Friday, November 27, 2015

11:39:00 PM


Pemotongan PPh Pasal 21 Dalam Pengenaan PPh orang Pribadi
A.    PPh Orang Pribadi
Berdasarkan Pasal 1 UU PPh, PPh dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pada dasarnya subjek pajak PPh adalah orang pribadi dan badan. Dengan demikian, PPh orang pribadi (nature person) merupakan pajak atas penghasilan yang dikenakan terhadap wajib pajak badan (legal person) atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU PPh, setiap orang pribadi sebagai subjek pajak mempunyai kemungkinan (potensi) diwajibkan membayar pajak. Kemungkinan itu menjadi pasti atau baru terjadi jika terhadap mereka kedapatan objeknya (sasarannya), yaitu penghasilan. Dipenuhinya syarat sebagai subjek pajak merupakan kewajiban pajak subjektif, sedangkan dalam hal seseorang sudah menerima atau memperoleh penghasilan pada suatu tahun pajak berarti dipenuhinya kewajiban pajak objektif.
Pengenaan PPh didasarkan pada dua syarat, yaitu subjek pajak dan objek pajak. Dengan perkataan lain, untuk benar-benar menjadi wajib pajak, harus memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif. Subjek pajak baru dapat dikenakan PPh apabila ada objek pajaknya yaitu penghasilan. Subjek Pajak diartikan sebagai orang yang dituju oleh undang-undang untuk dikenakan pajak. Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tersebut disebut sebagai Wajib Pajak (WP). Meskipun subjek pajak menurut UU PPh terdiri dari orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, Badan, Bentuk Usaha Tetap (BUT), namun pada hakikatnya hanya ada dua subjek pajak yaitu orang pribadi dan badan. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak pada akhirnya akan bermuara kepada subjek pajak orang pribadi, sedangkan BUT pada akhirnya akan bermuara pada orang pribadi atau badan. Subjek Pajak Orang Pribadi adalah Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan. Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 bulan sejak kedatangannya di Indonesia.
Sedangkan orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua bulan) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Mulainya kewajiban pajak subjektif subjek pajak dalam negeri orang pribadi adalah sejak orang pribadi lahir, berada, atau berniat tinggal di Indonesia. Terhadap orang pribadi yang berada lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Kewajiban pajak subjektifnya mulai timbul pada hari pertama berada di Indonesia . berakhirnya kewajiban pajak subjektif subjek pajak dalam negeri orang pribadi adalah pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
Objek PPh adalah penghasilan. Menurut Pasal 4 ayat (1) UU PPh, “Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang digunakan baik untuk investasi maupun konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun”. Dilihat dari mengalirnya (inflow) tambahan kemampuan ekonomis kepada WP, penghasilan dikelompokkan atas pekerjaan (employment income), kegiatan, usaha (business income), modal (capital income), dan penghasilan lain-lain (other income). Dilihat dari penggunaannya (outflow) penghasilan bisa dipakai untuk konsumsi dan ditabung untuk menambah kekayaan. Semua jenis penghasilan harus digabungkan untuk mendapatkan tax base dan kerugian dikompensasikan (kompensasi horizontal) Definisi penghasilan tersebut merupakan definisi secara konseptual, sedangkan untuk memahami definisi penghasilan secara operasional harus dilihat pada contoh-contoh penghasilan yang diberikan oleh Pasal 4 ayat (1) UU PPh tersebut. Salah satu contoh penghasilan yang tercantum dalam pasal 4 ayat (1) butir a UU PPh adalah penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, premi asuransi jiwa dan premi asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakikatnya merupakan penghasilan, kecuali ditentukan lain dalam UU PPh.
B.     Penghitungan PPh Orang Pribadi Terutang
Untuk menghitung besarnya pajak yang terutang untuk semua jenis pajak, diperlukan dua unsur penting yaitu tarif dan dasar pengenaan pajak. Tarif pajak dapat berupa angka atau persentase tertentu. Jenis tarif pajak dibedakan menjadi tarif tetap, tarif proporsional,dan tarif progresif.
Tarif PPh orang pribadi menggunakan tarif progresif, yaitu berupa persentase tertentu yang semakin meningkat dengan semakin meningkatnya dasar pengenaan pajak. Secara umum, penghitungan pajak yang terutang adalah sama untuk semua jenis pajak yaitu dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak.
Demikian pula dengan PPh Orang Pribadi penghitungannya dengan menggunakan formula :
PPh Orang Pribadi = Tarif x Penghasilan Kena Pajak
Berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh, besarnya tariff Pajak Penghasilan yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib
Pajak Dalam Negeri adalah sebagai berikut:
Tarif PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
5%
Di atas Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah)
15%
Di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus rupiah)
25%
Di atas Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
30%

Pada dasarnya UU PPh menganut pemajakan dengan basis netto (net bases of taxation) terhadap wajib pajak dalam negeri. Pengertian pengenaan pajak dengan basis netto adalah pemajakan dikenakan atas penghasilan netto (net income), yaitu atas penghasilan bruto (gross income) dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran dan pengurangan-pengurangan lain yang diperbolehkan UU PPh. Untuk menghitung PPh orang pribadi yang terutang, sama seperti penghitungan pajak lainnya, harus diketahui dan dihitung terlebih dahulu dasar pengenaan pajak (tax base). Dasar pengenaan pajak untuk PPh orang pribadi adalah Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghasilan sebagai objek pajak yang dikenakan pajak (Pasal 4 UU PPh) dikurangi biaya yang diperkenankan sebagai pengurang (Pasal 6 UU PPh). Jadi, Penghasilan Kena Pajak dihitung setelah mengurangi penghasilan bruto dengan berbagai pengurangan yang diperkenankan oleh UU PPh. Pengurangan yang diperbolehkan yang paling banyak dipakai oleh sistem pajak atas penghasilan didunia adalah deductible expense dan personal exemption. Di Indonesia, personal exemption diwujudkan dalam bentuk Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak Orang Pribadi dalam negeri, pada dasarnya terdapat dua cara yaitu, perhitungan dengan cara biasa (menggunakan akutansi) dan perhitungan dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan netto, sebelum mendapat pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak, sebagaimana dimaksud Pasal 7 UU PPh. Kewajiban pembukuan menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan telah diatur dalam UU No. 16 Tahun 2009 tentang Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disingkat dengan UU KUP). Dalam Pasal 28 ayat (1) UU KUP disebutkan bahwa Orang atau Badan yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas di Indonesia harus mengadakan pembukuan yang dapat menyajikan keterangan-keterangan yang cukup untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak atau harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, guna penghitungan jumlah pajak terhutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut (Pasal 1 angka 29 UU KUP). Pada prinsipnya Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan umum. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan. Pencatatan terdiri dari data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran bruto dan/atau penerimaan penghasilan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang. Mengingat tidak semua Wajib Pajak dapat menyelenggarakan pembukuan, maka untuk Wajib Pajak tertentu dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib menyelenggarakan pencatatan. Wajib Pajak tersebut adalah Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (Norma) dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas (Pasal 28 ayat (2) UU KUP). Bentuk dan tata cara pembukuan tidak diatur secara rinci dalam UU KUP dan tidak diatur dalam aturan pelaksanaan. “UU hanya memberikan gambaran umum tentang pembukuan, diantaranya diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas dalam metode penyusutan dan penilaian persediaan, sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang”. Intinya, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undang perpajakan menentukan lain (Penjelasan Pasal 28 ayat (7) UU KUP). Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) diatur dalam Pasal 7 UU PPh.
dari pada  capek capek ngedit mending download aja versi dokumennya

Popular Posts