I.
Latar Belakang
Pajak secara bebas dapat dikatakan sebagai suatu kewajiban warga negara
berupa pengabdian serta peran aktif warga negara dan anggota masyarakat untuk
membiayai berbagai keperluan negara dalam Pembangunan Nasional, tanpa adanya
imbalan secara langsung yang pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang
Perpajakan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan negara. Dengan semakin berkembangnya kondisi usaha
dan bisnis baik ditingkat nasional maupun internasional, maka penghasilan yang
diterima wajib pajak badan dalam negeri juga meningkat. Badan atau
perusahaan merupakan subjek pajak dalam negeri dimana wajib pajak badan
ini merupakan penyumbang bagi penerimaan
negara dari sektor pajak yaitu pajak penghasilan badan.
Dalam hal menjalankan usaha, suatu badan atau perusahaan harus membuat
pembukuan untuk menunjang kegiatan usahanya. Sama halnya dalam perpajakan,
pembukuan juga wajib dibuat oleh wajib pajak yang berbentuk badan untuk
mempermudah menghitung pajaknya. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai wajib
pajak badan, kewajiban dan hak wajib pajak badan dalam perpajakan dan cara
penghitungan pajak dari wajib pajak badan.
A.
Pengertian Badan
Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, pasal 1 angka 3, Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang
merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha
yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN
atau BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial poltik,
atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
B.
Wajib Pajak Badan
Wajib Pajak Badan adalah Badan seperti yang
dimaksud pada UU KUP, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut
pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan atau memiliki kewajiban subjektif dan
kewajiban objektif serta telah mendaftarkan diri untuk memproleh Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP).
C.
Pajak Penghasilan Badan
Pada pasal 1 UU Pajak Penghasillan, Pajak Penghasilan adalah Pajak yang
dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya
dalam tahun pajak.
Pajak Penghasilan
Badan (PPh Badan) adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh oleh Badan seperti yang dimaksud dalam UU KUP.
Adapun subjek
dari PPh Badan yaitu :
1. Wajib Pajak Badan dalam negeri, yaitu badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia.
2. Wajib Pajak Badan luar negeri, yaitu badan yang tidak didirikan atau tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui BUT di Indonesia, dan atau badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima penghasilan dari Indonesia tidak
dari menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia.
Yang menjadi objek pajak PPh Badan adalah penghasilan, yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan baik
yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak badan yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
D.
Kewajiban Wajib Pajak Badan dalam
Perpajakan
Berikut kewajiban dari Wajib Pajak Badan :
1.
Kewajiban
mendaftarkan diri
Dalam hal ini mendaftarkan
diri untuk memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan apabila wajib pajak
badan melakukan kegiatan penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak
atau ekspor barang kena pajak yang terutang PPN berdasarkan UU PPN 1984, maka
wajib pajak badan tersebut memiliki kewajiban untuk dikukuhkan menjadi
pengusaha kena pajak (PKP). Untuk wajib pajak badan atau pengusaha kecil yaitu
selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dengan jumlah
peredaran bruto tidak lebih dari Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) maka
tidak diwajibkan untuk dikukuhkan sebagai PKP, kecuali pengusaha kecil tersebut
memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Jadi, apabila peredaran brutonya lebih
dari 600 juta maka wajib mengukuhkan diri menjadi PKP. Pada pasal 2 ayat (4) UU KUP, “Dirjen Pajak
menerbitkan NPWP dan/atau mengukuhkan PKP secara jabatan apabila WP atau PKP
tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau
ayat (2).
2.
Kewajiban
untuk menyelenggarakan pembukuan.
Sebagaimana terdapat pada
pasal 28 ayat (1) UU KUP, yaitu WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas dan WP badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan
pembukuan.
·
Pembukuan :
Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pembukuan adalah proses
pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mendapatkan data & informasi
keuangan yang meliputi keadaan harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan
dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang
terutang maupun yang tidak terutang PPN, yang dikenakan PPN dengan tarif 0%
(nol persen) dan yang dikenakan PPnBM, yang ditutup dengan menyusun laporan
keuangan berupa neraca dan penghitungan rugi/laba pada saat tahun pajak
berakhir.
·
Ketentuan mengenai Pembukuan :
Pembukuan tersebut harus diselenggarakan dengan:
a. Memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan
keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya,
b. Harus diselenggarakan di Indonesia, dengan
menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam
bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menkeu,
c. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan
dengan stelsel akrual dan stelsel kas,
d. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau
tahun buku harus mendapat persetujuan dari Dirjen Pajak.
·
Prinsip Taat Asas :
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi.
Misalnya dalam penerapan : Stelsel pengakuan penghasilan; Tahun buku; Metode penilaian persediaan; Metode penyusutan dan amortisasi.
3.
Kewajiban melakukan pemotongan dan
pemungutan, diantaranya yaitu:
a.
Kewajiban pajak sendiri (seperti PPh Pasal
25/29);
b.
Kewajiban memotong atau memungut (pot/put)
pajak atas penghasilan orang lain (misalnya: PPh Pasal 21/26, PPh Pasal 22, PPh
Pasal 23/26, dan PPh Final); dan
c.
Kewajiban memungut PPN dan atau PPn BM
(jika ada) yang khusus berlaku bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Jenis-jenis pajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak Badan secara umum bisa
diuraikan sebagai berikut:
a.
PPh Pasal 21/Pasal 26
Yaitu PPh yang wajib dipotong atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, atau kegiatan yang diterima atau diperoleh orang pribadi, sesuai dengan
ketentuan Pasal 21 UU PPh.
Wajib Pajak Badan wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan
para karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut maupun penghasilan orang
pribadi lainnya, seperti tenaga ahli, yang dibayar atau terutang oleh
perusahaan. Dalam hal terdapat pembayaran penghasilan, yang termasuk objek PPh
Pasal 21, kepada orang pribadi yang berstatus WP luar negeri, PPh yang dipotong
mengacu pada ketentuan Pasal 26 UU PPh atau berdasarkan tax treaty.
Kewajiban PPh Pasal
21/Pasal 26 yang harus dilaksanakan, meliputi:
Ø SPT Masa PPh Pasal 21/26 pada setiap Masa
Pajak
Merupakan pelaporan atas PPh Pasal 21 yang
telah dihitung dan disetor oleh Wajib Pajak Badan, yang terutang pada setiap
masa pajak. PPh Pasal 26 yang terutang atas pembayaran kepada orang pribadi
yang berstatus Wajib Pajak Luar Negeri juga wajib dilaporkan pada SPT Masa PPh
Pasal 21. Pada dasarnya, PPh Pasal 21 yang dilaporkan dalam SPT Masa merupakan
angsuran atau pajak dibayar di muka untuk PPh Pasal 21 yang terutang pada akhir
tahun pajak yang bersangkutan.
Ø SPT Masa PPh Pasal 21 pada Akhir Tahun
Pajak
Merupakan pelaporan atas PPh Pasal 21 yang
telah dihitung dan dilunasi pada suatu tahun pajak, termasuk PPh Pasal 26 yang
terutang atas penghasilan orang pribadi berstatus WP luar negeri. SPT Masa PPh
Pasal 21 untuk Akhir Tahun Pajak sebenarnya merupakan penghitungan ulang atas
PPh Pasal 21 yang telah dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21 untuk Masa
Pajak Januari sampai dengan Desember. Bisa jadi, pada SPT Masa PPh Pasal 21
pada akhir tahun nantinya timbul kurang bayar, atau lebih bayar, atau mungkin
juga nihil (PPh Pasal 21 yang sudah disetor sama dengan PPh Pasal 21 yang
terutang).
b.
PPh Pasal 23
Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa
dividen, royalty, bunga, hadiah dan penghargaan selain yang telah dikenakan PPh
Pasal 21, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, serta imbalan
jasa sehubungan dengan jasa-jasa seperti jasa teknik, jasa manajeman, jasa
konsultan, dan jasa lain, yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 23 UU PPh.
c.
PPh Pasal 26
Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan
berupa dividen; bunga; royalti; sewa dan imbalan lain sehubungan dengan
penggunaan harta; imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan,
hadiah dan penghargaan; serta pensiun dan pembayaran berkala lainnya yang
diterima/diperoleh WP luar negeri. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 26 UU PPh.
Penghitungan dan penyetoran PPh Pasal 26 sebaiknya tetap dilakukan secara
tersendiri, meskipun untuk pelaporannya digabungkan dengan PPh Pasal 21 atau
PPh Pasal 23, tergantung pada jenis objek pajaknya serta penerima
penghasilannya;
1)
Jika objek pajaknya cenderung sama dengan
PPh Pasal 21 dan penerima penghasilannya adalah orang pribadi berstatus WP luar
negeri, maka pelaporannya melalui SPT Masa PPh Pasal 21 dan atau Pasal 26;
2)
Jika penerima penghasilannya berbentuk
badan dan berstatus WP luar negeri, pelaporannya melalui SPT Masa PPh Pasal 23
dan atau Pasal 26.
d.
PPh Final
Yaitu PPh yang dipotong atas jenis
penghasilan tertentu atau jenis usaha tertentu yang diatur secara khusus
(special treatment) melalui peraturan pemerintah. Misalnya, PPh Final atas
persewaan tanah dan atau bangunan. Jadi, seandainya Wajib Pajak Badan menyewa
gedung dari pihak lain untuk dipergunakan sebagai kantor, maka Wajib Pajak
Badan wajib memotong, menyetor, dan melaporkan PPh Final yang terutang atas
sewa kantor tersebut.
e.
PPh Pasal 25
Yaitu pembayaran angsuran PPh dalam tahun
pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh WP untuk setiap bulan. Besarnya
PPh Pasal 25 yang wajib disetor setiap bulan dihitung berdasarkan ketentuan
Pasal 25 UU PPh beserta ketentuan pelaksanaannya.
f.
PPh Pasal 29
Yaitu kewajiban untuk melunasi kekurangan
pembayaran pajak yang terutang pada akhir tahun pajak, dengan memperhitungkan
kredit pajak berupa angsuran PPh Pasal 25 yang telah disetor setiap bulan dan
PPh yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain.
g.
PPN
Yaitu pemungutan pajak atas penyerahan BKP
(Barang Kena Pajak) atau JKP (Jasa Kena Pajak) yang dilakukan oleh Pengusaha
Kena Pajak (PKP) di dalam Daerah Pabean, yang meliputi suatu masa pajak. Dalam
hal BKP tergolong barang mewah, terdapat Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn
BM) yang juga terutang sesuai ketentuan UU yang berlaku.
4.
Kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan
(SPT)
5.
Kewajiban membayar dan menyetorkan pajak
6.
Kewajiban membuat faktur pajak
7.
Kewajiban melunasi bea materai
8.
Kewajiban menaati pemeriksaan pajak
E.
Hak Wajib Pajak Badan dalam Perpajakan
Adapun hak dari wajib pajak dalam perpajakan, yaitu :
1. Hak untuk mendapat pembinaan dan pengarahan dari fiskus
2. Hak untuk membetulkan, memperpanjang waktu penyampaian SPT
3. Hak untuk mengajukan keberatan, banding dan gugatan serta peninjauan
kembali ke Mahkamah Agung
4. Hak untuk memperoleh kelebihan pembayaran pajak
5. Hak dalam hal wajib pajak dilakukan pemeriksaan
6. Hak untuk mendapat fasilitas perpajakan
7. Hak mengajukan permohonan untuk mengangsur pembayaran pajak, menunda
penagihan pajak, dan memperoleh imbalan bungan dari keterlambatan pembayaran
kelebihan pajak oleh DJP
8. Hak untuk melakukan pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran
9. Hak mengurangi penghasilan kena pajak dengan biaya yang dikeluarkan sesuai
biaya fiskal.
F.
Saat Terutang, Penyetoran dan Pelaporan PPh Badan
Saat terutang dari pajak penghasilan badan adalah
pada saat badan atau perusahaan tersebut sudah mendapat penghasilan atau laba. Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaiman telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, pph badan harus
dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir (angsuran pajak).
Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran bertepatan dengan hari libur
termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, maka pembayaran dapat dilakukan
pada hari kerja berikutnya. Hari libur nasional temasuk hari yang diliburkan
untuk penyelengaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh pemerintah dan cuti
bersama secara nasional yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pembayaran pajak dilakukan melaui Bank Persepsi atau bank Devisi Persepsi
atau Kantor Pos Persepsi dengan sistem pembayaran secara online. Pembayaran
pajak harus digunakan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana
administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain berfungsi sebagai
bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima
pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapat validasi. SSP atau sarana
administrasi lain dianggap sah apabila telah divalidasi dengan Nomor Transaksi
Penerimaan Negara (NTPN).
Apabila pajak terutang untuk satu tahun pajak
lebih besar dari jumlah kredit pajak maka penyetoran kekurangan pajak yang
terutang (pph pasal 29) harus dilunasi selambat-lambatnya sebelum SPT Tahunan
disampaikan. Sedangkan, untuk pelaporan SPT, maksimal disampaikan pada akhir
bulan keempat setelah tahun pajak berakhir.
G.
Cara Penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Badan
Terjadi perbedaan pengakuan pendapatan dan biaya
antara pembukuan komersil dengan pembukuan menurut perpajakan. Berikut perbedaan
diantara keduanya.
ü Beda Tetap (Permanent Difference)
1. Menurut akuntasi komersial merupakan penghasilan,
sedangkan menurut ketentuan Pajak Penghasilan bukan penghasilan.
Misal: dividen yang
diterima oleh Perseroan Terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri dari
penyertaan modal sebesar 25% atau lebih pada badan usaha yang didirikan dan
berkedudukan di Indonesia.
2. Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan
sedangakan menurut ketentuan PPh telah dikenakan PPh yang bersifat final.
Penghasilan ini dikenakan pajak tersendiri (final) sehingga dipisahkan (tidak
perlu digabung) dengan penghasilan lainnya dalam menghitung PPh terutang.
Misal: penghasilan
atas bunga deposito atau tabungan lainnya yang telah dipotong PPh Final oleh
Bank sebesar 20%.
3. Menurut akuntansi komersial merupakan beban
(biaya) sedangkan menurut ketentuan PPh tidak dapat dibebankan sebagai
pengurang penghasilan bruto (Pasal 9 UU PPh).
Misalnya:
a.
Biaya-biaya
yang digunakan untuk memperoleh penghasilan yang bukan obyek pajak atau pengenaan pajaknya bersifat final.
b.
Penggantian
atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura atau kenikmatan.
c.
Sanksi
perpajakan berupa bunga, denda, dan kenaikan.
d.
Biaya-biaya
yang menurut ketentuan PPh tidak dapat dibebankan karena tidak memenuhi
syarat-syarat tertentu (misalnya: daftar nominatif biaya entertainment, daftar
nominatif atas penghapusan piutang).
ü Beda Sementara (Temporary Difference)
Beda waktu merupakan perbedaan metode yang
digunakan antara akuntansi komersial dengan ketentuan fiskal.
Misalnya yaitu :
a. Metode penyusutan,
b. Metode penilaian persediaan,
c. Penyisihan piutang tak tertagih,
d. Rugi-laba selisih kurs.
H.
Pengertian Rekonsiliasi Fiskal
Karena terjadi perbedaan pengakuan dalam menyusun laporan keuangan antara
komersil dengan perpajakan maka perlu dilakukan penyesuaian atau rekonsiliasi
fiskal. Rekonsiliasi fiskal adalah suatu mekanisme penyesuaian pelaporan
keuangan wajib pajak badan menurut ketentuan komersial diubah menjadi menurut
ketentuan perpajakan atau fiskal. Rekonsiliasi fiskal adalah sebuah lampiran
SPT tahunan PPh Badan berupa kertas kerja yang berisi penyesuaian antara
laba/rugi sebelum pajak menurut komersial dengan laba/rugi menurut SPT Tahunan
(perpajakan).
Untuk melakukan penghitungan PPh Badan, harus diketahui laba fiskal dalam
tahun pajak yang didapat dari rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal
dilakukan terhadap seluruh unsur penyusunan laporan laba rugi, meliputi pendapatan
dan biaya, secara ringkas rekonsiliasi fiskal dilakukan terhadap :
1. Wajib pajak yang memiliki penghasilan final
2. Wajib pajak yang memiliki penghasilan yang bukan
objek pajak
3. Wajib pajak mengeluarkan biaya-biaya yang tidak
boleh menjadi pengurang penghasilan (pasal 9 UU PPh)
4. Wajib pajak mengeluarkan biaya yang boleh menjadi
pengurang (biaya fiskal) tetapi metode pengakuan biaya tersebut diatur oleh
ketentuan fiscal
5. Wajib pajak mengeluarkan biaya yang dikeluarkan
bersama untuk mendapatkan pendapatan yang telah dikenakan PPh final
Dalam rekonsiliasi fiskal terdapat koreksi
fiskal. Dimana koreksi fiskal ini terdiri dari koreksi positif dan koreksi
negatif. Koreksi positif adalah koreksi yang mengakibatkan laba fiskal
bertambah atau rugi fiskal berkurang. Koreksi negatif adalah koreksi yang
mengakibatkan laba fiskal berkurang atau rugi fiskal bertambah.
I.
Berikut langkah-langkah penghitungan PPh Badan :
Jumlah penghasilan neto bruto xxxx
Biaya xxxx
–
Penghasilan neto komersial xxxx
Koreksi fiskal:
Positif xxxx
Negatif (xxxx)
+-
Penghasilan neto fiskal xxxx
Kompensasi kerugian xxxx
–
Penghasilan kena pajak xxxx
PPh terutang xxxx
Kredit pajak:
Dipotong/dipungut pihak ketiga xxxx
Telah dibayar sendiri xxxx
+
Jumlah kredit pajak xxxx
–
Kurang/lebih bayar xxxx
J.
Perhitungan PPh Terutang :
a. Tarif tertinggi 25% (dua puluh lima persen) mulai berlaku sejak tahun pajak
2010.
b. Wajib Pajak Badan dalan negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling
sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu
lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
c. Untuk keperluan penerapan tarif pajak, jumlah Penghasilan Kena Pajak
dibulatkan kebawah dalam ribuan rupiah penuh.
d. Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa
pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PPh Pasal 17 yang
dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
kalau mau versi dokumennya bisa di download disini