Periodisasi Sastra
Indonesia
Sastra Indonesia berkembang dari waktu ke waktu, bahkan
sebelum bahasa Indonesia diresmikan pada 28 Oktober 1928. Pada zaman dahulu
bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kerajaan dan bahasa sastra (Purwoko, 2004:
84), hasil-hasil sastra berbahasa Melayu yang tidak tertulis juga sudah
ditemukan sejak abad ke-19. Sementara itu, pondasi pendirian sastra Indonesia
baru tegak berdiri pada tahun 1920-an dengan munculnya Balai Poestaka. Sejak
saat itu sastra berkembang sampai saat ini, sastra Indonesia secara umum
terbagi oleh beberapa periode, yaitu angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru,
angkatan 1945, angkatan 1950, angkatan 1966, dan angkatan 1970—sekarang. Di era
2000-an seperti sekarang mulai dikenal cyber sastra, yaitu sastra yang
beredar luas di dunia cyber atau internet. Berikut akan dipaparkan satu demi
satu penjelasan terkait periodisasi sastra Indonesia.
Ø Angkatan Balai Pustaka (1920—1933)
Balai Pustaka didirikan pada tahun 1908, tetapi baru tahun
1920-an kegiatannya dikenal banyak pembaca (Purwoko, 2004: 143). Berawal ketika
pemerintah Belanda mendapat kekuasaan dari Raja untuk mempergunakan uang
sebesar F.25.000 setiap tahun guna keperluan sekolah bumi putera yang ternyata
justru meningkatkan pendidikan masyarakat. Commissie voor de Inlandsche
School-en Volkslectuur, yang dalam perkembangannya berganti nama Balai
Poestaka, didirikan dengan tujuan utama menyediakan bahan bacaan yang “tepat”
bagi penduduk pribumi yang menamatkan sekolah dengan sistem pendidikan Barat.
Sebagai pusat produksi karya sastra, Balai Poestaka mempunyai beberapa strategi
signifikan (Purwoko, 2014: 147), yaitu
1.
merekrut
dewan redaksi secara selektif
2.
membentuk
jaringan distribusi buku secara sistematis
3.
menentukan
kriteria literer
4.
mendominasi
dunia kritik sastra
Pada masa ini bahasa Melayu Riau dipandang sebagai bahasa
Melayu standar yang yang lebih baik dari dialek-dialek Melayu lain seperti
Betawi, Jawa, atau Sumatera. Oleh karena itu, para lulusan sekolah asal
Minangkabau, yang diperkirakan lebih mampu mempelajari bahasa Melayu Riau,
dipilih sebagai dewan redaksi. Beberapa diantaranya adalah Armjin Pene dan
Alisjahbana. Angkatan Balai Poestaka baru mengeluarkan novel pertamanya yang
berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920-an.
Novel yang mengangkat fenomena kawin paksa pada masa itu menjadi tren baru bagi
dunia sastra. Novel-novel lain dengan tema serupa pun mulai bermunculan. Adapun
ciri-ciri karya sastra pada masa Balai Poestaka, yaitu
1.
Gaya Bahasa
: Ungkapan klise pepatah/pribahasa.
2.
Alur : Alur
Lurus.
3.
Tokoh :
Plot karakter ( digambarkan langsung oleh narator ).
4.
Pusat
Pengisahan : Terletak pada orang ketiga dan orang pertama.
5.
Terdapat
digresi : Penyelipan/sisipan yang tidak terlalu penting, yang dapat menganggu
kelancaran teks.
6.
Corak :
Romantis sentimental.
7.
Sifat :
Didaktis (pendidikan)
8.
Latar
belakang sosial : Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum tua.
9.
Peristiwa
yang diceritakan saesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
10. Puisinya berbentuk syair dan pantun.
11. Menggambarkan tema pertentangan paham antara
kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan,
dll.
12. Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat
kedaerahan.
Ø Angkatan Pujangga Baru (1933—1942)
Pada tahun1933, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sultan Takdir
Alisjahbana mendirikan sebuah majalah yang diberi nama Poejangga Baroe. Majalah
Poedjangga Baroe menjadi wadah khususnya bagi seniman atau pujangga
yang ingin mewujudkan keahlian dalam berseni. Poedjangga Baroe merujuk
pada nama sebuah institusi literer yang berorientasi ke aneka kegiatan yang
dilakukan para penulis pemula. Majalah ini diharapkan berperan sebagai sarana
untuk mengoordinasi para penulis yang hasil karyanya tidak bisa diterbitkan
Balai Poestaka (Purwoko, 2004: 154).
Selain memublikasikan karya sastra, majalah ini juga
merintis sebuah rubrik untuk memuat esai kebudayaan yang diilhami oleh
Alisjahbana dan Armijn Pane. Kelahiran majalah Poedjangga Baroe
menjadi titik tolak kebangkitan kesusastraan Indonesia. S.T. Alisjahbana, dalam
artikel Menudju Masjarakat dan Kebudajaan Baru, menjelaskan bahwa
sastra Indonesia sebelum abad 20 dan sesudahnya memiliki perbedaan yang
didasari pada semangat keindonesiaan dan keinginan yang besar akan perubahan.
Adapun karakteristik karya sastra pada masa itu terlihat
melalui roman-romannya yang sangat produktif dan diterima secara luas oleh
masyarakat. Pengarang yang paling produktif yaitu Hamka dan Alisjahbana. Hamka,
dalam Mengarang Roman, mengatakan Roman adalah bentuk modern dari
hikayat. Roman memperhalus bahasa yang sebelumnya sangat karut marut menyerupai
kalimat Tionghoa sehingga secara tidak langsung roman-roman yang ada mampu
memicu minat baca masyarakat yang awalnya tidak gemar membaca.
Berdasarkan isi cerita, tema-tema yang ada memperlihatkan
kecenderungan para pengarang yang membuat tokoh-tokoh dalam ceritanya berakhir
pada kematian. Pengaruh Barat yang sangat kental pada perkembangan sastra Indonesia
dalam periode Pujangga Baru menghasilkan beberapa perbedaan pandangan dalam
kalangan sastrawan pada saat itu.Sebagai contoh, novel pertama yang
diterbitkan majalah ini, Belenggu, pernah ditolak oleh Balai Pustaka karena
dianggap mengandung isu tentang nasionalisme dan perkawinan yang retak. Dengan
alasan didaktis, kedua isu budaya tersebut dianggap tidak cocok dengan
kebijakan pemerintah kolonial.
Ø Angkatan ’45
Munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah sastra
Indonesia dengan menampilkan sajak-sajak yang bernilai tinggi memberikan
sesuatu yang baru bagi dunia sastra tanah air. Bahasa yang dipergunakannya
adalah bahasa Indonesia yang berjiwa. Bukan lagi bahasa buku, melainkan bahasa
percakapan sehari-hari yang dibuatnya bernilai sastra (Rosidi, 1965: 91).
Dengan munculnya kenyataan itu, maka banyaklah orang yang berpendapat bahwa
suatu angkatan kesusateraan baru telah lahir. Angkatan ini memiliki beberapa
sebutan, yaitu Angkatan ’45, Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Chairil Anwar,
Angkatan Perang, Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Sesudah Pujangga Baru,
Angkatan Pembebasan, dan Generasi Gelanggang.
Angkatan ’45 adalah angkatan yang muncul setelah
berakhirnya Angkatan Pujangga Baru. Angkatan ini terbentuk karena Angkatan
Pujangga Baru dianggap gagal menjalankan gagasannya. Pujangga Baru yang
semula memiliki gagasan baratisasi sastra Indonesia, nyatanya hanya mentok pada
belandanisasi. Dengan
kata lain, tokoh-tokoh atau karya-karya seni dan sastra yang diambil sebagai
acuan dan sumber inspirasi hanya berasal dari negeri Belanda saja, bukan dari
penjuru Barat. Untuk meluruskan persepsi tersebut, muncullah Angkatan ’45
sebagai gantinya.
Keberadaan angkatan ini erat hubungannya dengan Surat
Kepercayaan Gelanggang. Konsep humanisme universal menjadi acuan Perkumpulan
Gelanggang karena mereka merasa karya-karya yang dibuat oleh Angkatan Pujangga
Baru kurang realistis pada masa itu. Angkatan Pujangga Baru yang beraliran
romatis dinilai terlalu utopis dan hanya mementingkan estetika. Berbeda dengan
Angkatan Pujangga Baru, Angkatan ’45 beraliran ekspresionisme-realistik.
Karya-karya yang dihasilkan bergaya ekspresif, menggambarkan identitas si
seniman dan juga realistis. Dalam hal ini, realistis berarti fungsional atau
berguna untuk masyarakat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Angkatan ’45
menganut pendapat seni untuk masyarakat, sementara Pujangga Baru menganut
pendapat seni untuk seni.
Tema yang banyak diangkat dalam karya-karya seni Angkatan
’45 adalah tema tentang perjuangan kemerdekaan. Dari karya-karya bertemakan
perjuangan itulah amanat yang menyatakan bahwa perjuangan mencapai kemerdekaan
tak hanya dapat dilakukan melalui politik atau angkat senjata, tetapi
perjuangan juga dapat dilakukan melalui karya-karya seni. Angkatan ’45 mulai
melemah ketika sang pelopor, Chairil Anwar, meninggal dunia. Selain itu, Asrul
Sani, yang juga merupakan salah satu pelopor mulai menyibukkan diri membuat
skenario film. Kehilangan akan kedua orang tersebut membuat Angkatan ’45 seolah
kehilangan kemudinya. Akhirnya, masa Angkatan ’45 berakhir dan digantikan
dengan Angkatan’50.
Angkatan ’45 memiliki gaya yang berbeda dengan Angkatan
Pujangga Baru. Gaya ini dipengaruhi oleh kondisi politik masing-masing
angkatan. Angkatan Pujangga Baru memiliki gaya romantis-idealis karena pada saat
itu perjuangan kemerdekaan belum sekeras yang dialami Angkatan ’45. Sementara
Angkatan ’45 yang terbentuk pada saat gencarnya perjuangan kemerdekaan memilih
gaya ekspresionisme-realistik agar dapat berguna dan diterima oleh masyarakat.
Pada akhirnya, semua angkatan yang ada sepantasnya menyadari fungsi sosial
mereka. Setiap angkatan harus memikirkan letak kebermanfaatan mereka bagi
masyarakat karena mereka hidup dan tumbuh di dalam masyarakat.
Ø Angkatan 1950
Angkatan ini dikenal krisis sastra Indonesia. Sejak Chairil
Anwar meninggal, lingkungan kebudayaan “Gelanggang Seniman Merdeka” seolah-olah
kehilangan vitalitas. Salah satu alasan utama terhadap tuduhan krisis sastra
tersebut adalah karena kurangnya jumlah buku yang terbit. Sejak tahun 1953 ,
Balai Pustaka yang sejak dulu bertindak sebagai penerbit utama buku-buku
sastra, kedudukannya sudah tidak menentu (Rosidi, 1965: 137). Sejak saat itu
aktivitas sastra hanya dalam majalah-majalah, seperti Gelanggang/Siasat,
Mimbar Indonesia, Zenith, Poedjangga Baroe, dll.
Karena sifat majalah, maka karangan-karangan yang mendapat
tempat terutama yang berupa sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang
tidak begitu panjang. Sesuai dengan yang dibutuhkan oleh majalah-majalah, maka
tak anehlah kalau para pengarangpun lantas hanya mengarang cerpen, sajak, dan
karangan lain yang pendek-pendek (Rosidi, 1965: 138). Hal itulah yang
memunculkan istilah “sastra majalah” pada masa itu. Berikut pendapat Soeprijadi
Tomodihardjo, dalam artikelnya “Sumber-Sumber Kegiatan”1
1.
Kesusastraan
sedang memasuki masa krisis, masalah kualitas dan kuantitas.
2.
Ekspansi
ideologi ke dalam dunia seni mengakibatkan banyak orang meninggalkan
nilai-nilai seni yang wajar, dan ideologi politik kian menguat.
3.
Seni dan
politik adalah pencampuradukan yang lahir dari kondisi masa itu.
4.
Pada masa
itu pula telah lahir organisasi-organisasi kegiatan kesenian yang mengarahkan
kegiatanya pada seni sastra dan seni drama.
5.
Hal ini
mengindikasikan seni mendapat perhatian.
6.
Kesusastraan
berhubungan erat dengan adanya tempat berkegiatan, Jakarta di angggap sebagai
pusatnya. Anggapan ini diluruskan, Jakarta hanya sebagai pusat produksi dan
publikasi
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa angkatan 1950
merupakan angkatan yang sepi oleh karya karena sastra Indonesia yang ada
dianggap sudah tidak lagi memiliki identitas, kesusasteraan mengalami krisis
baik kualitas maupun kuantitas karena lahirnya pesimisme dan penggunaan seni ke
ranah politik yang tidak dibarengi dengan tanggung jawab.
Ø Angkatan 1966
Adalah suatu kenyataan sejarah bahwa sejak awal
pertumbuhannya sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius
kepada politik (Rosidi, 1965: 177). Pada masa ini sastra sangat dipengaruhi
oleh lembaga kebudayaan seperti Lekra dan Manikebu. Pada tahun 1961 Lekra,organ
PKI yang memperjuangkan komunisme, dinyatakan sebagai organisasi kebudayaan
yang memperjuangkan slogan “politik adalah panglima”. Sementara Menifes
Kebudayaan merupakan sebuah konsep atau pemikiran di bidang kebudayaan dan
merupakan sebuah reaksi terhadap teror budaya yang pada waktu itu dilancarkan
oleh orang-orang Lekra. Manifes kebudayaan di tuduh anti-Manipol dan kontra
Revolusioner sehingga harus dihapuskan dari muka bumi Indonesia. Pelarangan
Manifes Kebudayaan diikuti tindakan politis yang makin memojokkan orang-orang
Manifes Kebudayaan, yaitu pelarangan buku karya pengarang-pengarang yang berada
di barisan. Adapun buku-buku yang pernah dilarang, antara lain Pramudya Ananta
Toer, Percikan Revolusi, Keluarga Gerirya, Bukan pasar Malam ,Panggil Aku
Kartini Saja , Korupsi dll; Utuy T. Sontani, Suling, Bunga Rumah
makan,Orang-orang Sial, Si Kabayan dll; Bakri Siregar, Ceramah Sastra,
Jejak Langkah , Sejarah Kesusastraan Indonesia Modern.
Menurut H. B.
Jassin, ciri-ciri karya pada masa ini adalah sebagai berikut
1.
mempunyai
konsepsi Pancasila
2.
menggemakan
protes sosial dan politik
3.
membawa
kesadaran nurani manusia
4.
mempunyai
kesadaran akan moral dan agama
Ø Angkatan 70-an sampai sekarang
Pada masa ini karya sastra berperan untuk membentuk
pemikiran tentang keindonesiaan setelah mengalami kombinasi dengan pemikiran
lain, seperti budaya. Ide, filsafat, dan gebrakan-gebrakan baru muncul di era
ini, beberapa karya keluar dari paten dengan memperbincangkan agama dan mulai
bermunculan kubu-kubu sastra populer dan sastra majalah. Pada masa ini pula
karya yang bersifat absurd mulai tampak.
Di tahun 1980—1990-an banyak penulis Indonesia yang
berbakat, tetapi sayang karena mereka dilihat dari kacamata ideologi suatu
penerbit. Salah satu penerbit yang terkenal sampai sekarang adalah Gramedia.
Gramedia merupakan penerbit yang memperhatikan sastra dan membuka ruang untuk
semua jenis sastra sehingga penulis Indonesia senantiasa memiliki kreativitas
dengan belajar dari berbagai paten karya, baik itu karya populer, kedaerahan,
maupun karya urban. Sementara setelah masa reformasi, yaitu tahun 2000-an,
kondisi sastra tanah air dapat digambarkan sebagai berikut2
1.
Kritik
Rezim Orde Baru
2.
Wacana
Urban dan Adsurditas
3.
Kritik
Pemerintah terus berjalan
4.
Sastra
masuk melalui majalah selain majalah sastra.
5.
Sastra
bersanding dengan Seni Lainnya, banyak terjadi alih wahana pada jaman sekarang
6.
Karya yang
dilarang terbit pada masa 70-an diterbitkan di tahun 2000-an, banyak karya Pram
yang diterbitkan, karya Hersri Setiawan, Remy Sylado, dsb.
Seperti seorang anak, Sastra mengalami masa pertumbuhan.
Masa pertumbuhan sastra tidak akan dewasa hingga jaman mengurungnya. Sastra
akan terus menilai jaman melalui pemikiran dan karya sastrawannya. Pada tahun
1970-an, sastra memiliki karakter yang keluar dari paten normatif. Pada tahun
1980-an hingga awal 1990-an, sastra memiliki karakter yang diimbangi dengan
arus budaya populer. Pada tahun 2000-an hingga saat ini, sastra kembali
memiliki keragaman kahzanah dari yang populer, kritik, reflektif, dan masuk ke
ranah erotika dan absurditas.
ALIRAN-ALIRAN DALAM KESUSASTRAAN
Aliran-aliran dalam kesusastraan memiliki kesamaan dengan
aliran dalam kesenian yang lain, misalnya dalam seni lukis, seni drama, bahkan
dalam dunia filsafat dan kehidupan sosial. Aliran dalam kesusastraan
berhubungan erat dengan pandangan hidup dan kejiwaan pengarang dan penyair,
serta biasanya terekspresikan dalam karya-karya mereka. Artinya, kita
memasukkan seorang sastrawan/sastrawati ke dalam aliran tertentu,
hendaknya berdasarkan buah cipta mereka. Dengan demikian, seorang pengarang
bisa dimasukkan ke dalam beberapa aliran, karena corak karyanya yang
bermacam-macam. Sementara itu, sebuah novel, cerpen, puisi atau teks
drama bisa dijadikan beberapa contoh yang menunjukkan bahwa seorang pengarang
menganut beberapa aliran.
Berikut ini akan kita pelajari beberapa aliran dalam sastra.
Hendaknya dipahami bahwa aliran-aliran yang disebutkan di sini tidak menjamin
bahwa sastrawannya secara sadar ingin memperjuangkan gagasan-gagasan aliran, dengan
konsep atau pengertian aliran. Dapat kita indentifikasi karya sastra tertentu
termasuk ke dalam kategori aliran sastra tertentu. Hendaknya kita sadari bahwa
masalah aliran ini bukan merupakan monopoli bidang sastra. Aliran-aliran itu
dapat berlaku dalam bidang seni lainnya, terutama pada seni lukis. Demikianlah
jika kita berbicara tentang aliran realisme, maka aliran itu tidak hanya khusus
berlaku pada sastra, tetapi juga berlaku pada seni lukis. Penjelasan berikut
ini tidak berdasarkan pada urutan sejarah kelahirannya.
1.
REALISME
Aliran ini mengutamakan realitas kehidupan. Sastra realis
merupakan kutub seberang dari sastra imajis. Apa yang diungkapkan para
pengarang realis adalah hal-hal yang nyata, yang pernah terjadi, bukan
imajinatif belaka. Biografi, otobiografi, true-story, album kisah nyata, roman
sejarah, bisa kita masukkan ke sini. Sastra realis juga berbeda dengan berita
surat kabar atau laporan kejadian, karena ia tidak semata-mata realistik.
Sebagai karya sastra, ia pun dihidupkan oleh pijar imajinasi dan plastis bahasa
yang memikat.
Download Sini untuk lebih lengkapnnya :)