Tuesday, February 09, 2016

6:11:00 PM
BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
Pendidikan merupakan faktor penting yang mempunyai andil besar dalam memajukan suatu bangsa, bahkan peradaban manusia. Tujuan pendidikan itu merupakan tujuan dari negara itu sendiri. Pendidikan yang rendah dan berkualitasakan terus mengundang para penjajah, baik penjajahan secara fisik maupun non fisik, seperti penjajahan intelektual, pemikiran, ekonomi, sosial, politik dan agama. Hal inisenada dengan ungkapan “kebodohan bukanlah karena penjajahan tetapi kebodohanlah yang mengundang penjajah”.
Bangsa Indonesia merdeka setelah proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945.Kemerdekaan ialah terbebasnya suatu bangsa dari belenggu penjajahan. Bangsa yang sudah merdeka dapat leluasa mengatur laju bangsa dan pemerintahan untuk mencapai tujuannya. Benarkah demikian?Kemerdekaan tidak sepenuhnya menyelesaikan berbagai persoalan negara.Kemerdekaan politik sesudah masa penjajahan oleh pemerintah Jepang dan Belanda itu lebih mudah dicapai dibandingkan dengan rekonstruksi kultural masyarakat danrenovasi system pendidikan kita.
Mengamati perjalanan sejarah pendidikan pada masa penjajahanBelanda dan Jepang sungguh menarik dan memiliki proses yang amat panjang.Belanda yang menduduki Indonesia selama 3 ½ abad dan Jepang selama 3 1/ 2 tahun meninggalkan kesengsaraan, mental dan kondisi psikologis yang lemah. Dengan misi gold, glory dan gospelnya mereka mempengaruhi pemikiran dan ideologi dengan doktrin-doktrin Barat.
Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan : praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonianl Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang, dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono: 1985). Berbagai praktek pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda-beda. Beberapa praktek pendidikan yang telah dilaksanakan oleh bangsa Indonesia adalah: pendidikan modern zaman kolonial Belanda, praktek pendidikan zaman kemerdekaan sampai pada tahun 1965, yang sering kita sebut sebagai orde lama, praktek pendidikan dalam masa pembangunan orde baru, dan praktek pendidikan di era reformasi sekarang.
Pendidikan Pada Masa Kemerdekaan telah mengalami perkembangan pendidikan semenjak kita mencapai kemerdekaan  memberikan gambaran yang penuh dengan kesulitan. Pada masa ini, usaha penting dari pemerintah Indonesia pada permulaan adalah tokoh pendidik yang telah berjasa dalam zaman kolonial menjadi menteri pengajaran.Dalam kongres pendidikan, Menteri Pengajaran dan Pendidikan tersebut  membentuk panitia perancang RUU mengenai pendidikan dan pengajaran. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk sebuah system pendidikan yang berlandaskan pada ideologi Bangsa Indonesia sendiri.
Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965  bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan praktek pendidikan Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai "PANGREH PRAJA". Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas.
Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan antara pendidikan untuk orangpribumi.Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga  pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia.
Pada zaman Jepang meski hanya dalam tempo yang singkat, tetapi bagi dunia pendidikan Indonesia memiliki arti yang amat signifikan. Sebab, lewat pendidikan Jepang-lah sistem pendidikan disatukan tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing dengan pengantar bahasa Belanda. Satu sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan setelah bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pemerintah Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional yang berlandaskan pada budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara.

1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang dipaparkan di atas, maka kami merumuskan, pokok permasalahan :
1.        Bagaimana Konsep Pendidikan di Indonesia?
2.        Bagaimanakah sistem pendidikan Indonesia  pada masa Belanda?
3.        Bagaimanakah sistem pendidikan Indonesia  pada masa Jepang?
4.        Bagaimanakah sistem pendidikan Indonesia  pada masa setelah kemerdekaan (Orde Lama,Orde Baru,dan Reformasi)?

1.3    Tujuan dan Manfaat Penulisan
a.    Tujuan Penulis :
Untuk mendeskripsikan perkembangan dan perbedaan system pendidikan yang telah berlaku di Indonesia khususnya pada masa pendudukan Jepang, Belanda, dan setelah kemerdekaan.
b.    Manfaat Penulisan
Semakin menambah pengetahuan kami tentang perkembangan dan perbedaan system pendidikan yang telah terjadi di Indonesia pada setaip dekade pemerintahan. Selain itu, juga melatih kami dalam membuat atau menuliskan suatu karya ilmiah. Juga diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan yang ada, terutama bagi mahasiswa.

BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pendidikan
Bertanya mengenai hakekat pendidikan adalah bertanya mengenai pendidikan itu ? Usaha utnuk memberikan jawaban terhadap apakah pendidikan itu telah memenuhi khazanah ilmu pengetahuan yang disebut ilmu pendidikan / pedagogic. 
Kajian teori ilmu pendidikan : dari beberapa definisi yang muncul mengenai apakah hakekat pendidikan itu dapat dikategorikan dalam dua pendekatan yaiti pendekatan epistemologis dan pendekatan ontology atau metafisik.
Pendekatan Epistemologis diturunkan dari Pendapat seorang Filsuf bernama René Descartes (1596-1650) yang dipandang sebagai pelopor filosofi modern. Salah satu pernyataannya yang terkenal adalah :’Cogito ergo sum”.  Dalam satu bagian dari bukunya Meditationes de Prima Philosophia (1641), Descrates menyatakan :
Throughout my writings I have made it clear that my method imitates that of the architect. When an architect wants to build a house which is stable on ground where there is a sandy topsoil over underlying rock, or clay, or some other firm base, he begins by digging out a set of trenches from which he removes the sand, and anything resting on or mixed in with the sand, so that he can lay his foundations on firm soil. In the same way, I began by taking everything that was doubtful and throwing it out, like sand … (Replies 7, AT 7:537).  Diambil dari http://plato.stanford.edu/entries/descartes-epistemology/
Dari uraian tersebut dapat dilihat dasar pemikiran Descrates untk menghilangkan keraguan untuk mendapatkan kebenaran. Didalam pendekatan epistemologis yang menjadi masalah ialah akar/kerangka ilmu pendidikan sebagai ilmu. Pendekatan tersebut berusaha mencari makna pendidikan sebagai ilmu yaitu mempunyai objek yang akan merupakan dasar analisis yang akan membangun ilmu pengetahuan yang disebut ilmu pendidikan. Didalam usaha tersebut dikaji mengenai peranan pendidikan dan kemungkinan-kemungkinan pendidikan.

Dari sudut pandang ini :
1.             Pendidikan dilihat sebagai suatu proses yang inheren dalam konsep manusia artinya manusia hanya dapat dimanusiakan melalui proses pendidikan.
2.             Proses pendidikan berkenaan  objek dari proses tersebut ialah peserta-didik. Tingkah laku proses pendewasaan peserta-didik merupakan objek dari ilmu pendidikan.
3.             Selanjutnya ada pula yang melihat hakekat pendidikan di dalam adanya pola struktur hubungan antara subyek dan obyek yaitu antara pendidik dan peserta didik.
Kelemahan pendekatan epistemologis mengenai hakekat pendidikan terletak pada lahirnya atau perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Pendekatan Ontologi/metafisik menekankan pada hakekat keberadaan pendidikan itu sendiri. Keberadaan pendidikan tidak terlepas dari keberadaan manusia. Dalam pendekatan ini keberadaan peserta didik dan pendidik terlepas dari makna keberadaan manusia itu sendiri. Pendekatan ini didasari pada tulisan seorang filsuf ahli Metafisik Aristoteles dalam bukunya Metaphysics.
"Since we are seeking this knowledge, we must inquire of what kind are the causes and the principles, the knowledge of which is Wisdom. If one were to take the notions we have about the wise man, this might perhaps make the answer more evident. We suppose first, then, that the wise man knows all things, as far as possible, although he has not knowledge of each of them in detail; secondly, that he who can learn things that are difficult, and not easy for man to know, is wise (sense-perception is common to all, and therefore easy and no mark of Wisdom); again, that he who is more exact and more capable of teaching the causes is wiser, in every branch of knowledge; and that of the sciences, also, that which is desirable on its own account and for the sake of knowing it is more of the nature of Wisdom than that which is desirable on account of its results, and the superior
science is more of the nature of Wisdom than the ancillary; for the wise man must not be ordered but must order, and he must not obey another, but the less wise must obey him. ( darihttp://classics.mit.edu//Aristotle/metaphysics.html )
Kedua jenis pendekatan mengenai hakekat pendidikan  baik pendekatan ontologis maupun pendekatan metafisik keduanya mempunyai kebenaran masing-masing. Ilmu pendidikan sebagai ilmu tentunya mempunyai objek, metodologi serta analisis proses pendidikan itu. Namun demikian objek ilmu pendidikan atau subjek ilmu pendidikan adalah anak manusia  sehingga tidak terlepas dari pertanyaan mengenai hakikat manusia.
Pendekatan-pendekatan mengenai hakekat pendidikan  telah melahirkan berbagai jenis teori mengenai apakah sebenarnya pendidikan itu. Untuk menelusuri berbagai teori tersebut perlu kita sepakati, seperti yang telah diuraikan tadibahwa pendidikan itu bukan hanya suatu kata benda (noun) tetapi juga merupakan suatu proses atau kata kerja (verb). Pengertian bahwa pendidikan merupakan suatu sekaligus hasil (noun) dan suatu proses (verb) adalah penting sekali untuk mengerti hakekat pendidikan tersebut.
Berbagai pendekatan mengenai hakikat pendidikan digolongkan atas dua kelompok besar yaitu :
1.      Pendekatan reduksionisme
2.      Pendekatan holistic integrative
Pengelompokan ini tidak bersifat hitam-putih tetapi sekedar menekankan garis besar dari teri-teori tersebut dan saling berdekatan, mengisi dan melengkapi. Oleh sebab itu, berbagai teori tersebut mempunyai kesamaan di dalam memberikan jawaban terhadap hakikat pendidikan ialah bahwa pendidikan tidak dapat dikucilkan dari proses pemanusiaan. Tidak ada suatu masyarakatpun yang dapat eksis tanpa pendidikan. 
BAB III
PEMBAHASAN

3.1    Konsep Pendidikan di Indonesia
Menurut SK Dirjen Dikti No.32/DJ/Kep/1983 menyebutkan bahwa komponen mata kuliah dasar umum (pendidikan umum) diarahkan untuk melengkapi pembentukan kepribadian bidng dengan pengembangan kehidupan pribbadi yang memuaskan,keanggotaan keluarga yang bahagia,dan masyarakat yang produktif.
Dalam buku Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan menyatakan bahwa komponen dasar umum diarahkan kepada pembentukan warga Negara pada umumnya dengan kompetensi personaal,sosial,serta kultural.
Dalam SK Mendiknas no.008-E/U/1975 menyebutkan bahwa Pendidikan Umum ialah pendidikan yang bersifat umum,yang wajib diikuti oleh semua siswa dan mencakup program Pendidikan Moral Pancasila yang berfungsi bagi pembinaan warga negara yang baik.
Pendidikan Umum itu memiliki beberapa tujuan:
a.   Membiasakan siswa berfikir objektif,kriitis dam terbuka.
b.  Memberikan pandangan tentang berbagai jenis nilai hidup,seperti kebenaran,keindahan dan kebaikan.
c.    Menjadi manusia yang sadar akan dirinya,sebagai makhluk,sebagai manusia,dan sebagai pria dan wnita,serta sebagai warga negara.
d.   Mampu menghadapi tugasnya,bukan saja menguasai  profesinya,tetapi karena mampu mengadakan bimbingan dan hubungan sosial yang baik dalam lingkungannya.
Dengan demikian Pendidikan Umum membina pribadi yang utuh,terampil berbicara,menggunakan lambang dan isyarat,mampu berkreasi dan menghargai hal-hal yang secara menyakinkan estetika, ditunjang oleh kehidupan yang berharga dan disiplin dalam hubungan pribadi dan pihak lain memiliki kemampuan membuat keputusan yang bijaksana,serta memiliki wawasan yang integral.
Adapun Makna-makna Program Pendidikan Umum Indonesia berkaitan dengan pola-pola pada materi pokok adalah sebagai berikut:
1.        Pola Simbolik
Dengan pola ini siswa dibimbing untuk dapat memiliki kemampuan dalam berbahasa,membaca angka-angka,mengenal tanda-tanda hitung,dan dapat menggunakan simbol-simbol untuk mengepresikan makna-makn yang terstruktur.Pola ini dapat dicapai dengan mengajarkan pelajaran Bahasa dan Matematika.
2.        Pola Empiric
Dalam pola ini siswa dibimbing untuk dapat memilki kemampuan dalam mendeskripsikan fakta-fakta empiris,membuat generalisasi atau formulasi teoritis tentang gejala-gejala alam,sosial dan jiwa manusoia.Pola ini dapat di penuhi dengan mengajarkan Fisika,Biologi,Psikologi,dan Ilmu-ilmu Sosial.
3.        Pola Estetik
Dalam pola ini siswa dibimbing untuk dapat memiliki ke mampuan berapresiasi dan berkreasi.Dengan demikian siswa mampu mengapresiasi berbagai objek visual yang mengandung nilai-nilai estetik dalam lingkungan kehidupannya,serta mampu berkreasi denngan memenuhi syarat-syarat estetika yang telah didalaminya.Pola ini dapat dipenuhi dengan mengajarkan seni,kesusatraan,dan filfasat.
4.        Pola Synoetik
Dengan pola ini siswa dibimbing untuk dapat memiliki kemampuan memandang dan menyadari keberadaan nilai-nilai secara langsung dalam arti dapat merasakan dan menyadari bahwa keberadaan dirinya diberi arti oleh keberada orang lain dilingkungannya,sehingga siswa mampu menghayati tentang keberadaan hidup bersama dalam maasyarakat.Pola ini dapat diterapkan dengan mengajarkan filsafat,kesenian,pendidikan agama,dan ilmu sosial.
5.        Pola Etika
Dalam pola Etika siswa dibimbing untuk dapat memiliki kemampuan tentang moralitas,sehingga dalam hidupnya senantiasa bertindak dengan memperhatikan pertimbangan nilai,norma,etika,sopan-santun dan hukum positif yang ada dan dijujung tinggi oleh masyarakat.Hal itu akan menjadi pola fikir ,sikap dan tindakannya bersifat etis.Pola ini dapat dipenuhi dengan memberikan etika,moral,filsafat dan agama.
6.        Pola Synoptik
Pola ini menentukan terbentuknya kemampuan dalam mengambil keputusan dengan mempertimbangkan nilai-nilai n=baik dan buruk pada persoalan yang dihadapinya.Dalam pola ini ternasuk kemampuan meyakini dan mengimani sesuatu pandangan hidup.Pola ini dapat dipenuhi dengan memberikan pengajaran Agama,moral,sejarah,kebudayaan,dan filsafat.

3.2      Pendidikan Pada Masa Kolonial Belanda
Pemerintah kolonial Belanda mempunyai ambisi dan strategi sendiri ketika menerapkan pola pendidikan modern. Pada awalnya, Pemerintah Kolonial Belanda hanya memberikan model pendidikan pada anak bangsa yang berupa sekolah ongko loro dan ongko siji. Sekolah ini bertujuan agar anak bangsa mendapatkan pendidikan satu tahun dan tiga tahun saja, di mana materi yang diberikan berupa ketrampilan berhitung, membaca, dan menulis sederhana. Ketrampilan ini jelas dibutuhkan untuk membantu tugas-tugas administrasi pemerintah Kolonial Belanda sendiri. Hal ini dilakukan karena di satu sisi pemerintah Belanda ingin mendapatkan tenaga administrasi level bawah yang bergaji rendah, di sisi lain Belanda tidak ingin memberikan sepenuhnya ilmu pengajaran dan pengetahuan bagi anak bangsa yang status sosialnya dipandang rendah. Pemerintah Kolonial Belanda memberikan persyaratan bagi siswa yang masuk di sekolah ongko siji dan loro. Syarat utamanya adalah latar belakang keningratan bagi siswa-siswanya. 
Namun demikian, setelah munculnya politik etis yang dimotori van Deventer dan Baron van Hoevel, maka terjadi perubahan kebijakan pendidikan di Indonesia. Sistem persekolah dan kurikulum mengalami banyak perubahan. Semula jenjang pendidikan terlama di bangku sekolah dasar hanya tiga tahun, dengan kebijakan baru berubah menjadi 5 (lima) tahun dan 6 (enam tahun). Model persekolahan ini dinamakan schakel school dan HIS (Holland Inlandsche School). Materi pengajaran mengalami perubahan yang cukup banyak.
Tingkat kesulitan mengalami peningkatan dan tidak setiap anak bangsa bisa menjadi siswa di sekolah ini. Kedua sekolah ini tetap mempertahankan sistem lama dalam penerimaan siswa baru. Mereka yang berasal dari kalangan rakyat biasa tetap tidak diperbolehkan memasuki jenjang pendidikan HIS. Mereka yang berasal dari kalangan priyayi rendah, tentu saja harus ngenger dahulu agar dapat diterima menjadi siswa sekolah ini. Bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar dalam kegiatan belajar di sekolah ini.
Sebagai pembanding, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan pula ELS (Eropesch Lagere School) sebagai sekolah dasar untuk anak-anak eropa dan China Lagere School bagi anak-anak keturunan Tionghoa. Sekolah ini jelas bukan milik kaum pribumi yang secara sosial berada di bawah posisi orang Eropa dan China.
Di tingkat lanjut, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan MULO yang setingkat SMP jaman sekarang. Kurikulum yang dipergunakan semakin lengkap. Bahasa Belanda tetap menjadi bahasa pengantar. Selain itu diajarkan bahasa Perancis dan Inggris. Tidak setiap anak bangsa bisa memperoleh pendidikan tingkat ini. Banyak kendala rasialis dan sosial yang menghalangi anak bangsa untuk memperoleh kesempatan ini. Jika dibandingkan jaman sekarang lulusan MULO sebanding kualitasnya dengan lulusan S-1 sekarang.
Bagi lulusan MULO maka ia berhak mendapatkan tempat pekerjaan di struktur kepegawaian negeri maupun militer pemerintah Kolonial Belanda.Pengembangan aspek kepegawaian dan sistem birokrasi pemerintah Kolonial Belanda yang semakin lengkap, jelas membutuhkan pegawai lokal yang lebih cerdas. Oleh karena itu, dengan jumlah lulusan MULO yang tidak banyak maka kebutuhan akan jumlah kepegawaian itu dapat terpenuhi. 
Pada level yang tertinggi, kebijakan Kolonial Belanda menjelang pertengahan abad ke-20 mulai mendirikan sekolah setingkat SLTA sekarang dengan sebutan AMS (Algemens Middlebars School) dan HBS (Hoogere Bourgere School). Minimal anak bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki jenjang sekolah ini. Untuk AMS ditempuh selama 3 (tiga) tahun, sedangkan untuk HBS ditempuh 5 (lima) tahun. Siswa yang bersekolah di HBS secara sosial ia adalah pribumi yang sudah disamakan derajatnya dengan bangsa Eropa/Belanda. Pada pendidikan tingkat ini, kualitas menjadi sebuah ukuran mutlak. Oleh karena pola pendidikannya yang disiplin dengan kurikulum yang jelas maka dengan sendirinya menghasilkan alumni yang disegani oleh siapa saja.
Para alumninya antara lain: Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Syafruddin Prawiranegara, Soetomo, Cipto Mangunkusuma, A. Rivai, Suwardi Suryaningrat, dan sebagainya. 
Sangat jelas bahwa sistem pendidikan masa Kolonial Belanda sangat diwarnai oleh dualisme pendidikan. Di satu sisi, adanya politik etis tersebut pemerintah menyetujui untuk memberikan politik balas jasa bagi pribumi dengan memberikan kesempatan memperoleh pendidikan. Namun di sisi lain, pribumi tetap dipelihara seperti sediakala. Pendidikan yang diberikan pada pribumi jelas tidak sama dengan pendidikan yang diberikan pada anak-anak Belanda, Tionghoa, dan Eropa lainnya. Hanya anak kaum bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki sekolah seperti MULO, AMS, dan HBS. Akibatnya pemerintah tetap melestarikan rust en orde, yaitu sebuah kestabilan politik di bawah kendali ratu Belanda, sehingga dapat menekan benih-benih ketidakpuasan dari kaum intelektual yang mungkin terlahir dari sistem dan kebijakan Belanda sendiri. 
Betapa sulitnya kaum pribumi untuk menaiki tangga mobilitas sosial. Hambatan sosial yang berupa latar keningratan dan kebangsawan menjadi batu sandungan yang berat bagi anak bangsa yang ingin memperbaiki nasib diri dan bangsa. Bagi mereka yang tak sempat mengenyam bangku AMS dan HBS, tentu saja lebih memilih memasuki jenjang pendidikan guru yang setingkat dengan MULO dan AMS sendiri namun dengan kualitas keilmuan dan gengsi di bawahnya. Menjadi guru toh merupakan jenjang kepriyayian yang dicita-citakan meski berada pada posisi terbawah model birokrasi Kolonial Belanda.  
Pada aspek materi, jelas sekali ada perbedaan yang cukup mendasar antara jenjang pendidikan HIS, MULO, dan AMS. Namun ada kesamaan di antara jenjang yang berbeda tersebut yaitu materi kebangsaan Belanda yang tercermin dalam pelajaran sejarah, ilmu budaya, civic education, dan bahasa. Semua ilmu ini merupakan bagian dari propaganda Belanda agar masyarakat memperoleh kesadaran berbangsa dan loyalitas terhadap eksistensi ratu Belanda. Adapun kelebihan pendidikan masa Kolonial Belanda adalah aspek kualitasnya yang terjamin. Hal ini terlihat pada standar input, proses, pembiayaan, sarana-prasarana, dan standar lulusan setiap tahunnya. Pada standar input jelas sekali dapat terlihat kualitas siswa yang masuk. Mereka yang tercatat sebagai siswa tidak hanya berlatar belakang sosial yang tinggi, namun juga proses seleksi intelektual menjadi sebuah ukuran yang mutlak. 
Pada standar proses, terlihat bahwa kelas dengan jumlah siswa yang kecil, maksimal 25 siswa menjadi ruang yang penuh mekanisme pengawasan, pembinaan, dan pengajaran yang sangat optimal. Apalagi dengan guru-guru yang menguasai ilmu mengajar yang mumpuni, tanggung jawab dan dedikasi yang sepenuhnya, serta pola pengajaran searah namun keras dan penuh disiplin, tentu saja akan melahirkan jalannya kegiatan belajar yang efektif bagi pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar.Pada standar pembiayaan, jelas bahwa adanya siswa yang mayoritas berasal dari kalangan bangsawan tinggi akan memberikan sokongan dan dukungan dana bagi pengembangan sekolah. Mereka yang kaya akan berusaha memberikan partisipasi dana yang maksimal agar anak-anaknya bisa sukses di sekolah. 
Adanya dukungan dana dari orang tua dan statusnya sebagai sekolah negeri sudah pasti menjadikan sarana dan prasarana lebih lengkap. Perpustakaan dengan buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris menjadi koleksi utama semua sekolah dari HIS sampai dengan HBS.Semuanya yang sudah dijelaskan di atas pada akhirnya akan bermuara pada kualitas lulusannya yang hebat dan mumpuni di bidangnya. Konon, saking hebatnya lulusan AMS maka banyak orang yang mengatakan bahwa kualitasnya sama dengan lulusan S-2 jaman sekarang.

3.3     Pendidikan di Zaman Pendudukan Jepang
Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis ini pun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya.
Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:
1.        Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda;
2.        Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.

Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
1.                  Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat).
Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda.
2.                  Pendidikan Lanjutan.
Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun.
3.                  Pendidikan Kejuruan.
Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
4.                  Pendidikan Tinggi.
Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera (Pusat Tenaga Rakyat) di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement  yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain:
1.    Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu;
2.    Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang;
3.    Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang;
4.    Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta
5.    Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan.
Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini:
1.        Menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi;
2.        Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi;
3.        setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya;
4.        Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang;
5.        Melakukan latihan-latihan fisik dan militer;
6.        Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China).
Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain:
a.         Mengubah Kantor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari.
b.        Di daerah-daerah dibentuk Sumuka( Pondok pesantren) sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang.
c.         Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin.
d.        Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta.
e.         Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan dan
f.         Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU.
Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.

3.4        Pendidikan Masa Indonesia Merdeka
Pada dasarnya pendidikan pada masa Indonesia Merdeka tak jauh dengan sistem persekolahan hasil kebijakan pendudukan Jepang di atas. Pada masa ini, kualitas pendidikan masih dikatakan stabil dengan kurikulum mencomot dari apa yang dilakukan penguasa Jepang terhadap rakyat Indonesia. Hanya saja, karena persoalan revolusi yang belum selesai dan kemelut politik yang terus-menerus, maka sektor pendidikan menjadi korban kebijakan politik. Pendidikan mengalami sedikit pengabaian. Pendidikan di tingkat atas agak diabaikan sementara oleh pemerintah Indonesia sendiri. 
Pada masa awal kemerdekaan ini, guru-guru bekas pengajar pada masa kolonial Belanda dipekerjakan kembali meskipun dengan gaji yang lebih kecil. Kondisi yang berubah membuat mereka tidak terbiasa dengan keadaan. Banyak dari mereka yang masih menerapkan pola pengajaran ketat dan disiplin ala Belanda, sehingga cenderung menghasilkan setidaknya mutu lulusan yang sama dengan masa Kolonial Belanda. 
Pada masa Orde Baru, pendidikan mengalami perubahan yang cukup signifikan. Agar bangsa Indonesia memiliki kualitas pendidikan yang sama dengan negara-negara maju lainnya, maka secara kuantitas dibangunlah semua sarana pendidikan di setiap daerah. Alhasil, sekolah begitu banyak berdiri di tanah air. Secara kuantitatif pendidikan mengalami perkembangan yang pesat. Setiap anak dapat bersekolah dengan mudah. Namun di sisi lain, kualitas tidak bisa terjaga dengan baik. Kekurangan guru yang baik menjadi problematika pemerintah Indonesia. Sekolah Pendidikan Guru yang berdiri pada awal kemerdekaan tidak cukup menyediakan lulusannya yang siap pakai. Jumlah sekolah melebihi kapasitas guru yang ada. Akibatnya, pemerintah mengambil jalan pintas. Semua lulusan setingkat SLTA diperbolehkan menjadi guru meski mereka tidak memiliki kemampuan dan ketrampilan sebagai guru yang layak. 
Di daerah-daerah, terjadi kemerosotan pendayagunaan sarana dan prasarana. Artinya terjadi jurang pemisah yang sangat tajam antara sekolah desa dengan sekolah di pusat perkotaan. Sekolah desa hanya mengandalkan kebijakan pusat yang bersifat proyek. Pembangunan ruang kelas berhasil, namun penyediaan sarana dan prasarana lainnya tidak mendukung. Sementara itu, sekolah perkotaan dengan bantuan orang tua siswa dan akses yang mudah pada pemerintah pusat mendapatkan bantuan buku-buku perpustakaan dan sarana pendukung lain yang baik. 
Pada masa ini, kualitas lulusan siswa tidak sebanding dengan perkembangan sarana pendidikan di Indonesia. Sekolah begitu banyak namun tingkat kualitasnya mengalami penurunan bila dibandingkan dengan periode sebelumnya. Agaknya beban kurikulum yang terlalu lebar tidak sepadan dengan kemampuan kognitif siswa yang harus menyerap semua informasi dan pengetahuan. 
Di sisi lain, perubahan kurikulum terjadi hampir setiap 10 (sepuluh) tahun. Kurikulum 1978 diganti dengan munculnya kurikulum 1984. Kurikulum 1984 diganti dengan kurikulum 1994. Demikian pula kurikulum 1994 mengalami beragam tambahan yang dibuktikan dengan adanya suplemen 1994.
Agaknya perubahan kurikulum tersebut dilaksanakan karena terkait dengan perkembangan jaman. Tuntutan perbaikan kualitas dan juga kepentingan politik tertentu melahirkan kebijakan-kebijakan yang sarat dengan kepentingan ideologi. Contohnya adalah pemberlakuan materi PSPB pada kurikulum 1984 yang sarat dengan muatan ideologis dan politis. Demikian pula salah satu syarat kenaikan kelas seorang siswa harus mendapatkan nilai minimal 6,0 dengan skala 1 sampai dengan 10 pada nilai raport. Jika nilai dibawah itu, maka siswa tidak dapat naik kelas meskipun pelajaran lain mendapat 9 (sembilan).
Pada masa pemberlakuan kurikulum 1984 ini model pembelajaran yang sangat terkenal adalah CBSA atau Cara Belajar Siswa Aktif di mana guru memberikan peluang dan respon bagi siswa yang memang memiliki kecerdasan dan kepintaran. Sistem ini dipergunakan untuk merubah model pengajaran yang kaku dan statis seperti yang dilaksanakan pada masa sebelumnya.
Pendidikan Masa Reformasi , jelas sekali kebijakan yang dihasilkan terkait dengan aspek politik dan ekonomi. Munculnya suplemen 1999 juga dalam rangka kepentingan politik yang mendasarinya. Namun semenjak penataran P-4 (Eka Prasetya Pancakarsa) ditiadakan maka dunia pendidikan dikembalikan pada posisi yang semestinya. 
Pada tahun 2004 mulai diberlakukan kebijakan kurikulum baru. Kurikulum berbasis kompetensi menjadi jawaban atas perkembangan jaman. Kurikulum ini berusaha untuk memberikan solusi atas perubahan jaman dan globalisasi yang melanda dunia mana saja. 
Namun demikian, dunia pendidikan bukan berarti lepas dari persoalan yang ada. Pembaharuan kurikulum ternyata tidak diimbangi dengan manajemen dan kebijakan baru dalam menjaga mutu dan kualitas lulusan. Ujian nasional dengan pemberlakuan standar nilai yang dilakukan secara terpusat telah memberangus standar proses yang seharusnya menjadi titian utama kurikulum 2004. 
Di sisi lain, masalah kesejahteraan guru menjadi satu faktor yang belum dituntaskan pada masa reformasi ini. Kesejahteraan guru mulai diperhatikan ketika era Presiden Abdurrahman Wahid menaikkan gaji guru hingga sama dengan pegawai negeri lainnya. Pada akhirnya era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kesejahteraan guru dan anggaran pendidikan 20% disahkan melalui undang-undang guru dan dosen serta sistem pendidikan nasional. Sertifikasi guru dilaksanakan secara menyeluruh dengan konsekuensi guru mendapatkan penghasilan tambahan sebesar satu kali gaji pokok. 
Kurikulum 2006 akhirnya diberlakukan pula dalam menekankan makna keberfungsian semangat kompetensi dan kepentingan lokal. Tidak hanya itu saja, pemerintah juga memberikan subsidi dana bagi sekolah dari tingkat dasar sampai SLTP lewat Dana Bos. Di samping itu, pemerintah memberlakukan MBS sebagai model manajemen sebuah sekolah yang efektif dan efisien. Pemerintah pula memilah dan mencoba memberikan kriteria bagi upaya peningkatan kualitas sekolah secara utuh. Kriteria SSN, akselerasi, imersi, RSKM, SKM, RSBI, dan SBI menjadi sesuatu yang lazim ada situasi persekolahan saat ini.
  
BAB IV
PENUTUP

 4.1 Kesimpulan
Pergantian era kekuasaan sangat mempengaruhi model dan kebijakan pendidikan yang dihasilkan. Pendidikan memang tidak bisa terlepas dari situasi politik sebuah bangsa. Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan pendidikan sebagai sarana memperoleh tenaga kerja di bidang administrasi tingkat rendahan. Pendidikan tingkat lanjut hanya diprioritaskan pada kalangan bangsawan semata. 
Pada masa Jepang, pendidikan tak lepas dari propaganda Jepang yang disisipkan pada materi pelajaran dari tingkat SD sampai dengan SLTA. Akibatnya, semua rakyat mengakui kehebatan dan superioritas Jepang sebagai bangsa maju di kawasan Asia Pasifik. Mereka melaksanakan apa yang diharapkan Jepang yaitu sebagai serdadu yang siap maju di medan perang seperti: Romusha, Heiho, dan Peta.
Sebaliknya, pada masa Indonesia merdeka pendidikan diarahkan sebagai medium pembangkit rasa nasionalisme. Karena keadaan tertentu, periode ini tidak banyak pengembangan pendidikan yang bisa diharapkan. Secara kualitas, pendidikan tetap terjaga mutunya hanya pendirian bangunan sekolah tidak banyak artinya. Pada masa Orde Baru, perubahan kurikulum senantiasa silih berganti. Perubahan dilaksanakan dalam rangka mengantisipasi kepentingan global yang berubah. Hal ini pun masih dilanjutkan dengan pergantian kurikulum pada era reformasi. Kurikulum 2006 merupakan alternatif terakhir dari bangunan kurikulum dalam sejarah Indonesia. Artinya, pemerintah tetap belajar dari pengalaman. Lintasan pendidikan yang berusia cukup tua pada akhirnya menghasilkan kebijakan yang penuh nuansa keberpihakan pada esensi pendidikan itu sendiri.

4.2         Saran           
Diharapkan agar semua elemen masyarakat indonesia dapat mengetahui lebih dalam tentang pendidikan terutama sejarah pendidikan di indonesia. Dengan demikian kita dapat merasakan perjuangan yang dulu telah di perjuangkan dan kita bisa  meningkatkan mutu dari pendidikan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA


Jalaludin, 1990. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Kalam Mulia. 
Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai.
Tilaar, H.A.R. 1995. 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional Indonesia 1945-1995. Jakarta: Gramedia Widiasarana.
Zaenuddin, 2008. Reformasi Pendidikan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
http : www.google.com. 17 September  2012. Sistem Pendidikan Indonesia.
http://subhanfadjrin.blogspot.co.id/2013/11/makalah-sejarah-pendidikan-di-indonesia.html
http://andira95.blogspot.co.id/


Popular Posts