BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah setiap warga negara Indonesia yang
memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka
waktu tertentu dengan menerima upah.
Pada sisi lain seperti yang dikemukakan Satjipto Rahardjo bahwa untuk
menggambarkan masyarakat Indonesia tidak ada yang lebih bagus dan tepat selain
dengan mengatakan bahwa masyarakat itu sedang berubah secara cepat dan cukup
mendasar. Indonesia adalah masyarakat yang tengah mengalami transformasi
struktural yaitu dari masyarakat yang berbasis pertanian ke basisindustri.
Perubahan tersebut mengalami akselerasi, yaitu sejak penggunaan teknologi makin menjadi modus
andalan untuk menyelesaikan permasalahan
Kebijakan dan program pemerintah mengenai penempatan Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) ke luar negeri merupakan salah satu solusi untuk mengurangi tingkat
pengangguran di tanah air, dengan
memanfaatkan kesempatan kerja di luar negeri, TKI tidak saja mendapatkan
penghasilan yang cukup besar, tetapi juga ikut menyumbang devisa bagi negara
Indonesia.Banyak TKI yang sudah berhasil, tetapi tidak sedikit pula yang pada
mulanya ingin bekerja untuk membebaskan diri dan keluarganya dari jeratan
kemiskinan mengalami penganiayaan dan perkosaan oleh majikan dan tindakan tidak
semena-mena oleh sebagian perusahaan jasa tenaga kerja swasta (Hugo, 2002).
Bermula dari adanya persoalan yang menimpa para TKI seperti mendapat
perlakuan yang kasar atau tidak manusiawi tetapi sebagian besar dari mereka juga
banyak yang mendapat perlakuan baik dan sewajarnya. Disisi lain, seperti tidak
diberi upah, dipukuli, diperkosa, disiram air panas, diseterika bagian
tubuhnya, tidak diberi makan, dikurung dalam gudang dan lain-lain.
Perlakuandiatas merupakan sebagian dari pelanggaran terhadap hak-hak TKI yang
terjadi di luar negeri. Kurangnya informasi yang diperoleh calon TKI atau
TKI yang bekerja di luar negeri banyak dikeluhkan oleh TKI dalam hubungannya
dengan pelayanan dan penempatan TKI.
Minimnya akses informasi calon TKI dan TKI cenderung menimbulkan sikap
pasif dan menerima perlakuan perusahaan jasa tenaga kerja swasta dan majikannya
karena mereka tidak tahu apa yang dilakukannya. Kemiskinan, kebodohan dan
kekurangan informasi memang dapat menyesatkan. Akses informasi calon TKI dan
TKI cenderung menimbulkan sikap pasif dan menerima perlakuan perusahaan jasa
tenaga kerja swasta dan majikannya karena mereka tidak tahu apa yang
dilakukannya. Kemiskinan, kebodohan dan kekurangan informasi memang dapat
menyesatkan. Akses informasi tidak diberikan, yang dibutuhkan buruh migran
akses informasi.
Banyak TKI tidak dapat akses untuk mendapatkan informasi seperti upah
dan yang lain-lainnya, aspek penyebaran informasi yang masih terbatas juga
memberi pengaruh terhadap penempatan tenaga kerja ke luar negeri. Banyak akses
masalah yang terjadi akibat tidak memadainya penyediaan dan penyebaran informas
ikepada masyarakat. Kurangnya informasi yang diterima calon TKI dan TKI karena
pemerintah yang bertugas dalam pelayanan dan penempatan TKI belum optimal dalam memberikan informasi
kepada mereka. Berbagai keluhan yang disebabkan oleh kurangnya akses dan
fasilitas pelayanan informasi sebaiknya dapat dikurangi, apabila pemerintah
semakin intensif dalam menyampaikan informasi hingga menjangkau tiap calon TKI
dan TKI. Oleh karena itu, aspek pelayanan informasi merupakan salah satu faktor
penting yang dapat meningkatkanpemahaman calon TKI dan TKI terutama.
Mengenai informasi hak dan kewajibannya.Informasi ini berguna untuk memberdayakan TKI
sehingga mereka tidak mudah percaya kepadasponsor, calo, taikong atau
perusahaan jasa tenaga kerja swasta dan berani menolak tindakan sewenang-wenang
majikan yang bertentangan dengan hak dan kewajibannya
sebagai TKI.
sebagai TKI.
Pertumbuhan ekonomi yang sangat
cepat ditandai dengan tumbuhnya industri-industri baru yang menimbulkan banyak
peluang bagi angkatan kerja pria maupun wanita. Sebagian besar lapangan kerja
di perusahaan pada tingkat organisasi yang rendah yang tidak membutuhkan
keterampilan yang khusus lebih banyak memberi peluang bagi tenaga kerja wanita.
Tuntutan ekonomi yang mendesak dan berkurangnya peluang serta penghasilan di
bidang pertanian yang tidak memberikan suatu hasil yang tepat dan rutuin, dan
adanya kesempatan untuk bekerja di bidang industri telah memberikan daya tarik
yang kuat bagi tenaga kerja wanita. Tidak hanya pada tenaga kerja wanita yang
sudah dewasa yang sudah dapat digolongkan pada angkatan kerja. Tetapi sering
juga wanita yang belum dewasa yang selayaknya masih harus belajar di bangku sekolah.
Bagi tenaga kerja wanita yang belum berkeluarga masalah yang timbul berbeda
dengan yang sudah berkeluarga yang sifatnya lebih subyektif, meski secara umum
dari kondisi objektif tidak ada perbedaan-perbedaan. Perhatian yang benar bagi pemerintah
dan masyarakat terhadap tenaga kerja terlihat pada bberapa
peraturan-peraturan yang memberikan kelonggaran-kelonggaran maupun
larangan-larangan yang menyangkut kedirian seseorang wanita secara umum seperti
cuti hamil, kerja pada malam hari dan sebagainya.
Selain itu, masalah gangguan seksual (sexual harressment) seringkali
dialami oleh perempuan di tempat kerja, baik oleh teman sekerja maupun oleh
majikan. Gangguan ini bisa berbentuk komentar-komentar atau ucapan-ucapan
verbal, tindakan atau kontak fisik yang mempunyai konotasi seksual. Walaupun
seringkali oleh orang yang menjadi sasaran tindakan tersebut, suatu gangguan
tampaknya tidak membahayakan secara langsung, namun dengan adanya tindakan itu
yang mempunyai unsur kekuasaan dan dominsi, si orang trsebut selalu menjadi
sadar akan keperempuannya dan keperawanannya terhadap gangguan-gangguan
tersebut. Bentuk yang paling ekstrem dari gangguan seksual itu adalah perkosaan
yang seringkali pula bentuknya sangat terselubung, dalam artian bahwa sering
dianggap peristiwa tersebut sebagai peristiwa individual semata dan tidak
menyangkut pelanggaran hak asasi manusia.
Masalah tenaga kerja saat ini terus berkembang semakin kompleks sehingga
memerlukan penanganan yang lebih serius. Pada masa perkembangan tersebut
pergeseran nilai dan tata kehidupan akan banyak terjadi. Pergeseran dimaksud
tidak jarang melanggara peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menghadapi
pergeseran nilai dan tata kehidupan para pelaku industri dan perdagangan,
pengawasan ketenagakerjaan dituntut untuk mampu mengambil langkah-langkah
antisipatif serta mampu menampung segala perkembangan yang terjadi.
Oleh karena itu penyempurnaan terhadap sistem pengawasan ketenagakerjaan harus
terus dilakukan agar peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan secara
efektif oleh para pelaku industri dan perdagangan. Dengan demikian pengawasan
ketenagakerjaan sebagai suatu sistem mengemban misi dan fungsi agar peraturan
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dapat ditegakkan. Penerapan
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan juga dimaksudkan untuk menjaga
keseimbangan/keserasian hubungan antara hak dan kewajiban bagi pengusaha dan
pekerja/buruh sehingga kelangsungan usaha dan ktenagakerjaan dalam rangka
meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan kerja dapat terjamin.
Sendjun menjelaskan bahwa pembinaan hubungan ketenagakerjaan perlu diarahkan
kepada terciptanya keserasian antara tenaga kerja dan pengusaha yang dijiwai
oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dimana masing-masing pihak saling
menghormati dan saling mengerti terhadap peranan serta hak dan
kewajibannya masing-masing dalam keseluruhan aspek produksi, serta peningkatan
partisipasi mereka dalam pembangunan.
Sementara itu dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
merupakan salah satu solusi dalam perlindungan buruh maupun majikan tentang hak
dan kewajiban masing-masing pihak. Perlindungan buruh diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 67-101 meliputi
perlindungan buruh penyandang cacat, anak, perempuan, waktu kerja, keselamatan
dan kesehatan kerja, pengupahan dan kesejahteraan. Dengan
demikian,Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 sangat berarti dalam mengatur hak
dan kewajiban bagi para tenaga kerja maupun para pengusaha di dalam
melaksanakan suatu mekanisme proses produksi.
Tidak kalah pentingnya adalah perlindungan tenaga kerja yang bertujuan agar
bisa menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesempatan serta
perlakuan tanpa diskriminasi. Hal ini merupakan esensi dari disusunnya
undang-undang ketenagakerjaan yaitu mewujudkan kesejahteraan para pekerja/buruh
yang akan berimbas terhadap kemajuan dunia usaha di Indonesia.
B.
Tujuan
Tujuan umum kami menyusun dan membuat makalah ini adalah untuk mengetahui
dan menyelesaikan masalah ketenagakarjaan di Indonesia. Serta menginformasikan
kepada para pembaca bagaimana kualitas kerja tenaga kerja Indonesia, faktor
penyebabnya, dan cara penanggulangannya. Karena selama ini hasil
produksi Indonesia sangat sedikit dan negara Indonesia lebih banyak
mengimpor produk dari luar negeri dan lebih sedikit mengekspor barang/produk
sendiri. Selain itu, agar masalah kualitas tenaga kerja Indonesia yang dihadapi
di dalam masyarakat Indonesia dapat terpecahkan. Kami ingin menemukan solusi
dari masalah tersebut.
C.
Manfaat
Dengan hadirnya karya tulis ini, pembaca akan mendapat manfaat yang banyak,
manfaat yang didapatkan setelah membaca karya tulis ini sangat menopang pembaca
dalam memahami berbagai prospek kehidupan sosial di negara kita, yakni
Indonesia.
Makalah ini bermanfaat sebagai pendamping belajar mengenai ilmu pengetahuan
sosial khususnya bagi para mahasiswa/i. Selain itu dapat memperluas pengetahuan
pembaca.
Pelajar maupun pembaca
yang sudah membaca karya tulis ilmiah kami ini, dapat memahami, mengetahui
bagaimana keadaan atau kehidupan tenaga kerja Indonesia saat ini. Semoga selain
dari hal tersebut, pembaca merasakan manfaat lain menurut diri sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Mendeskripsikan Pekerja Indonesia di Luar
Negeri
A. Pengertian
Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
Di Indonesia dikenal adanya Tenaga Kerja Indonesia (TKI), yaitu sebutan
bagi warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja
untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Faktor yang mendorong warga
Indonesia bekerja di luar negeri adalah faktor ekonomi. Hal ini dikarenakan
tidak adanya akses untuk mendapatkan peluang-peluang kerja. Terdapat dua faktor
penghambat dalam mendapatkan akses. Pertama, factor yang berasal dalam diri
seseorang. Rendahnya kualitas sumber daya manusia karena tingkat pendidikan
(keterampilan) atau kesehatan rendah atau ada hambatan budaya (budaya
kemiskinan). Faktor kedua berasal dari luar kemampuan seseorang. Hal ini
terjadi karena birokrasi atau ada peraturan-peraturan resmi (kebijakan)
sehingga dapat membatasi atau memperkecil akses seseorang untuk memanfaatkan
kesempatan dan peluang yang tersedia.
TKI yang bekerja di luar negeri dapat dikelompokan menjadi TKI legal dan
TKI ilegal, TKI legal adalah tenaga kerja Indonesia yang hendak mencari
pekerjaan di luar negeri dengan mengikuti prosedur dan aturan serta mekanisme
secara hukum yang harus ditempuh untuk mendapatkan izin bekerja di luar negeri,
para pekerja juga disertai dengan surat-surat resmi yang menyatakan izin
bekerja di luar negeri. TKI legal akan mendapatkan perlindungan hukum, baik itu
dari pemerintah Indonesia maupun dari pemerintah negara penerima. Oleh karena
itu para TKI ini juga harus melengkapi persyaratan legal yang diajukan oleh
pihak imigrasi negara penerima.
TKI legal selanjutnya akan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, dan terdaftar di instansi
terkait sebagai tenaga kerja asing di negara penerima. Para TKI legal juga
memiliki perjanjian kerja, yaitu perjanjian antara pekerja dengan pengusaha
atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban pihak
terkait, berdasarkan asas terbuka, bebas, objektif, serta adil dan setara tanpa
deskriminasi, penempatan TKI legal diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja
pada jabatan yang sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat dan
perlindungan hukum. TKI illegal adalah tenaga kerja indonesia yang bekerja di
luar negeri namun tidak memiliki izin resmi untuk bekerja di tempat tersebut,
para TKI ini tidak mengikuti prosedur dan mekanisme hukum yang ada di indonesia
dan Negara penerima. Empat kategori pekerja asing dianggap ilegal:
1. Mereka yang bekerja di luar masa resmi mereka tinggal
2.
Mereka yang bekerja di luar ruang
lingkup aktivitas diizinkan untuk status mereka
3.
Mereka yang bekerja tanpa status
kependudukan yang izin kerja atau tanpa izin
4.
Orang-orang yang memasuki negara itu
secara tidak sah untuk tujuan terlibat dalam kegiatan yang menghasilkan
pendapatan atau bisnis
B. Fungsi dan
Peran TKI
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ternyata mempunyai peranan penting untuk
memperbaiki hubungan antara Indonesia dan Malaysia yang saat ini sedang
memanas. Hal ini diungkapkan oleh M. Cholily, Ketua Serikat Buruh Migran
Indonesia (SBMI) Jawa Timur, yang ditemui pada hari Minggu (05/09) kemarin.
“Pemerintah Malaysia diuntungkan dengan adanya TKI, Pemerintah Indonesia juga
diuntungkan dengan devisa dari TKI,” jelasnya.
Menurutnya, Pemerintah Malaysia juga dipengaruhi oleh banyaknya TKI
yang bekerja di sektor formal dan informal, sehingga penarikan secara massal
TKI dari Malaysia dapat merugikan Negara Jiran tersebut. Belum lagi jika para TKI
tersebut dipulangkan ke Indonesia, Pemerintah Indonesia juga harus menyediakan
lapangan pekerjaan pengganti para TKI tersebut yang jumlahnya sekitar 2 juta
jiwa. “Sebenarnya Indonesia dan Malaysia membutuhkan TKI, sehingga kedua negara
seharusnya memberikan perhatian yang serius kepada buruh migran itu,” ucapnya.
Cholily mengatakan bahwa hubungan Indonesia dan Malaysia yang memanas
bisa saja mempengaruhi kondisi psikologis dari para TKI. Bisa saja para majikan
melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap para TKI karena memanasnya hubungan
antara Indonesia dan Malaysia. “Ada kemungkinan para majikan melakukan tindakan
sewenang-wenang kepada TKI yang menjadi pembantu rumah tangga karena ketegangan
kedua negara itu, sehingga hal itu merugikan TKI” katanya.
Gemuruh pembangunan ekonomi masih menyisakan banyak pekerjaan rumah
yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah persoalan kemiskinan. Faktual,
saat ini jumlah penduduk miskin masih tinggi. Data yang didiseminasi Badan
Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada Maret 2012, sebanyak 29,13 juta (11,96
persen) penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, sementara 26,39
juta (10,83 persen) lainnya rentan untuk jatuh miskin karena kondisi
kesejahteraan yang tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin.
Selama ini pemerintah memang telah mengerahkan segenap upaya untuk mengurangi jumlah penduduk miskin secara berarti. Berbagai program penanggulangan kemiskinan berlapis pun telah diluncurkan, yang tentu saja menghabiskan anggaran yang tidak sedikit–mencapai 90 triliun di tahun 2012. Namun sayangnya, penurunan jumlah penduduk miskin berjalan lambat dan jauh dari harapan.
Selama ini pemerintah memang telah mengerahkan segenap upaya untuk mengurangi jumlah penduduk miskin secara berarti. Berbagai program penanggulangan kemiskinan berlapis pun telah diluncurkan, yang tentu saja menghabiskan anggaran yang tidak sedikit–mencapai 90 triliun di tahun 2012. Namun sayangnya, penurunan jumlah penduduk miskin berjalan lambat dan jauh dari harapan.
Karenanya, pemerintah perlu terus bekerja keras, dan upaya
penanggulangan kemiskinan hendaknya tidak hanya bertumpu pada berbagai program
penanggulangan kemiskinan yang telah dijalankan selama ini. Berbagai upaya lain
juga perlu dicoba, dan salah satunya adalah pemanfaatan potensi uang yang
dikirim oleh para tenaga kerja Indonesia (TKI) dari luar negeri (remitansi).
Hingga tahun 2012, jumlah TKI yang bekerja di luar negeri telah
mencapai 3.998.592 orang. Tiga negara utama tujuan para TKI adalah Arab Saudi
(1.427.928 orang), Malaysia (1.049.325 orang), dan Taiwan (381.588 orang). Ini
adalah data resmi yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan TKI (BNP2TKI) yang tentu saja tidak mencakup mereka yang bekerja
di luar negeri tanpa melalui jalur resmi alias ilegal. Diketahui, jumlah TKI
ilegal cukup besar (khususnya di Malaysia). Hingga saat ini, belum ada data
pasti mengenai jumlah mereka. Di Malaysia, misalnya, jumlah TKI ilegal
diperkirakan mencapai 2/3 dari total pekerja migran asal Indonesia yang bekerja
di negara tersebut (Sukamdi, 2008).
Sayangnya, sebagian besar TKI (71 persen) bekerja di sektor informal.
Mudah untuk diduga, sebagian besar mereka adalah pembantu rumah tangga (PRT).
Hasil studi yang dilakukan Suhariyanto et al. dengan menggunakan data Survei
Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2007 menunjukkan, sekitar 48,8 persen
TKI bekerja sebagai PRT. Temuan ini nampaknya bersesuaian dengan fakta bahwa
sekitar 76 persen TKI adalah perempuan.
Meskipun sebagian besar TKI bekerja di sektor informal, mereka berperan
penting bagi perekonomian melalui uang yang mereka kirimkan ke Indonesia.
Itulah sebab mereka digelari sebagai “pahlawan devisa”. Hingga saat ini tidak
diketahui secara pasti jumlah remitansi yang dikirim oleh para TKI. Sebagai
gambaran, pada tahun 2009, jumlahnya diperkirakan mencapai 6,77 miliar dollar
AS (BI dan BNP2TKI).
Angka 6,77 miliar dollar AS tersebut dipastikan lebih kecil dari jumlah
remitansi sesungguhnya yang diterima dari para TKI. Pasalnya, selama ini belum
ada sistem yang memadai terkait penghitungan jumlah remitansi yang diperoleh
dari para TKI. Secara sederhana, selama ini remitansi dihitung dari semua
residual pada neraca pembayaran (balance of payment).
Selain itu, remitansi dalam jumlah signifikan
yang mengalir ke Indonesia masih banyak yang tidak terdeteksi karena dikirim
melalui berbagai saluran tidak resmi. Sebagai contoh, Survei Remitansi Nasional
yang dilakukan Bank Indonesia mengungkap fakta bahwa di Nunukan, Kalimantan
Timur, hanya 30 persen TKI yang mengirimkan uangnya ke tanah air dengan
menggunakan saluran resmi atau bank. Sisanya, lebih memilih untuk mengirim uang
mereka melalui karabat atau teman yang kembali ke tanah air serta berbagai
jalur tak resmi lainnya.
Potensi Besar
Umumnya, para TKI berasal dari rumah tangga dengan kondisi ekonomi
pas-pasan. Karena itu, peran remitansi dari para TKI cukup besar bagi upaya
penanggulangan kemiskinan. Hasil studi yang dilakukan oleh Suhariyanto et al.
juga menemukan bahwa sebagian besar sumber pendapatan rumah tangga migran,
yakni rumah tangga dengan minimal satu anggota rumah tangga bekerja sebagai
TKI, berasal dari remitansi. Donasinya mencapai 31,2 persen terhadap total
pendapatan yang diterima oleh rumah tangga. Hasil studi juga menunjukkan, pola
pengeluaran (expenditure pattern) rumah tangga migran yang menerima remitansi
lebih baik ketimbang rumah tangga migran yang tidak menerima remitansi: porsi
pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, dan barang tahan lama lebih tinggi.
Ini merupakan indikasi bahwa kondisi kesejahteraan rumah tangga migran penerima
remitansi lebih baik dibanding rumah tangga migran yang tidak menerima
remitansi.
C. Aturan TKI
Banyak sekali peraturan hukum positif yang menegaskan tentang
eksistensi dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI), bahwa negara sangat berperan
dalam pembudidayaan TKI di Indonesia. Seperti halnya, pengurusan negara
terhadap TKI. Maka, secara emplisit negara telah menetapkan peraturan yang
harus dijalan oleh seorang yang ingin menjadi TKI, yaitu sebagai berikut:
1. Bekerja merupakan hak asasi manusia yang wajib
dijunjung tinggi, dihormati, dan dijamin penegakannya.
2. Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan
yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang
layak, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan keahlian,
keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan.
3. Tenaga kerja Indonesia di luar negeri sering
dijadikan obyek perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa,
korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat
manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.
4. Negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi
warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan
prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan
gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia.
5. Penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri
merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga
kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang
pelaksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat, hak asasi
manusia dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan
tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan nasional.
6. Penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri
perlu dilakukan secara terpadu antara instansi Pemerintah baik Pusat maupun
Daerah dan peran serta masyarakat dalam suatu sistem hukum guna melindungi
tenaga kerja Indonesia yang ditempatkan di luar negeri.
7. Peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan yang ada belum mengatur secara memadai, tegas, dan terperinci
mengenai penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
8. Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dinyatakan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri
diatur dengan Undang-undang.
Mengingat :
1.
Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 E ayat
(1) dan ayat (3), Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
2.
Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279).
Dari berbagai peraturan yang telah ditetapkan
oleh pemerintah tentang pelaksanaan dan tanggung jawab TKI telah disebutkan
dalan peraturan pemerintahan. Maka, secara otomatis seorang TKI harus patuh dan
taat hukum di dalam negri maupun di luar Negri, agar asuransi dan perlengakapan
persiapan Tki bisa berjalan sebagaimana mestinya.
D. Permasalahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Di Dalam Negeri
Persoalan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri rupanya tak
luput dari carut-marutnya pengelolaan sejumlah perusahaan pengerah tenaga
kerja. Perekonomian Indonesia mengalami surplus tenaga kerja. Jumlah penawaran
tenaga kerja melampaui permintaannya. Pemerintah memperkirakan angka
pengangguran turun dari 7,9 persen di tahun 2009 menjadi 7,6% pada 2010. Tetapi
sebenarnya masih banyak orang dengan status bekerja, namun melakukan pekerjaan
yang tidak layak. Sebelum krisis ekonomi 1997, angka elastisitas penyerapan
tenaga kerja cukup tinggi.
Sulitnya memperoleh pekerjaan di dalam negeri mendorong sebagian pekerja mengadu
nasib di luar negeri. Tekanan penduduk (population pressure) dalam beberapa
tahun mendatang akan semakin besar. Sekitar 56% pekerja Indonesia hanya lulusan
SD ke bawah. Semakin sedikit kesempatan kerja untuk para lulusan SD. Hal ini
diperburuk tidak adanya sistem jaminan sosial. Setiap orang bertanggung jawab
atas dirinya sendiri. Tidak ada pilihan lain, sehingga harus bekerja termasuk
ke luar negeri. Tetapi, jika tidak dikelola dengan baik, maka akan terus
menimbulkan masalah. Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI
(BNP2TKI) menunjukkan adanya tren kenaikan TKI bermasalah dari sekitar 14% pada
2008 menjadi lebih dari 20% pada 2009.
E. Perlindungan
Pemerintah Terhadap TKI
Perlindungan TKI Pasal 1 angka 4 Undang-Undang
No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di
Luar Negeri menyebutkan bahwa Perlindungan TKI yaitu Segala upaya untuk
melindungi kepentingan calon Tenaga Kerja Indonesia dalam mewujudkan terjaminnya
pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum,
selama, maupun sesudah bekerja. Dengan demikian, seluruh TKI yang bekerja di
Iuar negeri wajib mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah, karena telah
termuat dalam Undang-Undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Selain itu PPTKIS juga
mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada para calon TKI/ TKI.
1. Peran pemerintah dalam melindungi Tenaga Kerja Indonesia.
Mengesampingkan berbagai kasus mengenai
penganiayaan atas TKI yang sudah terjadi. Di Indonesia telah disusun dalam
bentuk undang-undang yang memuat regulasi penempatan TKI. Sudah terdapat
ketentuan yang jelas, meskipun fakta dilapangan masih terdapat berbagai
pelanggaran. Adapun dilakukannya penempatan TKI keluar negeri merupakan upaya
dalam menanggulangi minimnya lapangan kerja di Indonesia. Tujuan dari program
tersebut adalah :
a.
Upaya
penanggulangan masalah pengangguran.
b.
Melakukan
pembinaan, perlindungan dan memberikan berbagai kemudahan kepada TKI dan
Perusahaan Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI).
c.
Peningkatan
kesejahteraan keluarganya melalui gaji yang diterima atau remitansi.
d.
Meningkatkan
keterampilan TKI karena mempunyai pengalaman kerja di luar negeri.
e.
Bagi
Negara, manfaat yang diterima adalah berupa peningkatan penerimaan devisa,
karena para TKI yang bekerja tentu memperoleh imbalan dalam bentuk valuta
asing.
Namun dibalik tujuan dan manfaat yang didapatkan
penempatan TKI ke luar negeri juga mempunyai efek negatif. Dengan
adanya kasus kekerasan fisik/psikis yang menimpa TKI baik sebelum,
selama bekerja, maupun pada saat pulang ke daerah asal. Munculnya kepermukaan
banyak masalah TKI yang bekerja di luar negeri semakin menambah beban persoalan
ketenagakerjaan di Indonesia. Ketidakadilan dalam perlakuan pengiriman tenaga
kerja oleh Perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PPJTKI), penempatan
yang tidak sesuai standar gaji yang rendah karena tidak sesuai kontrak kerja
yang disepakati, kekerasan oleh pengguna tenaga kerja, pelecehan seksual,
tenaga kerja yang illegal (illegal worker).
Hukum yang berlaku di daerah tujuan penenmpatan TKI yang kurang memberikan perlindungan. Hal ini sudah jelas terlihat dengan maraknya kasus penganiayaan yang terjadi terutama pada PRT. Ketika terjadi masalah para TKI harus mengadu dulu pada duta besar negara Indonesia atau ketika sudah disorot oleh media baru ada respon untuk melindungi hak mereka.
Hukum yang berlaku di daerah tujuan penenmpatan TKI yang kurang memberikan perlindungan. Hal ini sudah jelas terlihat dengan maraknya kasus penganiayaan yang terjadi terutama pada PRT. Ketika terjadi masalah para TKI harus mengadu dulu pada duta besar negara Indonesia atau ketika sudah disorot oleh media baru ada respon untuk melindungi hak mereka.
Hal yang selama ini dipertanyakan mengenai
perjanjian tertulis antara Indonesia dengan negara tujuan karena banyaknya
kasus penganiayaan yang masih terjadi. Hal tersebut ternyata telah diatur dalam
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 mengatur tentang penempatan TKI di
luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahnya telah
membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia atau ke negara
tujuan yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja
asing..
Padahal di dalam pasal 80 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 dinyatakan bahwa Perlindungan selama masa penempatan TKI di luar negeri dilaksanakan antara lain:
Padahal di dalam pasal 80 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 dinyatakan bahwa Perlindungan selama masa penempatan TKI di luar negeri dilaksanakan antara lain:
a.
Pemberian
bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara
tujuan serta hukum dan kebiasaan internasional.
b.
Pembelaan
atas pemenuhan hak-hak sesuai dengan perjanjian kerja dan/atau peraturan
perundang-undangan di negara TKI ditempatkan.
c.
Mengenai
hak-hak para buruh migran Pasal 8 Undang-undang nomor 39 tahun 2004 menyatakan
bahwa setiap calon TKW/TKI mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk:
1)
Bekerja di
luar negeri;
2)
Memperoleh
informasi yang benar mengenai pasar kerja luar negeri dan prosedur penempatan
TKI di luar negeri;
3)
Memperoleh
pelayanan dan perlakuan yang sama dalam penempatan di luar negeri;
4)
Memperoleh
kebebasan menganut agama dan keyakinannya serta kesempatan untuk menjalankan
ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianutnya;
5)
Memperoleh
upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di negara tujuan;
6)
Memperoleh
hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama yang diperoleh tenaga kerja asing
lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di negara tujuan;
7)
Memperoleh
jaminan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan atas
tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabatnya serta pelanggaran atas
hak-hak yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selama penempatan
di luar negeri;
8)
Memperoleh
jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan kepulangan TKI ke tempat asal
2. Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negri
a.
Hak-hak
kewajiban pekerja
a)
Hak-hak
pekerja
Menurut Darwan Prints, yang dimaksud dengan hak di sini adalah sesuatu
yang harus diberikan kepada seseorang sebagai akibat dari kedudukanatau status
dari seseorang, sedangkan kewajiban adalah suatu prestasi baik berupa benda
atau jasa yang harus dilakukan oleh seseorang karena kedudukanatau statusnya.
Mengenai hak-hak bagi
pekerja adalah sebagai berikut:
1)
Hak
mendapat upah/gaji (Pasal 1602 KUH Perdata, Pasal 88 s/d 97 Undang-undang No.
13 Tahun 2003; Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah)
2)
Hak atas
pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 4 Undang-undang
No. 13 Tahun 2003)
3)
Hak bebas memilih
dan pindah pekerjaan sesuai bakat dan kemampuannya (Pasal 5 Undang-undang No.
13 Tahun 2003);
4)
Hak atas
pembinaan keahlian kejuruan untuk memperoleh serta menambah keahlian dan
keterampilan lagi ( Pasal 9 – 30 Undang-undang No. 13 Tahun 2003);
5)
Hak mendapatkan
perlindungan atas keselamatan, kesehatan serta perlakuan yang sesuai dengan
martabat manusia dan moral agama (Pasal 3 Undang-undang No. 3 Tahun 1992
tentang Jamsostek)
6)
Hak atas
istirahat tahunan, tiap-tiap kali setelah ia mempunyai masa kerja 12 (dua
belas) bulan berturut-turut pada satu majikan atau beberapa majikan dari satu
organisasi majikan (Pasal 79 Undang-undang No. 13 Tahun 2003)
b)
Kewajiban
pekerja
Di samping mempunyai hak-hak sebagaimana diuraikan di atas,tenaga kerja
juga mempunyai kewajiban sebagai berikut:
1)
Wajib
melakukan prestasi/pekerjaan bagi majikan;
2)
Wajib
mematuhi peraturan perusahaan;
3)
Wajib mematuhi
perjanjian kerja;
4)
Wajib
mematuhi perjanjian perburuhan;
5)
Wajib menjaga
rahasia perusahaan;
6)
Wajib mematuhi
peraturan majikan;
7)
Wajib memenuhi
segala kewajiban selama izin belum diberikan dalam hal ada banding yang belum
ada putusannya;
b.
Perlindungan
norma kerja
Perlindungan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian pekerja yang
berkaitan dengan norma kerja yang meliputi waktu kerja,mengaso, istirahat
(cuti), lembur dan waktu kerja malam hari bagi pekerja wanita. Pasal 77
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Waktu kerja meliputi :
1)
7 jam
dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu; atau
2)
8 jam
dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu pasal
78
Apabila melebihi waktu kerja sebagaimana yang
ditentukan, harus memenuhi syarat :
1)
ada
persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
2)
waktu
kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam
dalam 1 minggu;
3)
pengusaha
wajib membayar upah kerja lembur Pasal 79;
Waktu istirahat dan cuti meliputi:
1)
istirahat
antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 jam
terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
2)
istirahat
mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu atau 2 hari untuk 5 hari
kerja dalam 1 minggu;
3)
cuti
tahunan sekurang-kurangnya 12 haris kerja setelah pekerja/buruh yang
bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus;
4)
istirahat
panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan
kedelapan masing-maisng 1 bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6
Tahun berturut-turut pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh
tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 tahun berjalan dan
selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 tahun.
F. Permasalahan
TKI dan Solusinya
1.
Permasalahan
TKI
Beberapa permasalahan tenaga kerja seperti,
keahlian terbatas, kurangnya kesempatan mendapat pekerjaan di Dalam Negeri,
pendapatan yang jauh lebih besar dibandingkan bekerja di Dalam Negeri, ataupun
keinginan meningkatkan taraf kehidupan ekonomi, mestinya tidak boleh diremehkan
tanpa mempertimbangkan kesiapan TKI yang akan dikirim. Data menunjukkan bahwa
hampir 90% permasalahan yang dihadapi oleh TKI bersumber di Dalam Negeri.
Pemalsuan identitas calon TKI, keterampilan dan kecakapan TKI yang kurang
sesuai dengan pekerjaan, minimnya kemampuan berbahasa dan pengenalan budaya
negara tujuan, buruknya informasi, pelayanan, dan perlakuan calon TKI dalam
penempatan di Luar Negeri dan sebagainya, menunjukkan bahwa kita tidak
antisipatif dalam menata para calon TKI. Belum lagi masalah penipuan,
kekerasan, perlakuan tidak adil terhadap calon TKI, memperburuk kinerja
pemerintah, sehingga banyak calon TKI kita yang berangkat melalui jalur
illegal. Kalaupun para TKI mengikuti mekanisme legal sebagaimana yang
ditetapkan, para TKI harus membayar mahal diluar kepatutan oleh rangkaian
birokrasi yang berbelit.
2.
Solusi
Masalah TKI
Pengaturan penempatan TKI di Luar Negeri diatur
melalui UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri, yang diperkuat melalui Instruksi Presiden RI (Inpres)
No. 6 Tahun 2006. UU No. 39 Tahun 2004 Pasal 7 huruf e secara tegas telah
menyatakan bahwa Pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan kepada TKI
selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna-penempatan.
Namun pada kenyataannya, terdapat berbagai ketidaksesuaian/penyimpangan dalam
implementasinya.
Salah satu penyimpangan tersebut misalnya,
aturan mengenai bahwa Calon TKI harus memperoleh kompetensi kerja setelah
mengikuti pendidikan dan pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga
pendidikan dan pelatihan kerja yang terakreditasi. Pada kenyataannya, banyak
TKI yang tidak memperoleh pendidikan dan pelatihan yang memadai, yang
mengakibatkan mereka tidak memiliki kompetensi kerja yang memadai, tidak
memahami adat istiadat setempat, serta tidak bisa berbahasa negara tujuan
dengan baik. Terjadinya ketidaksesuaian/penyimpangan tersebut dapat memicu
diajukannya gugatan, khususnya kepada Pemerintah RI baik di Pusat maupun
Perwakilan RI di luar negeri. Penyimpangan dan ketidaksesuaian yang sangat
mendasar inilah yang mesti diperbaiki oleh Pemerintah agar penempatan TKI ke
Luar Negeri menjadi lebih baik. Artinya, jika Pemerintah tidak mampu memenuhi
hal ini, Pemerintah tidak perlu mengirim mereka atau melakukan moratorium bila
perlu, sebab tidak sesuai dengan standar kualifikasi TKI yang dibutuhkan. Saya menggarisbawahi
instruksi Presiden kepada Menakertrans agar dalam waktu 3 bulan, untuk
melakukan kajian negara-negara tujuan TKI agar dapat diputuskan langkah-langkah
berikutnya.
Pelaksanaan Kebijakan Nasional Pelayanan
Penempatan Dan Perlindungan TKI Ke Luar Negeri (P3TKI-LN) haruslah bersifat
menyeluruh dan terintergrasi. Hal ini dapat diwujudkan melalui komitmen
nasional untuk melaksanakan koordinasi lintas regional dan sektoral, baik
vertikal maupun horizontal dengan proporsi peran dan tanggung jawab yang jelas
antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), dan Pelaksana Penempatan Tenaga
Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Kejelasan proporsi dan tanggung jawab tersebut
perlu dijalin dalam rangka kemitraan karena ketika TKI berangkat dan bekerja di
luar negeri menyandang harkat dan martabat bangsa, negara, dan Pemerintahan
Indonesia di dunia internasional.
Perubahan atas UU No. 39 tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri telah menjadi
prioritas pembahasan tahun 2011. Perubahan atas UU tersebut diharapkan dapat
memberikan jaminan atas peningkatan pelayanan penempatan dan perlindungan TKI
oleh pemerintah. Selain itu, dalam perubahan tersebut diharapkan adanya
pembagian kewenangan yang jelas antara BNP2TKI yang saat ini berperan sebagai
operator dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai regulator dalam
mengelola supply dan demand pasar kerja luar negeri.
Dengan pelayanan penempatan dan perlindungan TKI
yang menyeluruh dan terintegrasi, penegakan hukum yang kuat dan transparan,
serta pengelolaan pasar kerja luar negeri yang terencana, maka kerugian sosial
yang ditimbulkan dapat diminimalisasi sekecil mungkin sehingga pelayanan
penempatan dan perlindungan TKI dapat berdaya dan berhasil guna bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penerimaan devisa negara.
2.2.
Mendeskripsikan Mengenai Buruh Perempuan
A.
Perlindungan Pekerja Perempuan Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Dalam Pasal
1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan
bahwa,”Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
untuk masyarakat”.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan Pekerja Wanita
adalah Tenaga Kerja Wanita dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian
kerja dengan menerima upah.
Aturan hukum untuk pekerja perempuan ada yang berbeda dengan pekerja laki-laki,
seperti cuti melahirkan, pelecehan seksual di tempat kerja, jam perlindungan
dan lain-lain.
1. Pedoman
Hukum Bagi Pekerja Wanita
Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja wanita
berpedoman pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
khususnya Pasal 76, 81, 82, 83, 84, Pasal 93, Kepmenaker No. 224 tahun 2003
serta Peraturan Perusahaan atau perjanjian kerja bersama perusahaan yang
meliputi:
a.
Perlindungan Jam Kerja
Perlindungan
dalam hal kerja malam bagi pekerja wanita (pukul 23.00 sampai pukul 07.00). Hal
ini diatur pada pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Tetapi dalam hal ini ada pengecualiannya yaitu pengusaha yang
mempekerjakan wanita pada jam tersebut wajib:
1)
Memberikan makanan dan minuman bergizi
2)
Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja
3)
Menyediakan antar jemput bagi pekerja perempuan yang
berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 – 05.00.
Tetapi pengecualian ini tidak berlaku bagi pekerja
perempuan yang berum7ur di bawah 18 (delapan belas) tahun ataupun perempuan
hamil yang berdasarkan keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan
keselamatan kandungannya apabila bekerja antara pukul 23.00 – 07.00.
Dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan yang tidak
memberikan makanan dan minuman bergizi tetapi diganti dengan uang padahal
ketentuannya tidak boleh diganti dengan uang.
2. Perlindungan
dalam masa haid
Padal Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan diatur masalah perlindungan dalam masa haid.
Perlindungan terhadap pekerja wanita yang dalam masa haid tidak wajib bekerja
pada hari pertama dan kedua pada waktu haid dengan upah penuh. Dalam
pelaksanaanya lebih banyak yang tidak menggunakan haknya dengan alasan tidak
mendapatkan premi hadir.
3. Perlindungan
Selama Cuti Hamil
Sedangkan pada pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur masalah cuti hamil. Perlindungan cuti
hamil bersalin selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan
sesudah melahirkan dengan upah penuh. Ternyata dalam pelaksanaannya masih ada
perusahaan yang tidak membayar upah secara penuh.
4. Pemberian
Lokasi Menyusui
Pasal 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mengatur masalah ibu yang sedang menyusui. Pemberian kesempatan
pada pekerja wanita yang anaknya masih menyusui untuk menyusui anaknya hanya
efektif untuk yang lokasinya dekat dengan perusahaan.
B.
Peranan Penting Dinas tenaga Kerja
Peran Dinas Tenaga Kerja dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja
wanit yakni dengan melalui pengesahan dan pendaftaran PP & PKB Perusahaan
pada Dinas Tenaga Kerja, Sosialisasi Peraturan Perundangan di bidang ketenagakerjaan
dan melakukan pengawasan ke Perusahaan.
C.
Hambatan-Hambatan Hukum Bagi Pekerja Wanita
Hambatan-hambatan
yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja wanita
adalah adanya kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha yang kadang
menyimpang dari aturan yang berlaku, tidak adanya sanksi dari peraturan
perundangan terhadap pelanggaran yang terjadi, faktor pekerja sendiri yang
tidak menggunakan haknya dengan alasan ekonomi.
Agar langkah
ini dapat efektif maka negara harus menjabarkannya dan mengusahakan untuk
memasukkan jabaran konvensi tersebut ke dalam rumusan undang-undang negara dan
menegakkannya dengan cara mengajukan para pelanggarnya ke muka sidang
pengadilan. Namun demikian, preempuan sendiri masih belum banyak yang sadar
bahwa hak-haknya dilindungi dan bahwa hal tersebut mempunyai pengaruh terhadap
kehidupan perempuan. Adalah sangat prematur untuk mengadakan bahwa CEDAW sudah
dihormati dan dilaksanakan secara universal.
CEDAW
memerintahkan kepada seluruh negara di dunia untuk tidak melakukan diskriminasi
terhadap perempuan. Di dalam CEDAW ditentukan bahwa diskriminasi terhadap
perempuan adalah perlakuan yang berbeda berdasarkan gender yang :
a.
Secara sengaja atau tidak sengaja merugikan perempuan;
b.
Mencegah masyarakat secara keseluruhan memberi
pengakuan terhadap hak perempuan baik di dalam maupun di luar negeri; atau
c.
Mencegah kaum perempuan menggunakan hak asasi manusia
dan kebebasan dasar yang dimilikinya.
Perempuan
mempunyai atas perlindungan yang khusus sesuai dengan fungsi reproduksinya
sebagaimana diatur pada pasal 11 ayat (1) CEDAW huruf f bahwa hak atas
perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja termasuk usaha perlindungan
terhadap fungsi reproduksi.
Selain itu
seringkali adanya pemalsuan dokumen seperti nama, usia, alamat dan nama majikan
sering berbeda dengan yang tercantum di dalam paspor. Tenaga kerja yang tidak
berdokumen tidak diberikan dokumen perjanjian kerja. Hal ini juga sering
terjadi pada pekerja perempuan yang bekerja di luar negeri. Maka untuk itu CEDAW
pada pasal 15 ayat (3) mengatur yaitu negara-negara peserta bersepakat bahwa
semua kontrak dan semua dokumen yang mempunyai kekuatan hukum, yang ditujukan
kepada pembatasan kecakapan hukum para wanita, wajib dianggap batal dan tidak
berlaku.
D.
Perlindungan Pekerja Perempuan Berdasarkan Konvensi
ILO
Konvensi ILO
Nomor 45 tentang Kerja wanita dalam semua macam tambang di bawah tanah. Isi
Pasal 2 menyebutkan bahwa setiap wanita tanpa memandang umurnya tidak boleh
melakukan pekerjaan tambah di bawah tanah. Pengecualiannya terdapat pada pasal
3.
Dalam
konvensi ILO Nomor 100 mengenai Pengupahan Bagi Laki-Laki dan Wanita untuk
Pekerjaan yang Sama nilainya menyebutkan, “Pengupahan meliputi upah atau gaji
biasa, pokok atau minimum dan pendapatan-pendapatan tambahan apapun juga, yang
harus dibayar secara langsung atau tidak, maupun secara tunai atau dengan
barang oleh pengusaha dengan buruh berhubung dengan pekerjaan buruh”.
Hak untuk
menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir pada saat
hubungan kerja putus. Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh diskriminasi
antara buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gemuruh pembangunan ekonomi masih menyisakan
banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah persoalan
kemiskinan. Faktual, saat ini jumlah penduduk miskin masih tinggi. Data yang
didiseminasi Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada Maret 2012, sebanyak
29,13 juta (11,96 persen) penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan,
sementara 26,39 juta (10,83 persen) lainnya rentan untuk jatuh miskin karena
kondisi kesejahteraan yang tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin.
Selama ini pemerintah memang telah mengerahkan segenap upaya untuk mengurangi jumlah penduduk miskin secara berarti. Berbagai program penanggulangan kemiskinan berlapis pun telah diluncurkan, yang tentu saja menghabiskan anggaran yang tidak sedikit–mencapai 90 triliun di tahun 2012. Namun sayangnya, penurunan jumlah penduduk miskin berjalan lambat dan jauh dari harapan.
Selama ini pemerintah memang telah mengerahkan segenap upaya untuk mengurangi jumlah penduduk miskin secara berarti. Berbagai program penanggulangan kemiskinan berlapis pun telah diluncurkan, yang tentu saja menghabiskan anggaran yang tidak sedikit–mencapai 90 triliun di tahun 2012. Namun sayangnya, penurunan jumlah penduduk miskin berjalan lambat dan jauh dari harapan.
Karenanya, pemerintah perlu terus bekerja keras,
dan upaya penanggulangan kemiskinan hendaknya tidak hanya bertumpu pada
berbagai program penanggulangan kemiskinan yang telah dijalankan selama ini.
Berbagai upaya lain juga perlu dicoba, dan salah satunya adalah pemanfaatan
potensi uang yang dikirim oleh para tenaga kerja Indonesia (TKI) dari luar
negeri (remitansi).
Pelaksanaan
peraturan perundangan tentang ketenagakerjaan tersebut, khususnya dalam perlindungan
hukum terhadap tenaga kerja perempuan dilaksanakan oleh pemerintah, pengusaha
dan pekerja pada perusahaan-perusahaan, berorientasi pada tiga domein, yaitu
domein tenaga kerja, pengusaha dan pemerintah (lingkungan kerja).
Pemerintah
dan pelaksana peraturan perundangan tersebut telah melakukan pengawasan dalam
pelaksanaan peraturan perundangan tersebut, dengan memperhatikan aspek sosial,
ekonomi, politik, budaya dan kultur yang berkembang dalam masyarakat.
Peraturan
perundangan yang dibuat pemerintah tentang perlindungan keselamatan dan
kesehatan kerja sudah cukup untuk mengatur dan memberikan perlindungan terhadap
tenaga kerja, khususnya tenaga kerja perempuan, yaitu memberikan perempuan
berserikat dan berdemokrasi di tempat kerja, perlindungan tenaga kerja
perempuan terhadap diskriminasi, perlindungan terhadap pemenuhan hak-hak dasar
pekerja, perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.
Kendala yang
ditemukan dalam pelaksanaan peraturan perundangan tersebut, adalah kendala yang
bersifat eksternal dan kendala internal. Namun demikian peraturan perundangan
tersebut dapat dilaksanakan secara efektif untuk memberikan perlindungan
terhadap tenaga kerja, khususnya tenaga kerja perempuan.
B. Saran
Demikian makalah yang saya buat guna untuk
memenuhi tugas, pemakalah sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka dari itu pemakalah membutuhkan kritik dan saran yang mendukung guna untuk
menujang makalah pembuatan makalah yang selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Supianto,
perlindungan negara terhadap tenaga kerja indonesia,naringgul:2011
Satjipto Rahardjo, Pendayagunaan Sosiologi Hukum untuk Memahami Proses-proses dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi, Jurnal Hukum, No. 7 Vol. 4 Tahun 1997
Satjipto Rahardjo, Pendayagunaan Sosiologi Hukum untuk Memahami Proses-proses dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi, Jurnal Hukum, No. 7 Vol. 4 Tahun 1997
Darwan
Prints, “Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000
http://elfatsani.blogspot.com/2009/04/perlindungan-hukum-bagi-buruh-migran.html
diaksesv
K.
Rampersad. Hubert, 2006. PERLINDUNGAN WANITA. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
A. Judge.
Timothy dan Stephen P. Robbins. 2008. PEKERJA WANITA Edisi 12.
Jakarta: Salemba Empat.
http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/2010_11_01_archive.html#uds-search-results
http://www.ebooklibs.com/worddocuments/kedudukan,_kewenangan_pemerintah.html