1. Peristiwa
Tanjung Priok 1984
Peristiwa berdarah Tanjung Priok 1984, adalah satu peristiwa yang sudah
disiapkan sebelumnya dengan matang oleh intel-intel militer. Militerlah yang
menskenario dan merekayasa kasus pembataian
Tanjung Priok, Ini adalah
bagian dari operasi militer yang bertujuan untuk mengkatagorikan
kegiatan-kegiatan keislaman sebagai suatu tindak kejahatan, dan para pelaku
dijadikan sasaran korban. Terpilihnya Tanjung sebagai tempat sebagai "The
Killing field" juga bukan tanpa survey dan anlisa yang matang dari
intelejen. Kondisi sosial ekonomi tanjung priok yang menjadi dasar pertimbangan. Tanjung
Priok adalah salah satu wilayah basis Islam yang kuat, denga kondisi pemukiman
yang padat dan kumuh. Mayoritas penduduknya tinggal dirumah-rumah
sederhana yang terbuat dari barang bekas pakai. kebanyakan penduduknya bekerja
sebagai buruh galangan kapal, dan buruh serabutan. Dengan kondisi sosial
ekonomi yang rendah ditambah dengan pendidikan yang minim seperti itu
menjadikan Tanjung Priok sebagai wilayah yang mudah sekali
terpengaruh dengan gejolak dari luar, sehingga mudah sekali tersulut berbagai
isu.
Suasana panas di Tanjung Priok sudah di rasakan sebulan sebelum
peristiwa itu terjadi. Upaya -upaya provokatif memancing massa telah
banyak dilakukan diantaranya, pembangunan gedung bioskup tugu yang sering
memutar film maksiat yang berdiri persis berseberangan degan masjid
Al-hidayah. Tokoh-tokoh islam menduga keras bahwa suasana panas itu memang
sengaja direkayasa oleh orang-orang tertentu di pemerintahan yang memusuhi
islam. Suasana rekayasa ini terutama sekali dirasakan oleh ulama-ulama di luar tanjung priok. Sebab, di kawasan lain kota di jakarta
terjadi sensor yang ketat terhadap para mubaligh, kenapa di Tanjung Priok
sebagai basis islam para mubalighnya bebas sekali untuk berbicara, bahkan
mengkritik pemerintah dan menentang azas tunggal pancasila. Tokoh senior seperti
M Natsir dan syarifudin Prawiranegara sebenarnya telah melarang ulama untuk
datang ke tanjung priok agar tidak masuk perangkap, namun seruan
itu rupanya tidakterdengar oleh ulama-ulama tanjung priok.
2.
Kronologi
peristiwa Tanjung Priok 1984
Pada pertengahan tahun 1984, Beredar isu tentang
RUU organisasi sosial yang mengharuskan penerimaan azas tunggal.
Hal ini menimbulkan implikasi yang luas. Diantara pengunjung masjid di daerah
ini, terdapat SEOrang mubaligh yang terkenal, Menyampaikan ceramah pada
jama'ahnya dengan menjadikan isu ini sebagi topik pembicarannya, sebab
Rancangan Undang-Undang tsb sudah lama menjadi masalah yang kontroversi.
Kejadian berdarah
Tanjung Priok dipicu oleh tindakan provokatif tentara.
Pada tanggal 7 september 1984, SEOrang Babinsa beragama katholik sersan satu Harmanu datang ke
musholla kecil yang bernama "Musholla As-sa'adah" dan memerintahkan
untuk mencabut pamflet yang berisi tulisan problema yang dihadapi kaum
muslimin, yang disertai pengumuman tentang kegiatan pengajian yang akan datang.
Tak heran jika kemudian orang-orang yang disitu marah melihat tingkah laku
Babinsa itu. pada hari berikutnya Babinsa itu datang lagi beserta rekannya,
untuk mengecek apakah perintahnya sudah dijalankan apa belum. Setelah
kedatangan kedua itulah muncul isu yang menyatakan, kalau militer telah
menghina kehormatan tempat suci karena masuk mushola tanpa menyopot
sepatu, dan menyirami pamflet-pamflet di musholla dengan air comberan.
Pada tanggal 10 september 1984, Syarifuddin rambe dan Sofyan
Sulaiman dua orang takmir masjid "Baitul Makmur" yang berdekatan
dengan Musholla As-sa'adah, Berusaha menenangkan suasana dengan mengajak ke dua
tentara itu masuk ke adalam sekretarit takmir mesjid untuk membicarakan masalah
yang sedang hangat. Ketika mereka sedang berbiacara di depan kantor, massa
diluar sudah terkumpul. Kedua pengurus takmir masjid itu menyarankan kepada
kedua tentara tadi supaya persoalaan disudahi dan dianggap selesai saja. Tapi
mereka menolak saran tersebut. Massa diluar sudah mulai kehilangan
kesabarannya. Tiba-tiba saja salah satu dari kerumunan massa menarik salah satu
sepeda motor milik prajurit yang ternyata SEOrang marinir dan membakarnya.
Saat itu juga Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaiman beserta dua orang lainnya
ditangkap aparat keamanan. Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, Pengurus Musholla
As-sa'adah dan satu orang lagi yang saat itu berada di tempat kejadian,
selanjutnya Mohammad Nur yang membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan
empat orang tadi kemarahan massa menjadi tak terbendung lagi, yang kemudian
memunculkan tuntutan pembebasan ke empat orang yang ditangkap tadi.
Pada tanggal 11 September 1984, Massa yang masih memendam
kemarahannya itu datang ke salah satu tokoh didaerah itu yang bernama Amir
Biki, karena tokoh ini dikenal dekat dengan para perwira di Jakarta.
Maksudnya agar ia mau turun tangan membantu membebaskan para tahanan. Sudah
sering kali Amir biki menyelesaikan persoalan yang timbul dengan pihak
militer. Tapi kali ini usahanya tidak berhasil.
Pada tanggal 12 September 1984, beberapa orang mubaligh
menyampaikan ceramahnya di tempat terbuka, mengulas berbagai persoalan politik
dan sosial, diantaranya adalah kasus yang baru terjadi ini. Dihadapan
massa, Amir biki berbicara dengan keras, yang isinya mengultimatum agar
membebaskan para tahanan paling lambat pukul 23.00 Wib malam itu juga. Bila
tidak, mereka akan mengerahkan massa untuk melakukan demonstrasi.
Saat ceramah usai, berkumpulah sekitar 1500 orang demonstran
yang bergerak menuju kantor Polsek dan Kormil setempat. sebelum massa
tiba di tempat yang dituju, tiba-tiba mereka telah terkepung dari dua arah oleh
pasukan yang bersenjata berat. Massa demonstran berhadapan langsung dengan
pasukan tentara yang siap tempur. Pada saat pasukan mulai memblokir
jalan protokol, mendadak para demonstran sudah dikepung dari segala penjuru.
Saat itu massa tidaklah beringas, sebagian besar mereka hanya duduk-duduk
sambil mengumandankan takbir. Lalu tiba-tiba terdengar aba-aba mundur dari
komandan tentara, tanpa peringatan lebih dahulu terdengarlah suara tembakan,
lalu diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan moncong senjatanya ke arah
demonstran. Dari segala penjuru terdengan dentuman suara senjata,
tiba-tiba ratusan orang demonstran tersungkur berlumuran darah. Disaat para
demonstran yang terluka berusaha bangkit untuk menyelamatkan diri, pada
saat yang sama juga mereka diberondong senjata lagi. Tak lama berselang datang
konvoi truk militer dari arah pelabuhan menerjang dan menelindas demostran yang
sedang bertiarap di jalan, Dari atas truk tentara dengan membabi buta
menembaki para demonstran. Dalam sekejap jalanan dipenuhi oleh jasad-jasad
manusia yang telah mati bersimbah darah. Sedang beberapa korban yang
terluka tidak begitu parah berusaha lari menyelamatkan diri berlindung ke
tempat-tempat disekitar kejadian.
Sembari para tentara mengusung korban-korban yang mati dan
terluka ke dalam truk militer, masih saja terdengar suara tembakan tanpa henti.
Semua korban dibawa ke rumah sakit tentara di Jakarta, sementara rumah
sakit-rumah sakit yang lain dilarang keras menerima korban penembakan Tanjung
Priok. Setelah para korban diangkut, datanglah mobil pemadam kebakaran
untuk membersihkan jalanan dari genangan darah para korban
penembakan.
Pemerintah menyembunyikan fakta jumlah korban dalam tragedi berdarah itu. Lewat panglima ABRI saat itu LB. Murdhani menyatakan bahwa jumlah yang tewas sebanyak 18 orang dan yang luka-luka 53 orang. Tapi data dari Sontak (SOlidaritas Untuk peristiwa Tanjung Priok) jumlah korban yang tewas mencapai 400 orang. Belum lagi penderitaan korban yang ditangkap militer mengalami berbagai macam penyiksaan. Dan Amir Biki sendiri adalah salah satu korban yang tewas diberondong peluru tentara.
Pemerintah menyembunyikan fakta jumlah korban dalam tragedi berdarah itu. Lewat panglima ABRI saat itu LB. Murdhani menyatakan bahwa jumlah yang tewas sebanyak 18 orang dan yang luka-luka 53 orang. Tapi data dari Sontak (SOlidaritas Untuk peristiwa Tanjung Priok) jumlah korban yang tewas mencapai 400 orang. Belum lagi penderitaan korban yang ditangkap militer mengalami berbagai macam penyiksaan. Dan Amir Biki sendiri adalah salah satu korban yang tewas diberondong peluru tentara.
3.
Penyelesaian
Pengadilan
HAM ad hoc di Jakarta, tahun 2003 – 2004.
Pengadilan HAM Jakarta Pusat yang berwenang
memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok telah
menyelesaikan tugasnya untuk mengadili perkara tersebut pada pertengahan tahun
2004 yang lalu. Perkara terakhir yang diputuskan oleh Pengadilan HAM Jakarta
Pusat adalah perkara Sutrisno Mascung, dkk, yaitu pada 20 Agustus 2004, dengan
putusan terdakwa Sutrisno Mascung, dkk telah terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan pelanggaran HAM yang berat berupa pembunuhan dan percobaan
pembunuhan. Oleh karenanya, terdakwa Sutrisno Mascung, dkk dijatuhi pidana penjara
masing-masing 3 tahun penjara untuk Sutrisno Mascung, dan 2 tahun penjara untuk
anggotanya2.
Sebelumnya, Pengadilan
HAM Jakarta Pusat juga telah menjatuhkan putusan kepada para terdakwa lainnya
dalam perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok. Pada 30 April 2004, Majelis
Hakim yang mengadili perkara R. Butar-Butar menyatakan bahwa R. Butar-Butar
selaku Komandan Kodim 0502 Jakarta telah terbukti melakukan kejahatan terhadap
kemanusiaan berupa pembunuhan dan penganiayaan. Terhadap terdakwa R. Butar-Butar,
Majelis Hakim yang dipimpin Cicut Sutiyarso menjatuhkan pidana berupa pidana
penjara selama 10 tahun.