Pemotongan PPh Pasal 21 Dalam
Pengenaan PPh orang Pribadi
A.
PPh
Orang Pribadi
Berdasarkan
Pasal 1 UU PPh, PPh dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pada dasarnya subjek pajak PPh
adalah orang pribadi dan badan. Dengan demikian, PPh orang pribadi (nature
person) merupakan pajak atas penghasilan yang dikenakan terhadap wajib pajak
badan (legal person) atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam
tahun pajak.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 UU PPh, setiap orang pribadi sebagai subjek pajak mempunyai
kemungkinan (potensi) diwajibkan membayar pajak. Kemungkinan itu menjadi pasti
atau baru terjadi jika terhadap mereka kedapatan objeknya (sasarannya), yaitu
penghasilan. Dipenuhinya syarat sebagai subjek pajak merupakan kewajiban pajak
subjektif, sedangkan dalam hal seseorang sudah menerima atau memperoleh
penghasilan pada suatu tahun pajak berarti dipenuhinya kewajiban pajak objektif.
Pengenaan
PPh didasarkan pada dua syarat, yaitu subjek pajak dan objek pajak. Dengan
perkataan lain, untuk benar-benar menjadi wajib pajak, harus memenuhi syarat
subjektif dan syarat objektif. Subjek pajak baru dapat dikenakan PPh apabila
ada objek pajaknya yaitu penghasilan. Subjek Pajak diartikan sebagai orang yang
dituju oleh undang-undang untuk dikenakan pajak. Pajak Penghasilan dikenakan
terhadap Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya
dalam Tahun Pajak. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan
tersebut disebut sebagai Wajib Pajak (WP). Meskipun subjek pajak menurut UU PPh
terdiri dari orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak, Badan, Bentuk Usaha Tetap (BUT), namun pada
hakikatnya hanya ada dua subjek pajak yaitu orang pribadi dan badan. Warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak pada akhirnya
akan bermuara kepada subjek pajak orang pribadi, sedangkan BUT pada akhirnya
akan bermuara pada orang pribadi atau badan. Subjek Pajak Orang Pribadi adalah
Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang
berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun
pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia.
Pada
prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah orang
pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam
pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan. Keberadaan orang pribadi di
Indonesia lebih dari 183 hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan
oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 bulan
sejak kedatangannya di Indonesia.
Sedangkan
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua bulan) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Mulainya kewajiban pajak
subjektif subjek pajak dalam negeri orang pribadi adalah sejak orang pribadi
lahir, berada, atau berniat tinggal di Indonesia. Terhadap orang pribadi yang
berada lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan. Kewajiban pajak subjektifnya mulai timbul pada hari pertama
berada di Indonesia . berakhirnya kewajiban pajak subjektif subjek pajak dalam
negeri orang pribadi adalah pada saat meninggal dunia atau meninggalkan
Indonesia untuk selama-lamanya.
Objek
PPh adalah penghasilan. Menurut Pasal 4 ayat (1) UU PPh, “Yang dimaksud dengan
penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang digunakan baik
untuk investasi maupun konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun”. Dilihat dari mengalirnya
(inflow) tambahan kemampuan ekonomis kepada WP, penghasilan dikelompokkan atas
pekerjaan (employment income), kegiatan, usaha (business income), modal
(capital income), dan penghasilan lain-lain (other income). Dilihat dari
penggunaannya (outflow) penghasilan bisa dipakai untuk konsumsi dan ditabung
untuk menambah kekayaan. Semua jenis penghasilan harus digabungkan untuk
mendapatkan tax base dan kerugian dikompensasikan (kompensasi horizontal)
Definisi penghasilan tersebut merupakan definisi secara konseptual, sedangkan
untuk memahami definisi penghasilan secara operasional harus dilihat pada
contoh-contoh penghasilan yang diberikan oleh Pasal 4 ayat (1) UU PPh tersebut.
Salah satu contoh penghasilan yang tercantum dalam pasal 4 ayat (1) butir a UU
PPh adalah penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, premi asuransi jiwa dan premi
asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya,
termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakikatnya merupakan
penghasilan, kecuali ditentukan lain dalam UU PPh.
B.
Penghitungan
PPh Orang Pribadi Terutang
Untuk
menghitung besarnya pajak yang terutang untuk semua jenis pajak, diperlukan dua
unsur penting yaitu tarif dan dasar pengenaan pajak. Tarif pajak dapat berupa
angka atau persentase tertentu. Jenis tarif pajak dibedakan menjadi tarif
tetap, tarif proporsional,dan tarif progresif.
Tarif
PPh orang pribadi menggunakan tarif progresif, yaitu berupa persentase tertentu
yang semakin meningkat dengan semakin meningkatnya dasar pengenaan pajak.
Secara umum, penghitungan pajak yang terutang adalah sama untuk semua jenis
pajak yaitu dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak.
Demikian
pula dengan PPh Orang Pribadi penghitungannya dengan menggunakan formula :
PPh Orang Pribadi =
Tarif x Penghasilan Kena Pajak
Berdasarkan
ketentuan Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh, besarnya tariff Pajak Penghasilan
yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib
Pajak
Dalam Negeri adalah sebagai berikut:
Tarif
PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri:
Lapisan
Penghasilan Kena Pajak
|
Tarif
Pajak
|
Sampai dengan Rp 50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah)
|
5%
|
Di atas Rp 50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah) sampai Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah)
|
15%
|
Di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus rupiah)
|
25%
|
Di atas Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah)
|
30%
|
Pada
dasarnya UU PPh menganut pemajakan dengan basis netto (net bases of taxation)
terhadap wajib pajak dalam negeri. Pengertian pengenaan pajak dengan basis
netto adalah pemajakan dikenakan atas penghasilan netto (net income), yaitu
atas penghasilan bruto (gross income) dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran
dan pengurangan-pengurangan lain yang diperbolehkan UU PPh. Untuk menghitung
PPh orang pribadi yang terutang, sama seperti penghitungan pajak lainnya, harus
diketahui dan dihitung terlebih dahulu dasar pengenaan pajak (tax base). Dasar
pengenaan pajak untuk PPh orang pribadi adalah Penghasilan Kena Pajak, yaitu
penghasilan sebagai objek pajak yang dikenakan pajak (Pasal 4 UU PPh) dikurangi
biaya yang diperkenankan sebagai pengurang (Pasal 6 UU PPh). Jadi, Penghasilan
Kena Pajak dihitung setelah mengurangi penghasilan bruto dengan berbagai
pengurangan yang diperkenankan oleh UU PPh. Pengurangan yang diperbolehkan yang
paling banyak dipakai oleh sistem pajak atas penghasilan didunia adalah
deductible expense dan personal exemption. Di Indonesia, personal exemption
diwujudkan dalam bentuk Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak Orang Pribadi dalam negeri, pada
dasarnya terdapat dua cara yaitu, perhitungan dengan cara biasa (menggunakan
akutansi) dan perhitungan dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan
netto, sebelum mendapat pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak,
sebagaimana dimaksud Pasal 7 UU PPh. Kewajiban pembukuan menurut ketentuan
perundang-undangan perpajakan telah diatur dalam UU No. 16 Tahun 2009 tentang
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disingkat
dengan UU KUP). Dalam Pasal 28 ayat (1) UU KUP disebutkan bahwa Orang atau
Badan yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas di Indonesia harus
mengadakan pembukuan yang dapat menyajikan keterangan-keterangan yang cukup
untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak atau harga perolehan dan penyerahan
barang atau jasa, guna penghitungan jumlah pajak terhutang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pembukuan adalah suatu proses
pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi
keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta
jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan
menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode
Tahun Pajak tersebut (Pasal 1 angka 29 UU KUP). Pada prinsipnya Wajib Pajak
Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib
Pajak Badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan umum. Wajib Pajak
Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan Penghasilan Neto dan
Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas, dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib
melakukan pencatatan. Pencatatan terdiri dari data yang dikumpulkan secara
teratur tentang peredaran bruto dan/atau penerimaan penghasilan sebagai dasar
untuk menghitung jumlah pajak yang terutang. Mengingat tidak semua Wajib Pajak
dapat menyelenggarakan pembukuan, maka untuk Wajib Pajak tertentu dikecualikan
dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib menyelenggarakan
pencatatan. Wajib Pajak tersebut adalah Pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto (Norma) dan Wajib Pajak orang pribadi yang
tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas (Pasal 28 ayat (2) UU KUP).
Bentuk dan tata cara pembukuan tidak diatur secara rinci dalam UU KUP dan tidak
diatur dalam aturan pelaksanaan. “UU hanya memberikan gambaran umum tentang
pembukuan, diantaranya diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan
stelsel akrual atau stelsel kas dalam metode penyusutan dan penilaian
persediaan, sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat
dihitung besarnya pajak yang terutang”. Intinya, pembukuan harus
diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya
berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undang
perpajakan menentukan lain (Penjelasan Pasal 28 ayat (7) UU KUP). Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) diatur dalam Pasal 7 UU PPh.
dari pada capek capek ngedit mending download aja versi dokumennya