihat kepentingan bersama sebagai pembatas dari
kebebasan seorang inividu.
Latar belakang pengasuhan yang didapati anak
tentulah sangat berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya, sebab hal-hal
yang ia dapati dari pola pengasuhan orang tuanya akan menjadi bekal sikap dan
prilakunya pada kehidupannya kelak.
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting
dalam upaya mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih
sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan baik agama maupun sosial
budaya yang diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan
anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.
Jadi, sudah jelas bahwa pola asuh demokrasi sangat
memberi dampak positif pada perkembangan anak. Orang tua dapat mencurahkan
kasih sayang dan perhatiannya kepada anak secara baik dan sepenuhnya tanpa
menggunakan cara-cara pemaksaan dan dan kekerasan. Dalam hal ini, orang tua
harus menguasai komunikasi yang tepat dalam melakukan pendekatan agar proses
pengasuhan dapat berjalan baik dan tidak mempengaruhi mental maupun perkembangannya.
Pola asuh demokrasi sangat mirip dengan apa yang
dijelaskan Diana Baumrind Western dan Lioyd, 1994: 359-360; Sigelmen dan
Sheffer, 1995: 396 mengenai hasil penelitiannya melalui observasi dan wawancara
terhadap siswa taman kanak-kanak. Ia menjelaskan tentang parenting stayle Pola
Asuh, diantara tiga tipe; Authoritarian, Permissive, dan Authorotative, tipe
yang yang sama dengan pola asuh demokrasi adalah Authoritative. Beberapa sikap
yang diambil orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak yaitu:
1. Sikap “Acceptance” dan kontrolnya tinggi
2. Bersikap responsive tehadap kebutuhan anak
3. Mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau
pertanyaan
4. Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan
yang baik dan yang buruk.
Profil Prilaku Anak yang ditimbulkan:
1. Bersikap bersahabat
2. Memiliki rasa percaya diri
3. Mampu mengendalikan diri Self Control
4. Bersikap Sopan
5. Mau bekerjasama
6. Memiliki rasa ingin tahunya yang tinggi
7. Mempunyai tujuan/arah hidup yang jelas
8. Berorientasi terhadap prestasi
Dari paparan diatas dapat dilihat bahwa sikap
demokratis orang tua tercermin dari tindakannya mau menghargai pribadi anak,
serta menegur tindakan yang salah dari prilakunya secara baik-baik seperti yang
dikatakan Irawati Istadi: “Harus dibedakan antara pribadi anak dengan prilaku
bisa saja salah, tetapi pribadi anak tetap senantiasa baik.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan dari peran keluarga dalam
mensukseskan pendidikan adalah keluarga merupakan tempat pendidikan pertama
dari anak. Dimana anak mendapatkan pendidikan sejak dalam kandungan sampai
dengan mendapatkan pendidikan formal.
Dalam mensukseskan pendidikan, keluarga
berperan dalam memberikan pendampingan dan memberikan pilihan kepada anaknya
untuk masalah pendidikan yang tepat sesuai dengan karakteristik dari anak. Di
samping itu, penciptaan suasana yang nyaman dan aman dari keluarga kepada
anaknya akan memberikan motivasi keluarga kepada anak dalam menempuh
pendidikannya.
Saran
Orang tua merupakan panutan bagi anak-anaknya, untuk itu
sebaiknya orang tua dapat menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Orang tua
juga harus membuka diri terhadap perkembangan zaman dan teknologi saat ini.
Anak-anak memiliki pemikiran yang kritis terhadap sesuatu yang baru. Bila orang
tua tidak membuka diri terhadap perkembangan yang
ada, kelak akan menuai kesulitan dalam menjawab pertanyaan dari anak. Pada
akhirnya berbuah kebohongan dan secara tidak langsung menanamkannya pada anak.
DAFTAR PUSTAKA
https://wimelimonica.wordpress.com/peran-keluarga-terhadap-perkembangan-karakter-anak/
http://shindy-intan.blogspot.co.id/2012/10/peranan-keluarga-dalam-pembentukan.html
http://www.slideshare.net/dianastandjung/pengaruh-pendidikan-keluarga-terhadap-kepribadian
Dari pada capek-capek untuk copas makalah Peranan Keluarga/Orang Tua Dalam Pembentukan Karakter Anak mending download versi dokumennya disini ea