BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pendidikan merupakan faktor penting yang mempunyai andil besar
dalam memajukan suatu bangsa, bahkan peradaban manusia. Tujuan pendidikan
itu merupakan tujuan dari negara itu sendiri. Pendidikan yang rendah dan
berkualitasakan terus mengundang para penjajah, baik penjajahan secara fisik
maupun non fisik, seperti penjajahan intelektual, pemikiran, ekonomi,
sosial, politik dan agama. Hal inisenada dengan ungkapan “kebodohan bukanlah
karena penjajahan tetapi kebodohanlah yang mengundang penjajah”.
Bangsa Indonesia merdeka setelah proklamasi pada tanggal 17
Agustus 1945.Kemerdekaan ialah terbebasnya suatu bangsa dari belenggu
penjajahan. Bangsa yang sudah merdeka dapat leluasa mengatur laju bangsa dan
pemerintahan untuk mencapai tujuannya. Benarkah demikian?Kemerdekaan tidak
sepenuhnya menyelesaikan berbagai persoalan negara.Kemerdekaan politik sesudah
masa penjajahan oleh pemerintah Jepang dan Belanda itu lebih mudah dicapai
dibandingkan dengan rekonstruksi kultural masyarakat danrenovasi system
pendidikan kita.
Mengamati perjalanan sejarah pendidikan pada masa
penjajahanBelanda dan Jepang sungguh menarik dan memiliki proses yang amat
panjang.Belanda yang menduduki Indonesia selama 3 ½ abad dan Jepang selama 3 1/
2 tahun meninggalkan kesengsaraan, mental dan kondisi psikologis yang lemah.
Dengan misi gold, glory dan gospelnya mereka mempengaruhi pemikiran
dan ideologi dengan doktrin-doktrin Barat.
Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan :
praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman
VOC, pendidikan kolonianl Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang, dan
pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono: 1985). Berbagai praktek
pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda-beda. Beberapa
praktek pendidikan yang telah dilaksanakan oleh bangsa Indonesia adalah:
pendidikan modern zaman kolonial Belanda, praktek pendidikan zaman kemerdekaan
sampai pada tahun 1965, yang sering kita sebut sebagai orde lama, praktek
pendidikan dalam masa pembangunan orde baru, dan praktek pendidikan di era
reformasi sekarang.
Pendidikan Pada Masa Kemerdekaan telah mengalami perkembangan
pendidikan semenjak kita mencapai kemerdekaan memberikan gambaran
yang penuh dengan kesulitan. Pada masa ini, usaha penting dari pemerintah
Indonesia pada permulaan adalah tokoh pendidik yang telah berjasa dalam zaman
kolonial menjadi menteri pengajaran.Dalam kongres pendidikan, Menteri
Pengajaran dan Pendidikan tersebut membentuk panitia perancang RUU
mengenai pendidikan dan pengajaran. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk sebuah
system pendidikan yang berlandaskan pada ideologi Bangsa Indonesia sendiri.
Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun
1965 bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan
Belanda. Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan
Barat. Diharapkan praktek pendidikan Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum
pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai "PANGREH
PRAJA". Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi
antara anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh
anak-anak dari lapisan atas.
Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan diharapkan muncul kaum
bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat
kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan antara pendidikan untuk
orangpribumi.Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat,
betapapun juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang
penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan
kemerdekaan Indonesia.
Pada zaman Jepang meski hanya dalam tempo yang singkat, tetapi bagi dunia
pendidikan Indonesia memiliki arti yang amat signifikan. Sebab, lewat
pendidikan Jepang-lah sistem pendidikan disatukan tidak ada lagi
pendidikan bagi orang asing dengan pengantar bahasa Belanda. Satu sistem
pendidikan nasional tersebut diteruskan setelah bangsa Indonesia berhasil
merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pemerintah Indonesia berupaya
melaksanakan pendidikan nasional yang berlandaskan pada budaya bangsa sendiri.
Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial,
demokratis, cakap dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan
pikiran untuk negara.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian
latar belakang yang dipaparkan di atas, maka kami merumuskan, pokok
permasalahan :
1.
Bagaimana Konsep Pendidikan di
Indonesia?
2.
Bagaimanakah sistem pendidikan
Indonesia pada masa Belanda?
3.
Bagaimanakah sistem pendidikan
Indonesia pada masa Jepang?
4.
Bagaimanakah sistem pendidikan
Indonesia pada masa setelah kemerdekaan (Orde Lama,Orde Baru,dan
Reformasi)?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Penulisan
a. Tujuan Penulis :
Untuk mendeskripsikan perkembangan dan perbedaan system pendidikan yang
telah berlaku di Indonesia khususnya pada masa pendudukan Jepang, Belanda, dan
setelah kemerdekaan.
b. Manfaat Penulisan
Semakin menambah pengetahuan kami tentang perkembangan dan perbedaan
system pendidikan yang telah terjadi di Indonesia pada setaip dekade
pemerintahan. Selain itu, juga melatih kami dalam membuat atau menuliskan suatu
karya ilmiah. Juga diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan yang ada,
terutama bagi mahasiswa.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pendidikan
Bertanya mengenai
hakekat pendidikan adalah bertanya mengenai pendidikan itu ? Usaha utnuk
memberikan jawaban terhadap apakah pendidikan itu telah memenuhi khazanah ilmu
pengetahuan yang disebut ilmu pendidikan / pedagogic.
Kajian teori ilmu
pendidikan : dari beberapa definisi yang muncul mengenai apakah hakekat
pendidikan itu dapat dikategorikan dalam dua pendekatan yaiti pendekatan
epistemologis dan pendekatan ontology atau metafisik.
Pendekatan Epistemologis
diturunkan dari Pendapat seorang Filsuf bernama René Descartes (1596-1650) yang
dipandang sebagai pelopor filosofi modern. Salah satu pernyataannya yang
terkenal adalah :’Cogito ergo sum”. Dalam satu bagian dari bukunya Meditationes de Prima Philosophia (1641), Descrates
menyatakan :
Throughout my writings I
have made it clear that my method imitates that of the architect. When an
architect wants to build a house which is stable on ground where there is a
sandy topsoil over underlying rock, or clay, or some other firm base, he begins
by digging out a set of trenches from which he removes the sand, and anything
resting on or mixed in with the sand, so that he can lay his foundations on
firm soil. In the same way, I began by taking everything that was doubtful and
throwing it out, like sand … (Replies 7, AT 7:537). Diambil dari http://plato.stanford.edu/entries/descartes-epistemology/
Dari uraian tersebut
dapat dilihat dasar pemikiran Descrates untk menghilangkan keraguan untuk
mendapatkan kebenaran. Didalam pendekatan epistemologis yang menjadi masalah
ialah akar/kerangka ilmu pendidikan sebagai ilmu. Pendekatan tersebut berusaha
mencari makna pendidikan sebagai ilmu yaitu mempunyai objek yang akan merupakan
dasar analisis yang akan membangun ilmu pengetahuan yang disebut ilmu
pendidikan. Didalam usaha tersebut dikaji mengenai peranan pendidikan dan
kemungkinan-kemungkinan pendidikan.
Dari sudut pandang ini :
1.
Pendidikan dilihat sebagai suatu proses yang inheren dalam konsep
manusia artinya manusia hanya dapat dimanusiakan melalui proses pendidikan.
2.
Proses pendidikan berkenaan objek dari proses tersebut ialah
peserta-didik. Tingkah laku proses pendewasaan peserta-didik merupakan objek
dari ilmu pendidikan.
3.
Selanjutnya ada pula yang melihat hakekat pendidikan di dalam
adanya pola struktur hubungan antara subyek dan obyek yaitu antara pendidik dan
peserta didik.
Kelemahan pendekatan
epistemologis mengenai hakekat pendidikan terletak pada lahirnya atau
perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Pendekatan
Ontologi/metafisik menekankan pada hakekat keberadaan pendidikan itu sendiri.
Keberadaan pendidikan tidak terlepas dari keberadaan manusia. Dalam pendekatan
ini keberadaan peserta didik dan pendidik terlepas dari makna keberadaan
manusia itu sendiri. Pendekatan ini didasari pada tulisan seorang filsuf ahli
Metafisik Aristoteles dalam bukunya Metaphysics.
"Since we are seeking this
knowledge, we must inquire of what kind are the causes and the principles, the
knowledge of which is Wisdom. If one were to take the notions we have about the
wise man, this might perhaps make the answer more evident. We suppose first,
then, that the wise man knows all things, as far as possible, although he has
not knowledge of each of them in detail; secondly, that he who can learn things
that are difficult, and not easy for man to know, is wise (sense-perception is
common to all, and therefore easy and no mark of Wisdom); again, that he who is
more exact and more capable of teaching the causes is wiser, in every branch of
knowledge; and that of the sciences, also, that which is desirable on its own
account and for the sake of knowing it is more of the nature of Wisdom than
that which is desirable on account of its results, and the superior
science is more of the nature
of Wisdom than the ancillary; for the wise man must not be ordered but must
order, and he must not obey another, but the less wise must obey him. ( darihttp://classics.mit.edu//Aristotle/metaphysics.html )
Kedua jenis pendekatan mengenai hakekat pendidikan baik
pendekatan ontologis maupun pendekatan metafisik keduanya mempunyai kebenaran
masing-masing. Ilmu pendidikan sebagai ilmu tentunya mempunyai objek,
metodologi serta analisis proses pendidikan itu. Namun demikian objek ilmu
pendidikan atau subjek ilmu pendidikan adalah anak manusia sehingga tidak
terlepas dari pertanyaan mengenai hakikat manusia.
Pendekatan-pendekatan mengenai hakekat
pendidikan telah melahirkan berbagai jenis teori mengenai apakah
sebenarnya pendidikan itu. Untuk menelusuri berbagai teori tersebut perlu kita
sepakati, seperti yang telah diuraikan tadibahwa pendidikan itu bukan hanya
suatu kata benda (noun) tetapi juga merupakan suatu proses atau kata kerja
(verb). Pengertian bahwa pendidikan merupakan suatu sekaligus hasil (noun) dan
suatu proses (verb) adalah penting sekali untuk mengerti hakekat pendidikan tersebut.
Berbagai pendekatan mengenai hakikat pendidikan
digolongkan atas dua kelompok besar yaitu :
1.
Pendekatan reduksionisme
2.
Pendekatan holistic integrative
Pengelompokan ini tidak bersifat hitam-putih
tetapi sekedar menekankan garis besar dari teri-teori tersebut dan saling
berdekatan, mengisi dan melengkapi. Oleh sebab itu, berbagai teori tersebut
mempunyai kesamaan di dalam memberikan jawaban terhadap hakikat pendidikan
ialah bahwa pendidikan tidak dapat dikucilkan dari proses pemanusiaan. Tidak
ada suatu masyarakatpun yang dapat eksis tanpa pendidikan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Konsep Pendidikan di Indonesia
Menurut SK Dirjen Dikti No.32/DJ/Kep/1983 menyebutkan bahwa komponen mata
kuliah dasar umum (pendidikan umum) diarahkan untuk melengkapi pembentukan
kepribadian bidng dengan pengembangan kehidupan pribbadi yang
memuaskan,keanggotaan keluarga yang bahagia,dan masyarakat yang produktif.
Dalam buku Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan menyatakan bahwa
komponen dasar umum diarahkan kepada pembentukan warga Negara pada umumnya
dengan kompetensi personaal,sosial,serta kultural.
Dalam SK Mendiknas no.008-E/U/1975 menyebutkan bahwa Pendidikan Umum
ialah pendidikan yang bersifat umum,yang wajib diikuti oleh semua siswa dan
mencakup program Pendidikan Moral Pancasila yang berfungsi bagi pembinaan warga
negara yang baik.
Pendidikan Umum itu memiliki beberapa tujuan:
a. Membiasakan siswa berfikir objektif,kriitis dam terbuka.
b. Memberikan pandangan tentang berbagai jenis nilai hidup,seperti
kebenaran,keindahan dan kebaikan.
c. Menjadi manusia yang sadar akan dirinya,sebagai makhluk,sebagai
manusia,dan sebagai pria dan wnita,serta sebagai warga negara.
d. Mampu menghadapi tugasnya,bukan saja
menguasai profesinya,tetapi karena mampu mengadakan bimbingan dan
hubungan sosial yang baik dalam lingkungannya.
Dengan demikian Pendidikan Umum membina pribadi yang utuh,terampil
berbicara,menggunakan lambang dan isyarat,mampu berkreasi dan menghargai
hal-hal yang secara menyakinkan estetika, ditunjang oleh kehidupan yang
berharga dan disiplin dalam hubungan pribadi dan pihak lain memiliki kemampuan
membuat keputusan yang bijaksana,serta memiliki wawasan yang integral.
Adapun Makna-makna Program Pendidikan Umum Indonesia berkaitan dengan
pola-pola pada materi pokok adalah sebagai berikut:
1.
Pola Simbolik
Dengan pola ini siswa
dibimbing untuk dapat memiliki kemampuan dalam berbahasa,membaca
angka-angka,mengenal tanda-tanda hitung,dan dapat menggunakan simbol-simbol
untuk mengepresikan makna-makn yang terstruktur.Pola ini dapat dicapai dengan
mengajarkan pelajaran Bahasa dan Matematika.
2.
Pola Empiric
Dalam pola ini siswa
dibimbing untuk dapat memilki kemampuan dalam mendeskripsikan fakta-fakta
empiris,membuat generalisasi atau formulasi teoritis tentang gejala-gejala alam,sosial
dan jiwa manusoia.Pola ini dapat di penuhi dengan mengajarkan
Fisika,Biologi,Psikologi,dan Ilmu-ilmu Sosial.
3.
Pola Estetik
Dalam pola ini siswa
dibimbing untuk dapat memiliki ke mampuan berapresiasi dan berkreasi.Dengan
demikian siswa mampu mengapresiasi berbagai objek visual yang mengandung
nilai-nilai estetik dalam lingkungan kehidupannya,serta mampu berkreasi denngan
memenuhi syarat-syarat estetika yang telah didalaminya.Pola ini dapat dipenuhi
dengan mengajarkan seni,kesusatraan,dan filfasat.
4.
Pola Synoetik
Dengan pola ini siswa
dibimbing untuk dapat memiliki kemampuan memandang dan menyadari keberadaan
nilai-nilai secara langsung dalam arti dapat merasakan dan menyadari bahwa
keberadaan dirinya diberi arti oleh keberada orang lain dilingkungannya,sehingga
siswa mampu menghayati tentang keberadaan hidup bersama dalam maasyarakat.Pola
ini dapat diterapkan dengan mengajarkan filsafat,kesenian,pendidikan agama,dan
ilmu sosial.
5.
Pola Etika
Dalam pola Etika siswa
dibimbing untuk dapat memiliki kemampuan tentang moralitas,sehingga dalam
hidupnya senantiasa bertindak dengan memperhatikan pertimbangan
nilai,norma,etika,sopan-santun dan hukum positif yang ada dan dijujung tinggi
oleh masyarakat.Hal itu akan menjadi pola fikir ,sikap dan tindakannya bersifat
etis.Pola ini dapat dipenuhi dengan memberikan etika,moral,filsafat dan agama.
6.
Pola Synoptik
Pola ini menentukan
terbentuknya kemampuan dalam mengambil keputusan dengan mempertimbangkan
nilai-nilai n=baik dan buruk pada persoalan yang dihadapinya.Dalam pola ini
ternasuk kemampuan meyakini dan mengimani sesuatu pandangan hidup.Pola ini
dapat dipenuhi dengan memberikan pengajaran Agama,moral,sejarah,kebudayaan,dan
filsafat.
3.2 Pendidikan
Pada Masa Kolonial Belanda
Pemerintah kolonial Belanda mempunyai ambisi dan strategi sendiri ketika
menerapkan pola pendidikan modern. Pada awalnya, Pemerintah Kolonial Belanda
hanya memberikan model pendidikan pada anak bangsa yang berupa sekolah ongko
loro dan ongko siji. Sekolah ini bertujuan agar anak bangsa mendapatkan
pendidikan satu tahun dan tiga tahun saja, di mana materi yang diberikan berupa
ketrampilan berhitung, membaca, dan menulis sederhana. Ketrampilan ini jelas
dibutuhkan untuk membantu tugas-tugas administrasi pemerintah Kolonial Belanda
sendiri. Hal ini dilakukan karena di satu sisi pemerintah Belanda ingin
mendapatkan tenaga administrasi level bawah yang bergaji rendah, di sisi lain
Belanda tidak ingin memberikan sepenuhnya ilmu pengajaran dan pengetahuan bagi
anak bangsa yang status sosialnya dipandang rendah. Pemerintah Kolonial Belanda
memberikan persyaratan bagi siswa yang masuk di sekolah ongko siji dan loro.
Syarat utamanya adalah latar belakang keningratan bagi siswa-siswanya.
Namun demikian, setelah munculnya politik etis yang dimotori van Deventer
dan Baron van Hoevel, maka terjadi perubahan kebijakan pendidikan di Indonesia.
Sistem persekolah dan kurikulum mengalami banyak perubahan. Semula jenjang
pendidikan terlama di bangku sekolah dasar hanya tiga tahun, dengan kebijakan
baru berubah menjadi 5 (lima) tahun dan 6 (enam tahun). Model persekolahan ini
dinamakan schakel school dan HIS (Holland Inlandsche School). Materi pengajaran
mengalami perubahan yang cukup banyak.
Tingkat kesulitan mengalami peningkatan dan tidak setiap anak bangsa bisa
menjadi siswa di sekolah ini. Kedua sekolah ini tetap mempertahankan sistem
lama dalam penerimaan siswa baru. Mereka yang berasal dari kalangan rakyat
biasa tetap tidak diperbolehkan memasuki jenjang pendidikan HIS. Mereka yang
berasal dari kalangan priyayi rendah, tentu saja harus ngenger dahulu agar
dapat diterima menjadi siswa sekolah ini. Bahasa Belanda menjadi bahasa
pengantar dalam kegiatan belajar di sekolah ini.
Sebagai pembanding, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan pula ELS
(Eropesch Lagere School) sebagai sekolah dasar untuk anak-anak eropa dan China
Lagere School bagi anak-anak keturunan Tionghoa. Sekolah ini jelas bukan milik
kaum pribumi yang secara sosial berada di bawah posisi orang Eropa dan China.
Di tingkat lanjut, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan MULO yang
setingkat SMP jaman sekarang. Kurikulum yang dipergunakan semakin lengkap.
Bahasa Belanda tetap menjadi bahasa pengantar. Selain itu diajarkan bahasa
Perancis dan Inggris. Tidak setiap anak bangsa bisa memperoleh pendidikan tingkat
ini. Banyak kendala rasialis dan sosial yang menghalangi anak bangsa untuk
memperoleh kesempatan ini. Jika dibandingkan jaman sekarang lulusan MULO
sebanding kualitasnya dengan lulusan S-1 sekarang.
Bagi lulusan MULO maka ia berhak mendapatkan tempat pekerjaan di struktur
kepegawaian negeri maupun militer pemerintah Kolonial Belanda.Pengembangan
aspek kepegawaian dan sistem birokrasi pemerintah Kolonial Belanda yang semakin
lengkap, jelas membutuhkan pegawai lokal yang lebih cerdas. Oleh karena itu, dengan
jumlah lulusan MULO yang tidak banyak maka kebutuhan akan jumlah kepegawaian
itu dapat terpenuhi.
Pada level yang tertinggi, kebijakan Kolonial Belanda menjelang
pertengahan abad ke-20 mulai mendirikan sekolah setingkat SLTA sekarang dengan
sebutan AMS (Algemens Middlebars School) dan HBS (Hoogere Bourgere School).
Minimal anak bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki jenjang sekolah ini.
Untuk AMS ditempuh selama 3 (tiga) tahun, sedangkan untuk HBS ditempuh 5 (lima)
tahun. Siswa yang bersekolah di HBS secara sosial ia adalah pribumi yang sudah
disamakan derajatnya dengan bangsa Eropa/Belanda. Pada pendidikan tingkat ini,
kualitas menjadi sebuah ukuran mutlak. Oleh karena pola pendidikannya yang
disiplin dengan kurikulum yang jelas maka dengan sendirinya menghasilkan alumni
yang disegani oleh siapa saja.
Para alumninya antara lain: Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Syafruddin
Prawiranegara, Soetomo, Cipto Mangunkusuma, A. Rivai, Suwardi Suryaningrat, dan
sebagainya.
Sangat jelas bahwa sistem pendidikan masa Kolonial Belanda sangat
diwarnai oleh dualisme pendidikan. Di satu sisi, adanya politik etis tersebut
pemerintah menyetujui untuk memberikan politik balas jasa bagi pribumi dengan
memberikan kesempatan memperoleh pendidikan. Namun di sisi lain, pribumi tetap
dipelihara seperti sediakala. Pendidikan yang diberikan pada pribumi jelas
tidak sama dengan pendidikan yang diberikan pada anak-anak Belanda, Tionghoa,
dan Eropa lainnya. Hanya anak kaum bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki
sekolah seperti MULO, AMS, dan HBS. Akibatnya pemerintah tetap melestarikan
rust en orde, yaitu sebuah kestabilan politik di bawah kendali ratu Belanda,
sehingga dapat menekan benih-benih ketidakpuasan dari kaum intelektual yang
mungkin terlahir dari sistem dan kebijakan Belanda sendiri.
Betapa sulitnya kaum pribumi untuk menaiki tangga mobilitas sosial.
Hambatan sosial yang berupa latar keningratan dan kebangsawan menjadi batu
sandungan yang berat bagi anak bangsa yang ingin memperbaiki nasib diri dan
bangsa. Bagi mereka yang tak sempat mengenyam bangku AMS dan HBS, tentu saja
lebih memilih memasuki jenjang pendidikan guru yang setingkat dengan MULO dan
AMS sendiri namun dengan kualitas keilmuan dan gengsi di bawahnya. Menjadi guru
toh merupakan jenjang kepriyayian yang dicita-citakan meski berada pada posisi
terbawah model birokrasi Kolonial Belanda.
Pada aspek materi, jelas sekali ada perbedaan yang cukup mendasar antara
jenjang pendidikan HIS, MULO, dan AMS. Namun ada kesamaan di antara jenjang
yang berbeda tersebut yaitu materi kebangsaan Belanda yang tercermin dalam
pelajaran sejarah, ilmu budaya, civic education, dan bahasa. Semua ilmu ini
merupakan bagian dari propaganda Belanda agar masyarakat memperoleh kesadaran
berbangsa dan loyalitas terhadap eksistensi ratu Belanda. Adapun kelebihan
pendidikan masa Kolonial Belanda adalah
aspek kualitasnya yang terjamin. Hal ini terlihat pada standar input, proses,
pembiayaan, sarana-prasarana, dan standar lulusan setiap tahunnya. Pada
standar input jelas sekali dapat terlihat kualitas siswa yang masuk. Mereka
yang tercatat sebagai siswa tidak hanya berlatar belakang sosial yang tinggi,
namun juga proses seleksi intelektual menjadi sebuah ukuran yang mutlak.
Pada standar proses, terlihat bahwa kelas dengan jumlah siswa yang kecil,
maksimal 25 siswa menjadi ruang yang penuh mekanisme pengawasan, pembinaan, dan
pengajaran yang sangat optimal. Apalagi dengan guru-guru yang menguasai ilmu
mengajar yang mumpuni, tanggung jawab dan dedikasi yang sepenuhnya, serta pola
pengajaran searah namun keras dan penuh disiplin, tentu saja akan melahirkan
jalannya kegiatan belajar yang efektif bagi pelaksanaan kegiatan
belajar-mengajar.Pada standar pembiayaan, jelas bahwa adanya siswa yang
mayoritas berasal dari kalangan bangsawan tinggi akan memberikan sokongan dan
dukungan dana bagi pengembangan sekolah. Mereka yang kaya akan berusaha
memberikan partisipasi dana yang maksimal agar anak-anaknya bisa sukses di
sekolah.
Adanya dukungan dana dari orang tua dan statusnya sebagai sekolah negeri sudah
pasti menjadikan sarana dan prasarana lebih lengkap. Perpustakaan dengan
buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris menjadi koleksi utama semua sekolah
dari HIS sampai dengan HBS.Semuanya yang sudah dijelaskan di atas pada akhirnya
akan bermuara pada kualitas lulusannya yang hebat dan mumpuni di bidangnya.
Konon, saking hebatnya lulusan AMS maka banyak orang yang mengatakan bahwa
kualitasnya sama dengan lulusan S-2 jaman sekarang.
3.3 Pendidikan di Zaman
Pendudukan Jepang
Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian
dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China,
Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di
bawah kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke
berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran
Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis ini pun
menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya.
Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang
mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan
ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang
sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan
Pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya
menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak
itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang
memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan.
Hal-hal tersebut antara lain:
1.
Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai
bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda;
2.
Adanya integrasi sistem pendidikan
dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era
penjajahan Belanda.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat
diikhtisarkan sebagai berikut:
1.
Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko /
Sekolah Rakyat).
Lama studi 6 tahun.
Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah
dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda.
2.
Pendidikan Lanjutan.
Terdiri dari Shoto Chu
Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko
(Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun.
3.
Pendidikan Kejuruan.
Mencakup sekolah
lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran,
pendidikan, teknik, dan pertanian.
4.
Pendidikan Tinggi.
Guna memperoleh
dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera
(Pusat Tenaga Rakyat) di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro,
dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan
the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi.
Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang
tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka.
Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan
sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem
Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format
pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat
bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk
menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu
(propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat
menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman
pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam
latihan tersebut antara lain:
1. Indoktrinasi
ideologi Hakko Ichiu;
2. Nippon
Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang;
3. Bahasa,
sejarah dan adat-istiadat Jepang;
4. Ilmu
bumi dengan perspektif geopolitis; serta
5. Olaharaga
dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan.
Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan
beberapa aktivitas berikut ini:
1.
Menyanyikan lagu kebangsaan Jepang,
Kimigayo setiap pagi;
2.
Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan
menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi;
3.
setiap pagi mereka juga harus melakukan
Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya;
4.
Setiap pagi mereka juga diwajibkan
melakukan Taiso, senam Jepang;
5.
Melakukan latihan-latihan fisik dan
militer;
6.
Menjadikan bahasa Indonesia sebagai
pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib
diajarkan.
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya
sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan
bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga
memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah
koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses
resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa
China).
Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku
berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran.
Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan
sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta
mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta
harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa
misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara
Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya
kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan
dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa
kebijakan antara lain:
a.
Mengubah Kantor Voor Islamistische Zaken
pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin
tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari.
b.
Di daerah-daerah dibentuk Sumuka( Pondok
pesantren) sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang.
c.
Mengizinkan pembentukan barisan
Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di
bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin.
d.
Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi
Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung
Hatta.
e.
Diizinkannya ulama dan pemimpin
nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi
cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan dan
f.
Diizinkannya Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti
dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas
besar Islam, Muhammadiyah dan NU.
Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum
muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan
umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.
3.4 Pendidikan
Masa Indonesia Merdeka
Pada dasarnya pendidikan pada masa Indonesia Merdeka tak jauh dengan
sistem persekolahan hasil kebijakan pendudukan Jepang di atas. Pada masa ini,
kualitas pendidikan masih dikatakan stabil dengan kurikulum mencomot dari apa
yang dilakukan penguasa Jepang terhadap rakyat Indonesia. Hanya saja, karena
persoalan revolusi yang belum selesai dan kemelut politik yang terus-menerus,
maka sektor pendidikan menjadi korban kebijakan politik. Pendidikan mengalami
sedikit pengabaian. Pendidikan di tingkat atas agak diabaikan sementara oleh
pemerintah Indonesia sendiri.
Pada masa awal kemerdekaan ini, guru-guru bekas pengajar pada masa
kolonial Belanda dipekerjakan kembali meskipun dengan gaji yang lebih kecil.
Kondisi yang berubah membuat mereka tidak terbiasa dengan keadaan. Banyak dari
mereka yang masih menerapkan pola pengajaran ketat dan disiplin ala Belanda,
sehingga cenderung menghasilkan setidaknya mutu lulusan yang sama dengan masa
Kolonial Belanda.
Pada masa Orde Baru, pendidikan mengalami perubahan yang cukup
signifikan. Agar bangsa Indonesia memiliki kualitas pendidikan yang sama dengan
negara-negara maju lainnya, maka secara kuantitas dibangunlah semua sarana
pendidikan di setiap daerah. Alhasil, sekolah begitu banyak berdiri di tanah
air. Secara kuantitatif pendidikan mengalami perkembangan yang pesat. Setiap
anak dapat bersekolah dengan mudah. Namun di sisi lain, kualitas tidak bisa
terjaga dengan baik. Kekurangan guru yang baik menjadi problematika pemerintah
Indonesia. Sekolah Pendidikan Guru yang berdiri pada awal kemerdekaan tidak
cukup menyediakan lulusannya yang siap pakai. Jumlah sekolah melebihi kapasitas
guru yang ada. Akibatnya, pemerintah mengambil jalan pintas. Semua lulusan
setingkat SLTA diperbolehkan menjadi guru meski mereka tidak memiliki kemampuan
dan ketrampilan sebagai guru yang layak.
Di daerah-daerah, terjadi kemerosotan pendayagunaan sarana dan prasarana.
Artinya terjadi jurang pemisah yang sangat tajam antara sekolah desa dengan
sekolah di pusat perkotaan. Sekolah desa hanya mengandalkan kebijakan pusat
yang bersifat proyek. Pembangunan ruang kelas berhasil, namun penyediaan sarana
dan prasarana lainnya tidak mendukung. Sementara itu, sekolah perkotaan dengan
bantuan orang tua siswa dan akses yang mudah pada pemerintah pusat mendapatkan
bantuan buku-buku perpustakaan dan sarana pendukung lain yang baik.
Pada masa ini, kualitas lulusan siswa tidak sebanding dengan perkembangan
sarana pendidikan di Indonesia. Sekolah begitu banyak namun tingkat kualitasnya
mengalami penurunan bila dibandingkan dengan periode sebelumnya. Agaknya beban
kurikulum yang terlalu lebar tidak sepadan dengan kemampuan kognitif siswa yang
harus menyerap semua informasi dan pengetahuan.
Di sisi lain, perubahan kurikulum terjadi hampir setiap 10 (sepuluh)
tahun. Kurikulum 1978 diganti dengan munculnya kurikulum 1984. Kurikulum 1984
diganti dengan kurikulum 1994. Demikian pula kurikulum 1994 mengalami beragam
tambahan yang dibuktikan dengan adanya suplemen 1994.
Agaknya perubahan kurikulum tersebut dilaksanakan karena terkait dengan
perkembangan jaman. Tuntutan perbaikan kualitas dan juga kepentingan politik
tertentu melahirkan kebijakan-kebijakan yang sarat dengan kepentingan ideologi.
Contohnya adalah pemberlakuan materi PSPB pada kurikulum 1984 yang sarat dengan
muatan ideologis dan politis. Demikian pula salah satu syarat kenaikan kelas
seorang siswa harus mendapatkan nilai minimal 6,0 dengan skala 1 sampai dengan
10 pada nilai raport. Jika nilai dibawah itu, maka siswa tidak dapat naik kelas
meskipun pelajaran lain mendapat 9 (sembilan).
Pada masa pemberlakuan kurikulum 1984 ini model pembelajaran yang sangat
terkenal adalah CBSA atau Cara Belajar Siswa Aktif di mana guru memberikan
peluang dan respon bagi siswa yang memang memiliki kecerdasan dan kepintaran.
Sistem ini dipergunakan untuk merubah model pengajaran yang kaku dan statis
seperti yang dilaksanakan pada masa sebelumnya.
Pendidikan Masa Reformasi , jelas sekali kebijakan yang dihasilkan
terkait dengan aspek politik dan ekonomi. Munculnya suplemen 1999 juga dalam
rangka kepentingan politik yang mendasarinya. Namun semenjak penataran P-4
(Eka Prasetya Pancakarsa) ditiadakan maka dunia pendidikan dikembalikan pada
posisi yang semestinya.
Pada tahun 2004 mulai diberlakukan kebijakan kurikulum baru. Kurikulum
berbasis kompetensi menjadi jawaban atas perkembangan jaman. Kurikulum ini
berusaha untuk memberikan solusi atas perubahan jaman dan globalisasi yang
melanda dunia mana saja.
Namun demikian, dunia pendidikan bukan berarti lepas dari persoalan yang
ada. Pembaharuan kurikulum ternyata tidak diimbangi dengan manajemen dan
kebijakan baru dalam menjaga mutu dan kualitas lulusan. Ujian nasional dengan
pemberlakuan standar nilai yang dilakukan secara terpusat telah memberangus
standar proses yang seharusnya menjadi titian utama kurikulum 2004.
Di sisi lain, masalah kesejahteraan guru menjadi satu faktor yang belum
dituntaskan pada masa reformasi ini. Kesejahteraan guru mulai diperhatikan
ketika era Presiden Abdurrahman Wahid menaikkan gaji guru hingga sama dengan
pegawai negeri lainnya. Pada akhirnya era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
kesejahteraan guru dan anggaran pendidikan 20% disahkan melalui undang-undang
guru dan dosen serta sistem pendidikan nasional. Sertifikasi guru dilaksanakan
secara menyeluruh dengan konsekuensi guru mendapatkan penghasilan tambahan
sebesar satu kali gaji pokok.
Kurikulum 2006 akhirnya diberlakukan pula dalam menekankan makna
keberfungsian semangat kompetensi dan kepentingan lokal. Tidak hanya itu saja,
pemerintah juga memberikan subsidi dana bagi sekolah dari tingkat dasar sampai
SLTP lewat Dana Bos. Di samping itu, pemerintah memberlakukan MBS sebagai model
manajemen sebuah sekolah yang efektif dan efisien. Pemerintah pula memilah dan
mencoba memberikan kriteria bagi upaya peningkatan kualitas sekolah secara
utuh. Kriteria SSN, akselerasi, imersi, RSKM, SKM, RSBI, dan SBI menjadi
sesuatu yang lazim ada situasi persekolahan saat ini.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pergantian era kekuasaan sangat mempengaruhi model dan kebijakan
pendidikan yang dihasilkan. Pendidikan memang tidak bisa terlepas dari situasi
politik sebuah bangsa. Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan pendidikan
sebagai sarana memperoleh tenaga kerja di bidang administrasi tingkat rendahan.
Pendidikan tingkat lanjut hanya diprioritaskan pada kalangan bangsawan
semata.
Pada masa Jepang, pendidikan tak lepas dari propaganda Jepang yang
disisipkan pada materi pelajaran dari tingkat SD sampai dengan SLTA. Akibatnya,
semua rakyat mengakui kehebatan dan superioritas Jepang sebagai bangsa maju di
kawasan Asia Pasifik. Mereka melaksanakan apa yang diharapkan Jepang yaitu
sebagai serdadu yang siap maju di medan perang seperti: Romusha, Heiho, dan
Peta.
Sebaliknya, pada masa Indonesia merdeka pendidikan diarahkan sebagai
medium pembangkit rasa nasionalisme. Karena keadaan tertentu, periode ini tidak
banyak pengembangan pendidikan yang bisa diharapkan. Secara kualitas,
pendidikan tetap terjaga mutunya hanya pendirian bangunan sekolah tidak banyak
artinya. Pada masa Orde Baru, perubahan kurikulum senantiasa silih
berganti. Perubahan dilaksanakan dalam rangka mengantisipasi kepentingan global
yang berubah. Hal ini pun masih dilanjutkan dengan pergantian kurikulum pada
era reformasi. Kurikulum 2006 merupakan alternatif terakhir dari bangunan
kurikulum dalam sejarah Indonesia. Artinya, pemerintah tetap belajar dari pengalaman.
Lintasan pendidikan yang berusia cukup tua pada akhirnya menghasilkan kebijakan
yang penuh nuansa keberpihakan pada esensi pendidikan itu sendiri.
4.2
Saran
Diharapkan agar semua
elemen masyarakat indonesia dapat mengetahui lebih dalam tentang pendidikan
terutama sejarah pendidikan di indonesia. Dengan demikian kita dapat merasakan
perjuangan yang dulu telah di perjuangkan dan kita bisa meningkatkan mutu
dari pendidikan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaludin, 1990. Kapita Selekta
Pendidikan. Jakarta: Kalam Mulia.
Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai.
Tilaar, H.A.R. 1995. 50 Tahun
Pembangunan Pendidikan Nasional Indonesia 1945-1995. Jakarta: Gramedia
Widiasarana.
Zaenuddin, 2008. Reformasi
Pendidikan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
http : www.google.com. 17
September 2012. Sistem Pendidikan Indonesia.
http://subhanfadjrin.blogspot.co.id/2013/11/makalah-sejarah-pendidikan-di-indonesia.html
http://andira95.blogspot.co.id/