Thursday, March 03, 2016

10:00:00 AM
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Banyak hal yang dapat menjadi dasar terjadinya pernikahan. Cinta, sayang, ingin, perlu, mampu, adalah beberapa hal yang kerap menjadi alasan utama dua insan melangsungkan pernikahan.
Pernikahan merupakan sebuah kebutuhan manusia yang harus dipenuhi, karena hal itu merupakan kebutuhan biologis dan psikologis yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Kasarnya, pernikahan merupakan jalan dari hasrat biologis yang dimiliki manusia.
Namun, terlepas dari berbagai alasan tersebut, islam menganjurkan beberapa syarat yang hendaknya dapat dipenuhi sebelum seseorang menjalani sebuah pernikahan. Bukan syarat adanya wali dan perangkat pernikahan lainnya, akan tetapi syarat kafa’ah atau kecocokan dan kesesuaian antara kedua insan yang berkasih dan juga keluarga.
Mengapa demikian, pada awalnya keduan insan ini adalah individu yang berbeda, kemudian ingin untuk disatukan dengan tata cara yang benar menurut syariat islam. Kalimat ‘individu yang berbeda’ inilah yang kemudian menjadi disyaratkan adanya kafa’ah dalam sebuah pernikahan. Agar kelak terdapat kesesuaian, keseimbangan dan kesinambungan antara dua insan yang akan mengarungi kehidupan berdua.

1.2 Rumusan Masalah
Supaya dalam pembahasan tentang kafaah tidak terlalu meluas dan sulit, maka penyusun akan membatasi materi makalah ini, yaitu:
  1. Apa pengertian dari kafaah?
  2. Bagaimana dasar hukum kafaah?
  3. Apa saja kriteria kafaah menurut ulama fiqh?
  4. Bagaimana kedudukan kafa’ah dalam akad nikah/ hukum kafa’ah?
  5. Bagaimana perkawinan yang tidak sekufu’?
  6. Kapan kafaah menjadi syarat dan kapan tidak menjadi syarat?

1.3 Tujuan Pembahasan
  1. Untuk mengetahui pengertian dari kafaah
  2. Untuk mengetahui dasar hukum kafaah dalam Islam
  3. Untuk mengetahui kriteria kafaah menurut ulama fiqh
  4. Untuk mengetahui kedudukan kafaah dalam akad nikah.
  5. Untuk mengetahui perkawinan yang tidak sekufu’.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kafaah
            Kufu’ berarti sama, sederajat, sepadan atau sebanding. Maksud kufu’ dalam perkawinan yaitu: laki-laki sebanding dengan calon isterinya, sama dalam kedudukan sebanding dalam tingkat sosial dan sederjat dalam akhlak serta kekayaan.
            Tidaklah diragukan jika kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebanding, akan merupakan faktor kebahagian hidup suami isteri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga.
            Perihal sebanding atau sepadan ini ditujukan untuk menjaga keselamatan dan kerukunan dalam pernikahan, bukan untuk kesahannya. Artinya sah atau tidaknya pernikahan tidak bergantung pada kafaah ini. Pernikahan tetap sah menurut hukum walaupun tidak sekutu antara suami istri. Hanya saja, hak bagi wali dan perempuan yang bersangkutan untuk mencari jodoh yang sepadah. Dengan arti, keduanya boleh membatalkan akad nkah dalam pernikahan itu karena tidak setuju dan boleh menggugurkan haknya.
            Yang dimaksud kafa’ah dalam perkawinan, menurut istilah hukum Islam, adalah keseimbangan dan keserasian antar calon istri dan suami dalam hal tingkatan sosial, moral, ekonomi, sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan.
            Dengan demikian, maksud dari pada kafa’ah dalam perkawinan ialah persesuaian keadaan antara si suami dengan perempuannya, sama kedudukannya. Suami seimbang dengan isterinya di masyarakat, sama baik akhlaknya dan kekayaannya. Persamaan kedudukan suami dan isteri akan membawa kearah rumah tangga yang sejahtera, terhindar dari ketidakberuntungan. Demikian gambaran yang diberikan oleh kebanyakan ahli fiqh tentang kafa’ah.
Sebagaimana Ibnu Umar R.A mengatakan bahwa Rasulullah SAW, bersabda:
“Orang Arab itu sama derajatnya satu sama lain, dan kaum mawali (bekas hamba yang dimerdekakan) sama derajatnya satu sama lain, kecuali tukang tenun dan tukang bekam”.

2.2 Dasar Hukum Kafaah
            Ibnu Hazm berpendapat tidak ada ukuran-ukuran kufu’. Dia berkata: “semua orang Islam asal saja tidak berzina, berhak kawin dengan wanita Muslimah asal tidak tergolong perempuan lacur. Dan semua orang Islam adalah bersaudara. Kendatipun ia anak seorang hitam yang tidak dikenal umpanya, namun tak dapat diharamkan kawin dengan anak Khalifah Bani Hasyim. Walau seorang Muslim yang sangat fasik, asalkan tidak berzina ia adalah kufu’ untuk wanita Islam yang fasik, asal bukan perempuan zina. Alasannya ialah:
إِنّمَا المُؤمِنُونَ إِخوَةٌ (الحجرات)
Sesungguhnya semua orang Mukmin bersaudara.”(Al-Hujurat: 10)
            Rasulullah telah mengawinkan Zainab dengan Zaid bekas budak beliau. Dan mengawinkan Miqdad dengan Dhaba’ah binti Zubair bin Abdul Muthalib. Kami berpendapat tentang laki-laki fasik, bagi golongan yang tidak setuju dengan pendapat kami mengatakan bahwa laki-laki fasik tidak boleh kawin kecuali dengan perempuan fasik saja. Dan bagi perempuan fasik tidak boleh dikawinkan kecuali dengan laki-laki fasik saja pula.
            Jumhur ulama’ termasuk Malikiyah, Syafiiyah, Hanafiyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa kafa’ah itu tidak termasuk syarat pernikahan sehingga pernikahan antara orang yang tidak se-kufu akan tetap dianggap memilki legalitas hukum. Kafa’ah dipandang hanya merupakan segi afdholiyah saja. Pijakan dalil mereka merujuk pada ayat “Inna akromakum ‘inda Allahi atqookum.
            Bertolak belakang dengan pendapat yang pertama, salah satu riwayat dari Imam Ahmad malah mengatakan bahwa kafa’ah itu termasuk syarat perkawinan. Ini berarti bahwa pernikahan yang dilakukan oleh kedua mempelai yang tidak se-kufu masih dianggap belum sah. Mereka bertendensius dengan potongan hadis riwayat oleh al-Dar Quthny yang dianggap lemah oleh kebanyakan ulama’. Hadis itu berbunyi, “La tankihu al-nisa illa min al-akfaa’, wala tuzawwijuhunna illa min al-auliya’.
            Akan tetapi, para ulama Malikiyah mengakui adanya kafa’ah. Akan tetapi kafa’ah, menurut mereka hanya dipandang dari sifat istiqomah dan budi pekertinya saja. Kafa’ah bukan karena nasab atau keturunan, bukan pekerjaan atau kekayaan. Seorang lelaki shaleh yang tidak bernasab boleh kawin dengan perempuan yang bernasab, pengusaha kecil boleh kawin dengan pengusaha besar, orang hina boleh saja menikahi perempuan terhormat, seorang lelaki miskin boleh kawin dengan perempuan yang kaya raya asalkan muslimah. Seorang wali tidak boleh menolaknya dan tidak berhak memintakan cerai meskipun laki-laki tadi tidak sama kedudukannya dengan kedudukan wali yang menikahkan, apabila perkawinannya dilaksanakan dengan persetujuan si perempuan.
            Begitu pula halnya dengan ulama Hanafiyah, Hanabilah dan Syafi’iah.. Mereka mengakui adanya kafa’ah dengan dasar-dasar yang akan kami sampaikan nanti meskipun kafa’ah masih dalam ruang lingkup keutamaan, bukan merupakan salah satu syarat yang menentukan keabsahan nikah.

2.3 Kriteria Kafaah Menurut Ulama Fiqh
Para ulama’ berbeda persepsi dalam menentukan kriteria yang digunakan dalam kafa’ah:
Menurut ulama Hanafiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
1. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan. Orang Arab adalah kufu’ antara satu dengan lainnya. Begitu pula halnya dengan orang Quraisy sesama Quraisy lainnya. Karena itu orang yang bukan Arab tidak sekufu’ dengan perempuan Arab. Orang Arab tetapi bukan dari golongan Quraisy, tidak sekufu’ dengan/ bagi perempuan Quraisy lainnya.
2. Islam, yaitu silsilah kerabatnya banyak yang beragama islam. Dengan Islam maka orang kufu’ dengan yang lain. Ini berlaku bagi orang-orang bukan Arab. Adapun di kalangan bangsa Arab tidak berlaku. Sebab mereka ini merasa sekufu’ dengan ketinggian nasab, dan mereka merasa tidak akan berharga dengan Islam, Adapun diluar bangsa Arab yaitu para bekas budak dan bangsa-bangsa lain, mereka merasa dirinya terangkat menjadi orang Islam. Karena itu jika perempuan Muslimah yang ayah dan neneknya beragama Islam, tidak kufu’ dengan laki-laki Muslim yang atah dan neneknya tidak beragama Islam.
3. Hirfah, yaitu profesi dalam kehidupan. Seorang perempuan dan astu keluarga yang pekerjaannya terhormat, tidak kufu’ dengan laki-laki yang pekerjaannya kasar. Tetapi kalau pekerjaannya itu hampir bersamaan tingkatannya antara satu dengan yang lain maka tidaklah dianggap ada perbedaan. Untuk mengetahui pekerjaan yang terhormat atau kasar, dapat diukur dengan kebiasaan masyarakat setempat. Sebab adakalanya pekerjaan tidak terhormat di suatu tempat dengan masa yang lain.
4. Kemerdekaan dirinya. Jadi budak laki-laki tidak kufu’ dengan perempuan merdeka. Budak laki-laki yang sudah merdeka tidak kufu’ dengan perempuan yang merdeka dari asal. Laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak tidak kufu’ dengan perempuan yang neneknya tak pernah ada yang jadi budak. Sebab perempuan merdeka bila dikawin dengan laki-laki budak dianggap tercela. Begitu pula bila dikawin oleh laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak.
5. Diyanah, yaitu tingkat kualitas keberagamaan dalam islam. Abu Yusuf berpendapat: seseorang laki-laki yag ayahnya sudah dalam kufu’dengan perempuan yang ayah dan neneknya Islam. Karena untuk mengenal laki-laki cukup hanya dikenal ayahnya saja.
6. Kekayaan. Golongan Syafi’i berkata bahwa kemampuan laki-laki fakir dalam membelanjai isterinya adalah di bawah ukuran laki-laki kaya. Sebagian lain berpendapat bahwa kekayaan itu tidak dapat jadi ukuran kufu’ karena kekayaan itu sifatnya timbul tenggelam, dan bagi perempuan yang berbudi luhur tidaklah mementingkan kekayaan.
Menurut ulama Malikiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
1. Diyanah.
2. Terbebas dari cacat fisik. Salah satu syarat kufu’ ialah selamat dari cacat. Bagi laki-laki yang mempunyai cacat jasmani yang menyolok, ia tidak kufu’ dengan perempuan yang sehat dan normal. Jika cacatnya tidak begitu menonjol, tetapi kurang disenangi secarapandangan lahiriyah, seperti: buta, tangan buntung dan lain-lain.
Menurut ulama Syafi’iyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
1.      Nasab, tidaklah dinamakan sekufu’ pernikahan orang bangsawan Arab dan rakyat jelata atau sebaliknya.
2.      Diyanah, tidaklah sekufu’ namanya, bila orang Islam menikah dengan orang yang bukan Islam.
3.      Kemerdekaan dirinya, tidaklah sekufu’ bagi mereka yang merdeka yang menikah dengan budak.
4.      Hirfah
Menurut ulama Hanabilah yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
  1. Diyanah
  2. Hirfah.
  3. Kekayaan
  4. Kemerdekaan diri
  5. Nasab
Mayoritas Ulama sepakat menempatkan dien atau diyanah sebagai kriteria kafa’ah. Konsensus itu didasarkan pada surat As-Sajadah: 18, “Afaman kana mu’minan kaman kana faasiqon la yastawuun” dan ayat yang menerangkan mengenai kadar kemuliaan seseorang hanyalah ditinjau dari sisi ketaqwaannya.

Adapun Waktu Mengatur Kufu’
Kufu’ diukur ketika berlangsungnya aqad nikah. Jika selesai akad nikah terjadi kekurangan-kekurangan, maka hal itu tidaklah menganggu dan tidak dapat pula membatalkan apa yang sudah terjadi itu sedikit pun, serta tidak mempengaruhi hukum aqad nikahnya. Karena syarat-syarat perkawinan hanya diukur ketika berlakunya aqad nikah. Jika pada waktu berlakunya aqad nikah, suami pekerjaannya mulia dan mampu memberi nafkah isterinya atau orang yang saleh, kemudian di belakang hari terjadi perubahaan, umpamanya pekerjaannya kasar atau tidak mampu lagi memberi nafkah, atau setelah kawin berbuat durhaka kepada Allah, maka akad nikahnya tetap seperti sebelumnya. Memang masa itu berbolak-balik dan manusia tidak selamanya langgeng keadaanya dalam satu sifat saja. Karena itulah isteri orang-orang yang besar harus dapat menerima kenyataannya, bersabar dan bertaqwa kepada Allah. Karena sabar dan bertaqwa kepada Allah merupakan watak.
  
2.4 Kedudukan Kafa’ah dalam Akad Nikah/ Hukum Kafa’ah
Sudah menjadi keyakinan menjadi keyakinan umum bahwa kafa’ah dalam pernikahan merupakan faktor yang dapat mendorong terpeliharanya keharmonisan rumah tangga. Apakah khafa’ah meerupakan syarat keabsahan sebuah aqad pernikahan atau tidak? Fuqaha berbeda pendapat,

1. Al-Tsauri, al-Hasan al-Basri, dan al-Karakhi berpendapat bahwa kafa’ah bukan merupakan syarat keabsahan sebuah pernikahan, dan bukan pula syarat luzumnya (mengikat dan tidak terdapat peluang khiyar (memilih).
a. Bererapa ayat dan hadis menerangkan bahwa kedudukan semua manusia sama, kecuali orang yang bertaqwa, diantaranya:
“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara....”(QS. al-Hujurat:10)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu….” (QS. al-Hujurat: 13)
b. Beberapa hadis yang menerangkan terjadinya peristiwa pernikahan antara seorang perempuan merdeka dengan seorang lelaki bekas budak, diantaranya: Ketika Bilal bin Rabbah meminang seseorang perempuan Anshar dan perempuan itu menolaknya, maka Rasulullah Saw. menyuruh Bilal agar menyampaiakan kepada perempuan itu bahwa Rasulullah Saw. yang memerintahkan Bilal agar mengawininya. Begitu juga, hadis yang menerangkan bahwa Rasul memerintahkan Fatimah binti Qais agar menikahi Usamah anak Zaid (bekas budak Rasul). Bahkan sepupu Rasul sendiri, Za

2. Jumhur Ulama berpendapat bahwa kafa’ah merupakan syarat luuzumnya sebuah pernikahan, bukan syarat sah. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
a. Beberapa hadis yan memerintahkan wali agar menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki yang sekufu, diantaranya hadis yang diriwayatkan dari Aisyah.
b. Beberapa hadis yang memberikan hak khiyar bagi istri yang suaminya tidak sekufu. Selain itu ada hadis yang menceritakan tentang seorang budak perempuan yang baru dimerdekakan sedangkan suaminya masih bersatatus budak, lalu Rasul memberikan hak khiyar kepadanya.
 c. Alasan nalar. Pernikahan mesti didasarkan pada kemaslahatan itu, itu tidak mudah. Banyak hal yang harus dilakukan, diantaranya suami istri harus sekufu.
Menurut jumhur, syarat kafa’ah menjadi gugur dengan ridhanya para pihak yang berhak. Selanjutnya, mereka berpendapat bahwa syarat kafa’ah hanya diberlakukan terhadap laki-laki saja.

2.5 Tentang Pernikahan Yang Tidak  Kafa'ah Atau Sekufu
Dalil sahnya suatu pernikahan yang tidak kafa'ah atau sekufu adalah hadits yang mengisahkan tentang pernikahan antara Fatimah binti Qais dan Usamah. Fatimah binti Qais adalah wanita merdeka dan keturunan dari suku Quraisy, sedangkan Usamah adalah seorang budak. Riwayatnya adalah sebagai berikut: Dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Fathimah binti Qais bahwa Abu Amru bin Hafsh telah menceraikannya dengan talak tiga, sedangkan dia jauh darinya, lantas dia mengutus seorang wakil kepadanya (Fathimah) dengan membawa gandum, (Fathimah) pun menolaknya. Maka (Wakil 'Amru) berkata, "Demi ALLAH, kami tidak punya kewajiban apa-apa lagi terhadapmu."
Karena itu, Fathimah menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk menanyakan hal itu kepada beliau, beliau bersabda, "Memang, dia tidak wajib lagi memberikan nafkah." Sesudah itu, beliau menyuruhnya untuk menghabiskan masa iddahnya di rumah Ummu Syarik. Tetapi kemudian beliau bersabda, "Dia adalah wanita yang sering dikunjungi oleh para sahabatku, oleh karena itu tunggulah masa iddahmu di rumah Ibnu Ummi Maktum, sebab dia adalah laki-laki yang buta, kamu bebas menaruh pakaianmu di sana. Jika kamu telah halal (selesai masa iddah), beritahukanlah kepadaku." Dia (Fathimah) berkata, "Setelah masa iddahku selesai, kuberitahukan hal itu kepada beliau bahwa Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Al-Jahm telah melamarku, lantas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul -pent), sedangkan Mu'awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid."
Namun saya tidak menyukainya, beliau tetap bersabda, "Nikahlah dengan Usamah." Lalu saya menikah dengan Usamah, ALLAH telah memberikan limpahan kebaikan padanya hingga bahagia." (H.R. Jama'ah kecuali Bukhari). Sekufu

2.6  Yang Terpenting Dalam Kafa'ah
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam Zādul Ma'ad menganggap masalah kafa'ah adalah perkara dien. Ketika berpendapat dalam permasalahan ini, beliau menyebutkan beberapa ayat Al-Qur'an dan Al-Hadits diantaranya: "Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami telah menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi ALLAH adalah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya ALLAH Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (Q.S. Al-Hujurāt 49 : 13) "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara…" (Q.S. Al-Hujurāt 49 : 10) ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, "Maka nikahilah wanita mana saja yang kalian sukai." (Q.S. An-Nisā' 4 : 3) ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala juga berfirman, "Dan perempuan yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik." (Q.S. An-Nūr 24 : 26) "Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kalian ashabiyah Jahiliyah dan kebanggaan dengan nenek moyang. Sesungguhnya yang ada hanyalah seorang mukmin yang bertakwa atau pendurhaka yang tercela. Manusia adalah anak cucu Adam, dan Adam diciptakan dari tanah, tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang Ajam kecuali dengan takwa." (H.R. Tirmidzi) Dari Sahl ibn Sa'ad As-Sa'idi radhiyallahu 'anhu, dia berkata, "Ada seseorang berjalan melewati Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau bertanya kepada seseorang yang duduk di sisinya, "Bagaimana pendapatmu mengenai orang ini?" Dia menjawab, "Dia dari kalangan orang-orang terhormat (kaya).
Orang ini, demi ALLAH, sangat pantas jika dia melamar, maka tidak akan ditolak dan jika minta syafa’at, maka akan diberi." Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam diam. Kemudian ada orang lain lagi yang lewat, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepadanya, "Lalu bagaimana pendapatmu mengenai orang ini?" Dia menjawab, "Wahai Rasulullah, orang ini adalah termasuk golongan kaum muslimin yang fakir. Orang ini jika melamar, maka tidak akan diterima dan jika (ingin) menjadi suami, maka tidak akan diberi serta jika berbicara, maka tidak didengarkan ucapannya." Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Orang ini (yang fakir) lebih baik daripada seisi bumi seperti orang itu (yang kaya) tadi."" (H.R. Bukhari) Dan ketika, Imam Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu 'anhu ditanya tentang pernikahan yang kafa'ah atau sekufu, beliau menjawab, "Semua manusia sekufu satu dengan yang lainnya, baik Arab dengan Ajam, Quraisy dengan Hasyim, dengan syarat mereka sama-sama Islam dan beriman."

2.7  Perkawinan yang Tidak Sekufu’
Pembentukan keluarga memainkan peranan penting dalam agama Islam. Jadi apabila Islam menggalakkan sekufu, ini bermakna Islam melihat lebih jauh lagi mengenai peranan sesuatu keluarga itu. Ini karena perbedaan yang terlalu banyak di antara pasangan suami dengan isteri dalam berbagai perkara, hanya akan menimbulkan berbagai-bagai masalah untuk meneruskan kehidupan berkeluarga yang akan dibina kelak. Bahkan sekiranya tiada sekufu antara kedua-duanya, maka isteri atau walinya berhak menuntut fasakh selepas perkawinannya. Ia berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: Tidak berhak mengahwinkan seorang anak perempuan kecuali dengan wali, dan tidak berhak mengawinkan wanita kecuali dengan lelaki yang sekufu dengannya.
"Sekufu didefinisikan oleh para ulama sebagai 'al musawah wal muqarab' atau yang bermaksud persamaan atau hampir. "Yang dimaksudkan dengan persamaan atau hampir ini lebih ditekankan dalam Islam kepada pihak perempuan. "Jadi di sini, sekiranya seorang lelaki itu mengambil seorang isteri yang lebih rendah pendidikannya atau yang lebih sedikit hartanya dan sebagainya, ia biasanya tidak menimbulkan sebarang masalah kemudian hari.
"Berlainan pula seandainya seorang isteri bersuamikan seorang lelaki yang jauh lebih rendah daripadanya dalam semua perkara. Dalam hal inilah, Islam melihat kafaah sebagai satu aspek yang perlu dijaga.
Menurut ulama fiqah, keseluruhan mereka mengambil sekira kepentingan sekufu, sehingga didapati Mazhab Syafie meletakkan sekufu sebagai hak seorang perempuan dan hak walinya. Sementara bagi Mazhab Hanafi, walaupun tidak ada wali mujbir (wali yang boleh memaksa anaknya untuk berkawin atau tidak berkawin, misalnya ayah dan datuk) seorang perempuan itu boleh mengawinkan dirinya tanpa wali.
Namun wali mujbirnya yaitu bapaknya contohnya, masih berhak untuk membubarkan perkawinan itu sekiranya mendapati pasangan tersebut tidak sekufu. Sebagaimana dijelaskan di atas bahawa sekufu merupakan hak kepada wanita dan walinya, maka sekiranya salah seorang daripada orang yang berhak ini menghalang perkahwinan disebabkan tidak sekufu, maka perkahwinan itu tidak boleh dilangsungkan.
Contohnya, seorang perempuan membawa calon suaminya tetapi tidak dipersetujui oleh bapaknya sebagai seorang wali mujbir dengan alasan lelaki tersebut tidak sekufu dengan anaknya, maka alasan itu dianggap munasabah dan hak bapaknya sebagai wali tidak boleh dipindahkan kepada wali hakim atau wali selepasnya. Begitu juga sekiranya seorang perempuan yang dipaksa berkawin oleh wali mujbirnya, sama ada bapa ataupun datuk tetapi dia menolak dengan alasan bahwa perkawinan ini tidak sekufu, maka dia berhak untuk menghalang perkawinan ini.
Jelas di sini, bahwa semua mazhab meletakkan sekufu sebagai satu perkara yang penting. Jumhur mengatakan, sekufu adalah syarat untuk meneruskan perkawinan, bukannya syarat sah perkawinan tetapi tidak dinafikan bahawa sekufu penting dalam perkawinan. Sementara menurut Imam Shirazi, apabila seorang wanita ingin berkawin dengan orang yang tidak sekufu, tidak menjadi kewajipan kepada wali mengawinkannya. Manakala, bagi Imam Imrani pula, pemerintah tidak boleh mengambil alih ataupun wali tidak boleh dipaksa untuk mengawinkan anak perempuan dengan pasangannya yang tidak sekufu.

2.8 Kapan Kafaah Menjadi Syarat dan Tidak Menjadi Syarat
Dalam sebuah hadits disebutkan,
Nabi saw pernah menyuruh Fatimah binti Qais menikahi Usamah bin Zaid, anak dari budak beliau. Lalu Usamah menikahi Fatimah atas perintah beliau." (Muttafaqun Alaih).
Jadi, yang benar kafa'ah itu tidak disyaratkan dalam pernikahan. Riwayat yang menyebutkan masalah itu menunjukkan bahwa secara global, kafa'ah itu diperlukan, tetapi tidak dianggap sebagai syarat. Sehingga jika seorang wanita dan para walinya secara keseluruhan menyetujui pernikahan itu, maka pernikahan itu sah. Tetapi jika ada sebagian dari mereka yang tidak setuju, maka apakah akad nikah itu batal ataukah tetap sah? Mengenai hal tersebut terdapat dua riwayat dari Imama Ahmad dan dua pendapat dari Imam Syai'i:
Pertama, akad nikah itu batal, karena kafa'ah merupakan hak bagi mereka semuanya.
Kedua, akad nikah tersebut tetap sah. Hal itu berdasarkan dalil, bahwa pernah ada seorang wanita melapor kepada Nabi saw bahwa ayahnya telah menikahkan dirinya dengan laki-laki yang tidak sekufu' dengannya. Lalu Nabi memberikan pilihan kepadanya dan tidak membatalkan pernikahan tersebut.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kafa’ah adalah keseimbangan dan keserasian antar calon istri dan suami dalam hal tingkatan sosial, moral, ekonomi, sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan. Kafa’ah tidak menjadi syarat sahnya akad nikah jika calon istri dan suami saling meridhai keadaan masing-masing. Hanya untuk ke afdholan dalam berumah tangga.
Pembentukan keluarga memainkan peranan penting dalam agama Islam. Jadi apabila Islam menggalakkan sekufu, ini bermakna Islam melihat lebih jauh lagi mengenai peranan sesuatu keluarga itu.

Popular Posts