BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banyak hal yang
dapat menjadi dasar terjadinya pernikahan. Cinta, sayang, ingin, perlu, mampu,
adalah beberapa hal yang kerap menjadi alasan utama dua insan melangsungkan
pernikahan.
Pernikahan
merupakan sebuah kebutuhan manusia yang harus dipenuhi, karena hal itu
merupakan kebutuhan biologis dan psikologis yang tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan manusia. Kasarnya, pernikahan merupakan jalan dari hasrat biologis
yang dimiliki manusia.
Namun, terlepas
dari berbagai alasan tersebut, islam menganjurkan beberapa syarat yang
hendaknya dapat dipenuhi sebelum seseorang menjalani sebuah pernikahan. Bukan
syarat adanya wali dan perangkat pernikahan lainnya, akan tetapi syarat kafa’ah
atau kecocokan dan kesesuaian antara kedua insan yang berkasih dan juga
keluarga.
Mengapa demikian,
pada awalnya keduan insan ini adalah individu yang berbeda, kemudian ingin
untuk disatukan dengan tata cara yang benar menurut syariat islam. Kalimat
‘individu yang berbeda’ inilah yang kemudian menjadi disyaratkan adanya kafa’ah
dalam sebuah pernikahan. Agar kelak terdapat kesesuaian, keseimbangan dan
kesinambungan antara dua insan yang akan mengarungi kehidupan berdua.
1.2 Rumusan Masalah
Supaya dalam pembahasan tentang kafaah tidak
terlalu meluas dan sulit, maka penyusun akan membatasi materi makalah ini,
yaitu:
- Apa pengertian dari kafaah?
- Bagaimana dasar hukum kafaah?
- Apa saja kriteria kafaah menurut
ulama fiqh?
- Bagaimana kedudukan kafa’ah dalam
akad nikah/ hukum kafa’ah?
- Bagaimana perkawinan yang tidak
sekufu’?
- Kapan kafaah menjadi syarat dan
kapan tidak menjadi syarat?
1.3 Tujuan Pembahasan
- Untuk mengetahui pengertian dari
kafaah
- Untuk mengetahui dasar hukum kafaah
dalam Islam
- Untuk mengetahui kriteria kafaah
menurut ulama fiqh
- Untuk mengetahui kedudukan kafaah
dalam akad nikah.
- Untuk mengetahui perkawinan yang
tidak sekufu’.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kafaah
Kufu’
berarti sama, sederajat, sepadan atau sebanding. Maksud kufu’ dalam perkawinan
yaitu: laki-laki sebanding dengan calon isterinya, sama dalam kedudukan
sebanding dalam tingkat sosial dan sederjat dalam akhlak serta kekayaan.
Tidaklah
diragukan jika kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebanding, akan
merupakan faktor kebahagian hidup suami isteri dan lebih menjamin keselamatan
perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga.
Perihal
sebanding atau sepadan ini ditujukan untuk menjaga keselamatan dan kerukunan
dalam pernikahan, bukan untuk kesahannya. Artinya sah atau tidaknya pernikahan
tidak bergantung pada kafaah ini. Pernikahan tetap sah menurut hukum walaupun
tidak sekutu antara suami istri. Hanya saja, hak bagi wali dan perempuan yang
bersangkutan untuk mencari jodoh yang sepadah. Dengan arti, keduanya boleh
membatalkan akad nkah dalam pernikahan itu karena tidak setuju dan boleh
menggugurkan haknya.
Yang
dimaksud kafa’ah dalam perkawinan, menurut istilah hukum Islam, adalah
keseimbangan dan keserasian antar calon istri dan suami dalam hal tingkatan
sosial, moral, ekonomi, sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk
melangsungkan perkawinan.
Dengan
demikian, maksud dari pada kafa’ah dalam perkawinan ialah persesuaian
keadaan antara si suami dengan perempuannya, sama kedudukannya. Suami seimbang
dengan isterinya di masyarakat, sama baik akhlaknya dan kekayaannya. Persamaan
kedudukan suami dan isteri akan membawa kearah rumah tangga yang sejahtera,
terhindar dari ketidakberuntungan. Demikian gambaran yang diberikan oleh
kebanyakan ahli fiqh tentang kafa’ah.
Sebagaimana Ibnu Umar R.A mengatakan bahwa
Rasulullah SAW, bersabda:
“Orang Arab itu sama derajatnya satu sama
lain, dan kaum mawali (bekas hamba yang dimerdekakan) sama derajatnya satu sama
lain, kecuali tukang tenun dan tukang bekam”.
2.2 Dasar Hukum Kafaah
Ibnu
Hazm berpendapat tidak ada ukuran-ukuran kufu’. Dia berkata: “semua orang Islam
asal saja tidak berzina, berhak kawin dengan wanita Muslimah asal tidak
tergolong perempuan lacur. Dan semua orang Islam adalah bersaudara. Kendatipun
ia anak seorang hitam yang tidak dikenal umpanya, namun tak dapat diharamkan
kawin dengan anak Khalifah Bani Hasyim. Walau seorang Muslim yang sangat fasik,
asalkan tidak berzina ia adalah kufu’ untuk wanita Islam yang fasik, asal bukan
perempuan zina. Alasannya ialah:
إِنّمَا المُؤمِنُونَ إِخوَةٌ (الحجرات)
“Sesungguhnya semua
orang Mukmin bersaudara.”(Al-Hujurat: 10)
Rasulullah telah mengawinkan Zainab dengan Zaid bekas
budak beliau. Dan mengawinkan Miqdad dengan Dhaba’ah binti Zubair bin Abdul
Muthalib. Kami berpendapat tentang laki-laki fasik, bagi golongan yang tidak
setuju dengan pendapat kami mengatakan bahwa laki-laki fasik tidak boleh kawin
kecuali dengan perempuan fasik saja. Dan bagi perempuan fasik tidak boleh
dikawinkan kecuali dengan laki-laki fasik saja pula.
Jumhur ulama’ termasuk Malikiyah, Syafiiyah,
Hanafiyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa kafa’ah itu
tidak termasuk syarat pernikahan sehingga pernikahan antara orang yang tidak
se-kufu akan tetap dianggap memilki legalitas hukum. Kafa’ah dipandang
hanya merupakan segi afdholiyah saja. Pijakan dalil mereka
merujuk pada ayat “Inna akromakum ‘inda Allahi atqookum.
Bertolak belakang dengan pendapat yang pertama, salah
satu riwayat dari Imam Ahmad malah mengatakan bahwa kafa’ah itu termasuk
syarat perkawinan. Ini berarti bahwa pernikahan yang dilakukan oleh kedua
mempelai yang tidak se-kufu masih dianggap belum sah. Mereka bertendensius
dengan potongan hadis riwayat oleh al-Dar Quthny yang dianggap lemah oleh
kebanyakan ulama’. Hadis itu berbunyi, “La tankihu al-nisa illa min
al-akfaa’, wala tuzawwijuhunna illa min al-auliya’.
Akan tetapi, para ulama Malikiyah mengakui adanya kafa’ah.
Akan tetapi kafa’ah, menurut mereka hanya dipandang dari sifat istiqomah
dan budi pekertinya saja. Kafa’ah bukan karena nasab atau keturunan,
bukan pekerjaan atau kekayaan. Seorang lelaki shaleh yang tidak bernasab boleh
kawin dengan perempuan yang bernasab, pengusaha kecil boleh kawin dengan
pengusaha besar, orang hina boleh saja menikahi perempuan terhormat, seorang
lelaki miskin boleh kawin dengan perempuan yang kaya raya asalkan muslimah.
Seorang wali tidak boleh menolaknya dan tidak berhak memintakan cerai meskipun
laki-laki tadi tidak sama kedudukannya dengan kedudukan wali yang menikahkan,
apabila perkawinannya dilaksanakan dengan persetujuan si perempuan.
Begitu pula halnya dengan ulama Hanafiyah, Hanabilah dan
Syafi’iah.. Mereka mengakui adanya kafa’ah dengan dasar-dasar yang akan
kami sampaikan nanti meskipun kafa’ah masih dalam ruang lingkup
keutamaan, bukan merupakan salah satu syarat yang menentukan keabsahan nikah.
2.3 Kriteria Kafaah
Menurut Ulama Fiqh
Para ulama’ berbeda
persepsi dalam menentukan kriteria yang digunakan dalam kafa’ah:
Menurut ulama Hanafiyah,
yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
1. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan. Orang Arab
adalah kufu’ antara satu dengan lainnya. Begitu pula halnya dengan orang
Quraisy sesama Quraisy lainnya. Karena itu orang yang bukan Arab tidak sekufu’
dengan perempuan Arab. Orang Arab tetapi bukan dari golongan Quraisy, tidak
sekufu’ dengan/ bagi perempuan Quraisy lainnya.
2. Islam, yaitu silsilah kerabatnya banyak yang beragama
islam. Dengan Islam maka orang kufu’ dengan yang lain. Ini berlaku bagi
orang-orang bukan Arab. Adapun di kalangan bangsa Arab tidak berlaku. Sebab
mereka ini merasa sekufu’ dengan ketinggian nasab, dan mereka merasa tidak akan
berharga dengan Islam, Adapun diluar bangsa Arab yaitu para bekas budak dan
bangsa-bangsa lain, mereka merasa dirinya terangkat menjadi orang Islam. Karena
itu jika perempuan Muslimah yang ayah dan neneknya beragama Islam, tidak kufu’
dengan laki-laki Muslim yang atah dan neneknya tidak beragama Islam.
3. Hirfah, yaitu profesi dalam kehidupan. Seorang perempuan
dan astu keluarga yang pekerjaannya terhormat, tidak kufu’ dengan laki-laki
yang pekerjaannya kasar. Tetapi kalau pekerjaannya itu hampir bersamaan
tingkatannya antara satu dengan yang lain maka tidaklah dianggap ada perbedaan.
Untuk mengetahui pekerjaan yang terhormat atau kasar, dapat diukur dengan
kebiasaan masyarakat setempat. Sebab adakalanya pekerjaan tidak terhormat di
suatu tempat dengan masa yang lain.
4. Kemerdekaan dirinya. Jadi budak laki-laki tidak kufu’
dengan perempuan merdeka. Budak laki-laki yang sudah merdeka tidak kufu’ dengan
perempuan yang merdeka dari asal. Laki-laki yang salah seorang neneknya pernah
menjadi budak tidak kufu’ dengan perempuan yang neneknya tak pernah ada yang
jadi budak. Sebab perempuan merdeka bila dikawin dengan laki-laki budak
dianggap tercela. Begitu pula bila dikawin oleh laki-laki yang salah seorang
neneknya pernah menjadi budak.
5. Diyanah, yaitu tingkat kualitas keberagamaan dalam islam.
Abu Yusuf berpendapat: seseorang laki-laki yag ayahnya sudah dalam kufu’dengan
perempuan yang ayah dan neneknya Islam. Karena untuk mengenal laki-laki cukup
hanya dikenal ayahnya saja.
6. Kekayaan. Golongan Syafi’i berkata bahwa kemampuan
laki-laki fakir dalam membelanjai isterinya adalah di bawah ukuran laki-laki
kaya. Sebagian lain berpendapat bahwa kekayaan itu tidak dapat jadi ukuran
kufu’ karena kekayaan itu sifatnya timbul tenggelam, dan bagi perempuan yang
berbudi luhur tidaklah mementingkan kekayaan.
Menurut ulama Malikiyah,
yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
1. Diyanah.
2. Terbebas dari cacat
fisik. Salah satu syarat kufu’ ialah selamat dari cacat. Bagi laki-laki yang
mempunyai cacat jasmani yang menyolok, ia tidak kufu’ dengan perempuan yang
sehat dan normal. Jika cacatnya tidak begitu menonjol, tetapi kurang disenangi
secarapandangan lahiriyah, seperti: buta, tangan buntung dan lain-lain.
Menurut ulama
Syafi’iyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
1.
Nasab, tidaklah dinamakan sekufu’ pernikahan orang
bangsawan Arab dan rakyat jelata atau sebaliknya.
2.
Diyanah, tidaklah sekufu’ namanya, bila
orang Islam menikah dengan orang yang bukan Islam.
3.
Kemerdekaan dirinya, tidaklah sekufu’ bagi mereka
yang merdeka yang menikah dengan budak.
4.
Hirfah
Menurut ulama Hanabilah
yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
- Diyanah
- Hirfah.
- Kekayaan
- Kemerdekaan diri
- Nasab
Mayoritas Ulama sepakat
menempatkan dien atau diyanah sebagai kriteria kafa’ah. Konsensus
itu didasarkan pada surat As-Sajadah: 18, “Afaman kana mu’minan kaman kana
faasiqon la yastawuun” dan ayat yang menerangkan mengenai kadar kemuliaan
seseorang hanyalah ditinjau dari sisi ketaqwaannya.
Adapun Waktu Mengatur
Kufu’
Kufu’ diukur ketika
berlangsungnya aqad nikah. Jika selesai akad nikah terjadi
kekurangan-kekurangan, maka hal itu tidaklah menganggu dan tidak dapat pula
membatalkan apa yang sudah terjadi itu sedikit pun, serta tidak mempengaruhi
hukum aqad nikahnya. Karena syarat-syarat perkawinan hanya diukur ketika
berlakunya aqad nikah. Jika pada waktu berlakunya aqad nikah, suami
pekerjaannya mulia dan mampu memberi nafkah isterinya atau orang yang saleh,
kemudian di belakang hari terjadi perubahaan, umpamanya pekerjaannya kasar atau
tidak mampu lagi memberi nafkah, atau setelah kawin berbuat durhaka kepada
Allah, maka akad nikahnya tetap seperti sebelumnya. Memang masa itu
berbolak-balik dan manusia tidak selamanya langgeng keadaanya dalam satu sifat
saja. Karena itulah isteri orang-orang yang besar harus dapat menerima
kenyataannya, bersabar dan bertaqwa kepada Allah. Karena sabar dan bertaqwa
kepada Allah merupakan watak.
2.4 Kedudukan Kafa’ah dalam
Akad Nikah/ Hukum Kafa’ah
Sudah menjadi keyakinan
menjadi keyakinan umum bahwa kafa’ah dalam pernikahan merupakan faktor
yang dapat mendorong terpeliharanya keharmonisan rumah tangga. Apakah khafa’ah
meerupakan syarat keabsahan sebuah aqad pernikahan atau tidak? Fuqaha
berbeda pendapat,
1. Al-Tsauri, al-Hasan
al-Basri, dan al-Karakhi berpendapat bahwa kafa’ah bukan merupakan
syarat keabsahan sebuah pernikahan, dan bukan pula syarat luzumnya
(mengikat dan tidak terdapat peluang khiyar (memilih).
a. Bererapa ayat dan
hadis menerangkan bahwa kedudukan semua manusia sama, kecuali orang yang
bertaqwa, diantaranya:
“Orang-orang beriman itu
Sesungguhnya bersaudara....”(QS. al-Hujurat:10)
“Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu….” (QS. al-Hujurat: 13)
b. Beberapa hadis yang
menerangkan terjadinya peristiwa pernikahan antara seorang perempuan merdeka
dengan seorang lelaki bekas budak, diantaranya: Ketika Bilal bin Rabbah
meminang seseorang perempuan Anshar dan perempuan itu menolaknya, maka
Rasulullah Saw. menyuruh Bilal agar menyampaiakan kepada perempuan itu bahwa
Rasulullah Saw. yang memerintahkan Bilal agar mengawininya. Begitu juga, hadis
yang menerangkan bahwa Rasul memerintahkan Fatimah binti Qais agar menikahi
Usamah anak Zaid (bekas budak Rasul). Bahkan sepupu Rasul sendiri, Za
2. Jumhur Ulama berpendapat bahwa kafa’ah
merupakan syarat luuzumnya sebuah pernikahan, bukan syarat sah. Alasan
yang mereka kemukakan adalah:
a. Beberapa hadis yan
memerintahkan wali agar menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki yang
sekufu, diantaranya hadis yang diriwayatkan dari Aisyah.
b. Beberapa hadis yang
memberikan hak khiyar bagi istri yang suaminya tidak sekufu. Selain itu
ada hadis yang menceritakan tentang seorang budak perempuan yang baru
dimerdekakan sedangkan suaminya masih bersatatus budak, lalu Rasul memberikan
hak khiyar kepadanya.
c. Alasan nalar.
Pernikahan mesti didasarkan pada kemaslahatan itu, itu tidak mudah. Banyak hal
yang harus dilakukan, diantaranya suami istri harus sekufu.
Menurut jumhur, syarat kafa’ah
menjadi gugur dengan ridhanya para pihak yang berhak. Selanjutnya, mereka
berpendapat bahwa syarat kafa’ah hanya diberlakukan terhadap laki-laki
saja.
2.5 Tentang Pernikahan Yang
Tidak Kafa'ah Atau Sekufu
Dalil sahnya suatu pernikahan yang tidak kafa'ah atau
sekufu adalah hadits yang mengisahkan tentang pernikahan antara Fatimah binti
Qais dan Usamah. Fatimah binti Qais adalah wanita merdeka dan keturunan dari
suku Quraisy, sedangkan Usamah adalah seorang budak. Riwayatnya adalah sebagai
berikut: Dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Fathimah binti Qais bahwa Abu
Amru bin Hafsh telah menceraikannya dengan talak tiga, sedangkan dia jauh
darinya, lantas dia mengutus seorang wakil kepadanya (Fathimah) dengan membawa
gandum, (Fathimah) pun menolaknya. Maka (Wakil 'Amru) berkata, "Demi
ALLAH, kami tidak punya kewajiban apa-apa lagi terhadapmu."
Karena itu, Fathimah menemui Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam untuk menanyakan hal itu kepada beliau, beliau bersabda,
"Memang, dia tidak wajib lagi memberikan nafkah." Sesudah itu, beliau
menyuruhnya untuk menghabiskan masa iddahnya di rumah Ummu Syarik. Tetapi
kemudian beliau bersabda, "Dia adalah wanita yang sering dikunjungi oleh
para sahabatku, oleh karena itu tunggulah masa iddahmu di rumah Ibnu Ummi
Maktum, sebab dia adalah laki-laki yang buta, kamu bebas menaruh pakaianmu di
sana. Jika kamu telah halal (selesai masa iddah), beritahukanlah
kepadaku." Dia (Fathimah) berkata, "Setelah masa iddahku selesai,
kuberitahukan hal itu kepada beliau bahwa Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan Abu
Al-Jahm telah melamarku, lantas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda, "Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya
dari lehernya (suka memukul -pent), sedangkan Mu'awiyah adalah orang yang miskin,
tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid."
Namun saya tidak menyukainya, beliau tetap bersabda,
"Nikahlah dengan Usamah." Lalu saya menikah dengan Usamah, ALLAH
telah memberikan limpahan kebaikan padanya hingga bahagia." (H.R. Jama'ah
kecuali Bukhari). Sekufu
2.6 Yang Terpenting Dalam
Kafa'ah
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam Zādul Ma'ad menganggap
masalah kafa'ah adalah perkara dien. Ketika berpendapat dalam permasalahan ini,
beliau menyebutkan beberapa ayat Al-Qur'an dan Al-Hadits diantaranya:
"Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami telah menjadikan kalian
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kalian di sisi ALLAH adalah yang paling bertaqwa.
Sesungguhnya ALLAH Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (Q.S. Al-Hujurāt
49 : 13) "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara…" (Q.S.
Al-Hujurāt 49 : 10) ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, "Maka nikahilah
wanita mana saja yang kalian sukai." (Q.S. An-Nisā' 4 : 3) ALLAH Subhanahu
Wa Ta'ala juga berfirman, "Dan perempuan yang baik adalah untuk laki-laki
yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik." (Q.S.
An-Nūr 24 : 26) "Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kalian
ashabiyah Jahiliyah dan kebanggaan dengan nenek moyang. Sesungguhnya yang ada
hanyalah seorang mukmin yang bertakwa atau pendurhaka yang tercela. Manusia
adalah anak cucu Adam, dan Adam diciptakan dari tanah, tidak ada keutamaan bagi
orang Arab atas orang Ajam kecuali dengan takwa." (H.R. Tirmidzi) Dari
Sahl ibn Sa'ad As-Sa'idi radhiyallahu 'anhu, dia berkata, "Ada seseorang
berjalan melewati Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau bertanya
kepada seseorang yang duduk di sisinya, "Bagaimana pendapatmu mengenai
orang ini?" Dia menjawab, "Dia dari kalangan orang-orang terhormat
(kaya).
Orang ini, demi ALLAH, sangat pantas jika dia melamar,
maka tidak akan ditolak dan jika minta syafa’at, maka akan diberi." Lalu
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam diam. Kemudian ada orang lain lagi yang
lewat, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepadanya,
"Lalu bagaimana pendapatmu mengenai orang ini?" Dia menjawab,
"Wahai Rasulullah, orang ini adalah termasuk golongan kaum muslimin yang
fakir. Orang ini jika melamar, maka tidak akan diterima dan jika (ingin)
menjadi suami, maka tidak akan diberi serta jika berbicara, maka tidak
didengarkan ucapannya." Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda, "Orang ini (yang fakir) lebih baik daripada seisi bumi seperti
orang itu (yang kaya) tadi."" (H.R. Bukhari) Dan ketika, Imam Ali ibn
Abi Thalib radhiyallahu 'anhu ditanya tentang pernikahan yang kafa'ah atau
sekufu, beliau menjawab, "Semua manusia sekufu satu dengan yang lainnya,
baik Arab dengan Ajam, Quraisy dengan Hasyim, dengan syarat mereka sama-sama
Islam dan beriman."
2.7 Perkawinan yang Tidak Sekufu’
Pembentukan keluarga memainkan
peranan penting dalam agama Islam. Jadi apabila Islam menggalakkan sekufu, ini
bermakna Islam melihat lebih jauh lagi mengenai peranan sesuatu keluarga itu.
Ini karena perbedaan yang terlalu banyak di antara pasangan suami dengan isteri
dalam berbagai perkara, hanya akan menimbulkan berbagai-bagai masalah untuk
meneruskan kehidupan berkeluarga yang akan dibina kelak. Bahkan sekiranya tiada
sekufu antara kedua-duanya, maka isteri atau walinya berhak menuntut fasakh
selepas perkawinannya. Ia berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim: Tidak berhak mengahwinkan seorang anak perempuan kecuali
dengan wali, dan tidak berhak mengawinkan wanita kecuali dengan lelaki yang sekufu
dengannya.
"Sekufu
didefinisikan oleh para ulama sebagai 'al musawah wal muqarab' atau yang
bermaksud persamaan atau hampir. "Yang dimaksudkan dengan persamaan atau
hampir ini lebih ditekankan dalam Islam kepada pihak perempuan.
"Jadi di sini, sekiranya seorang lelaki itu mengambil seorang isteri yang
lebih rendah pendidikannya atau yang lebih sedikit hartanya dan sebagainya, ia
biasanya tidak menimbulkan sebarang masalah kemudian hari.
"Berlainan pula
seandainya seorang isteri bersuamikan seorang lelaki yang jauh lebih rendah
daripadanya dalam semua perkara. Dalam hal inilah, Islam melihat kafaah sebagai
satu aspek yang perlu dijaga.
Menurut ulama fiqah,
keseluruhan mereka mengambil sekira kepentingan sekufu, sehingga didapati
Mazhab Syafie meletakkan sekufu sebagai hak seorang perempuan dan hak walinya.
Sementara bagi Mazhab Hanafi, walaupun tidak ada wali mujbir (wali yang boleh
memaksa anaknya untuk berkawin atau tidak berkawin, misalnya ayah dan datuk)
seorang perempuan itu boleh mengawinkan dirinya tanpa wali.
Namun wali mujbirnya yaitu
bapaknya contohnya, masih berhak untuk membubarkan perkawinan itu sekiranya
mendapati pasangan tersebut tidak sekufu. Sebagaimana dijelaskan di atas bahawa
sekufu merupakan hak kepada wanita dan walinya, maka sekiranya salah seorang
daripada orang yang berhak ini menghalang perkahwinan disebabkan tidak sekufu,
maka perkahwinan itu tidak boleh dilangsungkan.
Contohnya, seorang perempuan
membawa calon suaminya tetapi tidak dipersetujui oleh bapaknya sebagai seorang
wali mujbir dengan alasan lelaki tersebut tidak sekufu dengan anaknya, maka
alasan itu dianggap munasabah dan hak bapaknya sebagai wali tidak boleh
dipindahkan kepada wali hakim atau wali selepasnya. Begitu juga sekiranya
seorang perempuan yang dipaksa berkawin oleh wali mujbirnya, sama ada bapa
ataupun datuk tetapi dia menolak dengan alasan bahwa perkawinan ini tidak
sekufu, maka dia berhak untuk menghalang perkawinan ini.
Jelas di sini, bahwa semua
mazhab meletakkan sekufu sebagai satu perkara yang penting. Jumhur mengatakan,
sekufu adalah syarat untuk meneruskan perkawinan, bukannya syarat sah
perkawinan tetapi tidak dinafikan bahawa sekufu penting dalam perkawinan.
Sementara menurut Imam Shirazi, apabila seorang wanita ingin berkawin dengan
orang yang tidak sekufu, tidak menjadi kewajipan kepada wali mengawinkannya.
Manakala, bagi Imam Imrani pula, pemerintah tidak boleh mengambil alih ataupun
wali tidak boleh dipaksa untuk mengawinkan anak perempuan dengan pasangannya
yang tidak sekufu.
2.8 Kapan Kafaah Menjadi
Syarat dan Tidak Menjadi Syarat
Dalam sebuah hadits
disebutkan,
Nabi saw pernah menyuruh
Fatimah binti Qais menikahi Usamah bin Zaid, anak dari budak beliau. Lalu
Usamah menikahi Fatimah atas perintah beliau." (Muttafaqun Alaih).
Jadi, yang benar kafa'ah itu tidak disyaratkan dalam
pernikahan. Riwayat yang menyebutkan masalah itu menunjukkan bahwa secara
global, kafa'ah itu diperlukan, tetapi tidak dianggap sebagai syarat.
Sehingga jika seorang wanita dan para walinya secara keseluruhan menyetujui
pernikahan itu, maka pernikahan itu sah. Tetapi jika ada sebagian dari mereka
yang tidak setuju, maka apakah akad nikah itu batal ataukah tetap sah? Mengenai
hal tersebut terdapat dua riwayat dari Imama Ahmad dan dua pendapat dari Imam
Syai'i:
Pertama, akad nikah itu batal,
karena kafa'ah merupakan hak bagi mereka semuanya.
Kedua, akad nikah tersebut tetap sah. Hal itu berdasarkan dalil, bahwa pernah ada seorang wanita melapor kepada Nabi saw bahwa ayahnya telah menikahkan dirinya dengan laki-laki yang tidak sekufu' dengannya. Lalu Nabi memberikan pilihan kepadanya dan tidak membatalkan pernikahan tersebut.
Kedua, akad nikah tersebut tetap sah. Hal itu berdasarkan dalil, bahwa pernah ada seorang wanita melapor kepada Nabi saw bahwa ayahnya telah menikahkan dirinya dengan laki-laki yang tidak sekufu' dengannya. Lalu Nabi memberikan pilihan kepadanya dan tidak membatalkan pernikahan tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kafa’ah adalah keseimbangan dan keserasian antar calon
istri dan suami dalam hal tingkatan sosial, moral, ekonomi, sehingga
masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan. Kafa’ah
tidak menjadi syarat sahnya akad nikah jika calon istri dan suami saling
meridhai keadaan masing-masing. Hanya untuk ke afdholan dalam berumah
tangga.
Pembentukan keluarga memainkan
peranan penting dalam agama Islam. Jadi apabila Islam menggalakkan sekufu, ini
bermakna Islam melihat lebih jauh lagi mengenai peranan sesuatu keluarga itu.